Senin, 23 Juni 2014

HKP, Manajemen Pangan, dan Capres

HKP, Manajemen Pangan, dan Capres

Rahmat Pramulya  ;   Dosen dan Peneliti di Fakultas Pertanian Universitas Teuku Umar, Meulaboh, Aceh Barat; Peneliti Pembangunan Ekonomi dan Perdamaian ICAIOS
SINAR HARAPAN, 21 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Peringatan Hari Krida Pertanian (HKP) 21 Juni di tengah hiruk-pikuk perhelatan pemilihan presiden sangat tepat dijadikan momentum untuk menyadarkan seluruh elemen bangsa, termasuk para calon presiden (capres) akan peran penting pertanian dalam penyediaan pangan. Mengingat selama ini urusan pangan masih saja menjadi persoalan pelik di negeri ini. 

Di era Orde Lama, Presiden RI pertama, Ir Soekarno, dengan tegas mengatakan negara mengemban tugas penting dalam persoalan pangan. Bahkan ia mengatakan, bicara pangan adalah bicara soal hidup dan matinya bangsa.

Di era Orde Baru, pembelajaran manajemen pangan nasional dapat tergali begitu banyaknya. Program Bimas (Bimbingan Massal), sebuah program yang didesain untuk meningkatkan produksi padi, tercatat telah membuahkan keberhasilan swasembada beras pada 1984, sekaligus menyisakan setumpuk problem pertanian pangan lantaran kuatnya Bimas mengadopsi

Revolusi Hijau. Di era Presiden BJ Habibie, pembangunan pertanian (pangan) berkebudayaan industri menjadi kebijakan pangan yang demikian menonjol. Sayangnya, kebijakan ini pun hanya menumpang lewat karena tidak diikuti operasionalisasi yang serius di lapangan.

Hal yang tak kalah fenomenalnya adalah saat pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Mulai dari kampanye hingga deklarasi ketahanan pangan terus disuarakan. Hingga kini, di era kepemimpinan SBY, soal ketahanan pangan ini masih menjadi isu strategis di pemerintahan.

Berbagai perangkat perundangan pun telah dilahirkan demi mewujudkan ketahanan pangan, mulai dari UU No 7/1996 tentang Pangan, PP No 68/2002 tentang Ketahanan Pangan, hingga Perpres No 22/2009 dan Permentan No 43/2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) berbasis sumber daya Lokal. Namun, jika dicermati, mengapa soal ketahanan pangan kita seperti jalan di tempat? 

Tiga Komponen

Ada tiga komponen penting dalam sistem pangan nasional, yaitu ketersediaan, distribusi, dan konsumsi.  Sistem pangan kita akan tangguh jika kita dapat menjamin ketiga komponen penting tersebut.

Persoalannya sekarang, pemerintah belum berhitung dengan serius seberapa besar stok pangan yang aman. Produksi padi di posisi menjelang akhir tahun ini dirasa tak cukup memenuhi kebutuhan penduduk di seluruh wilayah.

Jika saja pangan lokal dijadikan kebijakan serius, sesungguhnya kekurangan beras bisa ditutup dengan stok pangan nonberas yang potensinya cukup melimpah.  Tinggal bagaimana disiapkan teknologi yang tepat untuk menjadikannya sebagai sumber pangan pengganti beras.

Juga perlu disiapkan teknologi penyimpanan maupun teknologi pengolahan yang mampu menjadikan sumber pangan nonberas itu tepat dijadikan cadangan pangan.

Selain itu, perlu dicermati dari sisi akses masyarakat terhadap pangan. Tak mudah menjamin distribusi pangan yang adil.  Di sini sangat dibutuhkan sentuhan kebijakan harga.

Agar setiap penduduk dapat dengan mudah mendapatkan pangan, politik pangan negara mestinya mengarah bagaimana pangan itu bisa murah. Ide pengembangan pangan lokal sebenarnya bisa menjawab permasalahan ini. 

Namun, lagi-lagi disayangkan kebijakan pengembangan pangan lokal pun tampak masih setengah hati.  Pemerintah belum all out dalam mewujudkan kebijakan pengembangan pangan lokal ini. Sekadar contoh, pengembangan diversifikasi berbasis pangan lokal masih muncul di lomba-lomba yang kental seremoni. 

Usai lomba, usai pula nasib pangan lokal. Masyarakat pun dibiarkan kembali bertarung untuk bisa mengakses pangan-pangan yang mahal dan tidak diserukan untuk mengonsumsi pangan lokal yang relatif mudah dijangkau harganya.

Dari sisi konsumsi, menjadi penting untuk diperhatikan bagaimana pola konsumsi masyarakat kita yang masih didominasi kelompok padi-padian.
Pola konsumsi pangan harus beragam, bergizi, dan berimbang (3B) tampaknya belum dipahami masyarakat luas.

Belajar dari keberhasilan kampanye "Empat Sehat Lima Sempurna", mestinya kampanye 3B ini perlu terus digencarkan.  Barangkali tak banyak dari kita yang tahu seperti apa konsep 3B ini. Apalagi pemerintah menargetkan terjadi kenaikan skor Pola Pangan Harapan (PPH) dari 75,7 pada 2009 menjadi 93,3 pada 2014.

Skor PPH adalah sebuah ukuran yang menunjukkan keragaman pola konsumsi pangan masyarakat, baik yang berasal dari kelompok padi-padian, umbi-umbian, hasil ternak atauikan, sayur-sayuran, serta buah-buahan.  Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dari sisi konsumsi inilah diversifikasi pangan perlu digenjot.

Diversifikasi pangan menjadi penting mengingat kita memiliki keanekaragaman sumber daya hayati yang luar biasa besar yang hingga kini belum termanfaatkan dengan baik.

Sayangnya, yang terjadi justru kita telah masuk dalam perangkap pangan (food trap) negara maju. Beberapa komoditas pangan, yakni gandum, kedelai, jagung, daging ayam ras, daging sapi, dan susu, Indonesia masih tergantung dari impor. Bahkan untuk komoditas gandum, kedelai, dan daging sudah dikategorikan kritis.

Merancang Sistem

Kepemimpinan yang tidak efektif merupakan salah satu sebab mengapa Indonesia tak jua memiliki sistem manajemen pangan yang andal. Para pemimpin negeri ini seharusnya bisa merancang sistem yang andal demi menopang stabilitas pangan nasional.

Masalah pangan seharusnya tidak diletakkan pada pasar global, tetapi pada kemampuan rakyat suatu negara. Di Indonesia, sejarah telah membuktikan bahwa unsur yang mampu menjamin keberlangsungan pangan adalah kearifan lokal dan keanekaragaman hayati.

Dengan demikian, urusan pangan menekankan pada keputusan pemerintah nasional (lokal), bukan pada badan perdagangan internasional seperti WTO yang selama ini lebih banyak menciptakan “jeratan” ketimbang solusi dalam persoalan pangan.

Sebagai salah satu jawaban atas jeratan pangan global, pemahaman serius terhadap pola pikir kedaulatan pangan memang menjadi sangat strategis dan urgen.

Terlebih bila terekam adanya sebuah suasana sekarang ini pangan diperjualbelikan demi menumpuk keuntungan sebesar-besarnya. Pangan sudah tidak dipandang sebagai bagian dari kebutuhan untuk mengganjal perut. Pangan sudah tidak dipersepsikan sebagai komoditas kemanusiaan.

Untuk itu, mestinya ada upaya guna mewujudkan tak hanya ketahanan pangan, tetapi juga kedaulatan pangan di mana kita harus memiliki kebijakan dan strategi sendiri atas produksi, distribusi, dan konsumsi pangan berkelanjutan sehingga mampu menjamin hak atas pangan bagi seluruh penduduk.

Memperingati Hari Krida Pertanian 21 Juni ini, para capres ditantang komitmennya untuk menyelamatkan pangan masyarakat. Kita perlu blueprint kebijakan pangan yang jelas. Revitalisasi pertanian yang telah dicanangkan mestinya mampu mendorong komitmen pemerintah untuk mewujudkannya agar kita bisa berdaulat atas pangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar