Minggu, 22 Juni 2014

Haruskah Tarif Listrik Naik?

Haruskah Tarif Listrik Naik?

Maxensius Tri Sambodo  ;   Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi-LIPI;
Research Fellow di Institute of Southeast Asian Studies/ISEAS, Singapura
KOMPAS, 19 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Tanggal 1 Mei 2014 pemerintah telah menyetujui kenaikan tarif tenaga listrik. Penyesuaian ini terbagi dalam dua tipologi, yaitu penyesuaian tarif bulanan dan kenaikan secara bertahap tiap dua bulan. Penyesuaian tarif bulanan akan diumumkan oleh PT PLN (Persero) setiap bulan dengan memperhatikan tiga indikator, yaitu kurs rupiah terhadap dollar AS, harga minyak mentah Indonesia (ICP), dan inflasi.

Dengan formulasi di atas, maka bagi pelanggan yang terkena dampak penyesuaian tarif bulanan akan mengalami kondisi ketidakpastian karena besar penyesuaian tarif tidak diketahui. Di samping itu bagaimana formulasi tiga indikator penentu tersebut terhadap besaran tarif juga tidak dijelaskan.

Pada sisi lain untuk kenaikan tarif setiap dua bulan, PLN telah menetapkan besar kenaikan. Misalkan antara April dan November, golongan tarif I-3 yaitu industri skala menengah dengan daya di atas 200 kilovolt ampere (kVA) dan dalam kategori perusahaan terbuka, maka akan mengalami kenaikan 38,9 persen dan untuk perusahaan golongan I-4 yaitu industri skala besar dengan daya di atas 30 megavolt ampere (MVA) ke atas, kenaikan tarif 64,7 persen.

Pengalaman negeri Singapura menunjukkan bahwa pada 1 April 2014 hingga 30 Juni 2014 Otoritas Pengatur Pasar Energi (Energy Market Authority/EMA) mengumumkan kenaikan tarif sebesar 0,3 persen. Misalnya, saat ini telah terjadi penyesuaian tarif listrik untuk kelompok di atas 6,6 kV yang berada dalam kisaran Rp 1.411-Rp 2.316 per kilowatt jam (kWh), sementara PLN mematok pada harga Rp 1.352 per kWh.

Jika diperhatikan batas minimum tarif di Singapura yang berlaku pada saat di luar beban puncak (23.00-07.00), tidak terpaut jauh dengan tarif di Indonesia. Sementara itu, pendapatan per kapita Singapura sekitar 12,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia.

Becermin pada kondisi tersebut, pelanggan tentu mempertanyakan dasar kenaikan tarif tersebut. Perlu adanya transparansi informasi mengapa tarif harus naik dan mengapa keputusan tersebut harus diambil segera.

Melihat langkah kebijakan yang dilakukan oleh SP Service Singapura (penyedia jasa publik listrik, gas, dan air di Singapura) dan PLN dalam menetapkan kenaikan tarif jelas sangat berbeda. SP Service mengomunikasikan kenaikan tarif secara terbuka dan terukur, dan pihak rumah tangga dapat memperkirakan anggaran yang perlu disiapkan karena kenaikan tarif.

Informasi tersebut diberikan secara lengkap dan transparan melalui media cetak yang dapat diakses secara mudah oleh masyarakat, seperti MediaCorp.

Belajar dari Singapura

Kembali belajar dari pengalaman Singapura, dasar kenaikan tarif dikomunikasikan kepada masyarakat karena naiknya harga gas alam dalam tiga bulan terakhir ini.
Lebih jauh pemerintah juga menyampaikan bahwa kenaikan tarif hanya diberikan kepada pemilik pembangkit sebesar 0,08 dollar Singapura per kWh, sementara untuk biaya jaringan, biaya jasa penunjang pasar, dan biaya administrasi pasar, serta biaya operasi sistem tidak mengalami kenaikan.

Hal ini mengindikasikan adanya upaya dari pemerintah untuk berbagi beban kenaikan dengan meningkatkan efisiensi pada jasa penunjang sektor ketenagalistrikan.

Tidak hanya itu, Menteri Keuangan juga memberikan voucer atau potongan harga kepada 800.000 rumah tangga yang tinggal di perumahan publik (housing and development board/HBD) dengan nilai total mencapai 45 juta dollar Singapura (Rp 415 miliar) untuk bentuk penghematan (utility save) yang dilakukan oleh rumah tangga.

Hal ini mengindikasikan kebijakan tarif tidak hanya menjadi domain Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ataupun PLN, tetapi kementerian lainnya harus mencoba mengambil peran untuk membantu dan mendidik rumah tangga dan industri agar berhemat dalam penggunaan listrik.

Menimbang pada besaran kenaikan tarif serta dampaknya pada usaha bisnis, maka kementerian terkait perlu mengambil langkah-langkah yang baik untuk menyelamatkan usaha bisnis dan industri dari dampak terburuk atas kenaikan tarif tersebut.

Komponen yang tampaknya kurang mendapat perhatian baik dari pemerintah dan PLN yaitu pentingya upaya pendidikan energi.
Kenaikan tarif listrik dipandang secara absolut ”memang tarif harus naik”. 

Sementara itu, upaya kolektif yang dapat dilakukan untuk mengurangi beban kenaikan listrik kurang mendapat perhatian. Termasuk mekanisme insentif dan disinsentif dari upaya penghematan listrik terutama bagi para pelanggan berdaya menengah dan tinggi.

Posisi PLN yang masih monopoli dalam bisnis ketenagalistrikan menyebabkan keputusan menaikkan tarif listrik selalu menimbulkan kecurigaan dari para pelanggan. Pengalaman di Filipina menunjukkan bahwa Departemen Energi membentuk komite bebas (independent oil price review committee/IOPRC) untuk mengkaji kebijakan harga minyak tahun.

IOPRC beranggotakan para akademisi, komunitas bisnis, konsumen, ekonom, akuntan, dan perwakilan dari badan transportasi publik. IOPRC membuat penilaian apakah penentuan harga pasaran minyak telah dilakukan secara adil (fair pricing policy). Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan harga energi perlu dilakukan secara terbuka dan dipahami semua pihak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar