Selasa, 24 Juni 2014

Gugatan Jender di Balik “Tarian Bumi”

Gugatan Jender di Balik “Tarian Bumi”

Sri Rejeki  ;   Wartawan Kompas? ( Tanpa Penjelasan )
KOMPAS, 22 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Novelis Oka Rusmini tidak sekadar menarikan kata-katanya ketika menulis buku Tarian Bumi, Ia juga menyelipkan pesan di balik jalinan fakta yang ia rangkai menjadi kisah fiksi. Kesetaraan jender menjadi hal khusus yang ia soroti, selain perubahan Bali sebagai bingkai utama.

”Tarian Bumi menjadi simbol pergolakan perempuan untuk melepaskan diri dari sistem kasta. Buku ini juga menarik ditelaah karena kita bisa menyelami jiwa orang Bali,” kata Tommy F Awuy, dosen filsafat dari Universitas Indonesia dalam Diskusi ”Wanita, Sastra, dan Kasta” yang diselenggarakan Yayasan Lontar di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, Rabu (18/6).

Tarian Bumi, dinilai Tommy, sama gelap dan tragisnya ketika ia membaca Hamlet karya Shakespeare. Rangkaian kalimat yang indah tetapi menceritakan kisah muram para tokohnya.

Oka membingkai masalah ketidakadilan jender lewat kisah cinta tokoh-tokoh di dalam bukunya. Para tokoh perempuannya kebanyakan penari. Ada Telaga yang harus menjalani upacara patiwangi untuk melepas status kebangsawanannya demi benar-benar menjadi wanita sudra. Meski sebenarnya Telaga telah ditinggal mati suami, ia masih mematuhi keinginan sang mertua untuk menjalani upacara patiwangi agar tidak terus-menerus dianggap sebagai pembawa sial. Perempuan bangsawan yang menikahi laki-laki sudra dianggap membawa sial.

”Berkali-kali tiang berkata, menikah dengan perempuan Ida Ayu pasti mendatangkan kesialan. Sekarang anakku mati! Wayan tidak pernah mau mengerti. Ini bukan cerita dongeng. Ini kebenaran. Kalau sudah begini jadinya aku harus bicara apa lagi!” Luh Gumbreg memukul dadanya. Menatap Telaga tidak senang.

Di bagian akhir buku Tarian Bumi yang juga sudah diterbitkan dalam bahasa Inggris menjadi Earth Dance ini, digambarkan tentang Telaga yang menjalani upacara patiwangi.

“Aku tidak pernah meminta peran sebagai Ida Ayu Telaga Pidada. Kalaupun hidup terus memaksaku memainkan peran itu, aku harus menjadi aktor yang baik. Dan hidup harus bertanggung jawab atas permainan gemilangku sebagai Telaga.”

Telaga bergumam, membiarkan perempuan tua itu mencuci kaki di ubun-ubunnya untuk menjelmakan dirinya menjadi perempuan baru. Perempuan sudra! Upacara patiwangi, menurut Oka, sebenarnya sudah dihapus dengan keluarnya keputusan Dewan Pemerintah Bali Tahun 1951. Namun dalam praktiknya, upacara patiwangi masih sering dilakukan hingga tahun-tahun belakangan ia menyusun bukunya.

Berkebalikan adalah kisah Kenanga, ibu Telaga yang naik kasta dari sudra menjadi brahmana. Namun, Kenanga harus menghadapi kenyataan perilaku suaminya yang hanya gemar menyenangkan diri sendiri. Bebannya bertambah dengan sikap ibu mertua yang justru menyalahkan dirinya atas perilaku anaknya sendiri yang buruk.

Ada pula Luh Kambren, penari yang dianggap sebagai kekasih Dewa Tari, takut menikah karena berbeda kasta. Sebagai penari mumpuni, tidak terhitung puluhan piagam penghargaan diterimanya. Sayang, hal itu tanpa diiringi imbalan kesejahteraan memadai. Hari tua Kambren berlangsung tragis, dalam kesendirian dan kemiskinan. Piagam penghargaan dipakainya untuk menyumpal dinding rumahnya yang bocor.

”Saya bertemu dengan perempuan-perempuan Bali yang mengalami tekanan. Mungkin ada yang berpikir saya menjual Bali, tetapi tidak. Saya hanya ingin mendokumentasikan budaya dalam sebuah novel. Saya berharap penulis lain melakukan hal serupa, memperkenalkan budaya lewat buku atau novel,” kata Oka dalam diskusi dengan moderator Direktur Eksekutif Yayasan Lontar Kestity Pringgoharjono.

Fakta jurnalistik

Apa yang ditulis dalam Tarian Bumi merupakan fakta-fakta yang ditemui Oka dalam kehidupan sehari-harinya sebagai seorang wartawan di Bali Post sejak tahun 1990-an. Cerita tentang Luh Kambren, upacara patiwangi, para penari Bali yang dieksploitasi sebagai obyek seni para seniman Barat, ditemuinya sendiri dalam tugas jurnalistiknya. Namun, fakta-fakta ini kemudian ia ramu menjadi cerita fiksi dengan setting budaya Bali yang amat kental.

”Kalau saya menulisnya menjadi buku biasa, mungkin saya bisa diserbu orang, dianggap ’murtad’ sebagai orang Bali. Tetapi saya mengamuflasekannya dengan cara menulisnya menjadi novel,” ungkap Oka yang bernama lengkap Ida Ayu Oka Rusmini.

Meski gugatan atas ketidaksetaraan jender kental terasa dalam bukunya, Oka mengaku tidak membuatnya secara sengaja. Ia lebih ingin merekam budaya dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat Bali. Oka ingin buku yang bagus tentang Bali tidak hanya ditulis oleh orang asing, tetapi juga oleh pribumi. Buku Oka di kemudian hari menjadi pembicaraan di kalangan indonesianis.

Tommy menilai apa yang dilakukan Oka sangat berani. Ia sampai menanyakan, apakah Oka pernah berdiskusi dengan kalangan laki-laki di Bali tentang buku-bukunya. Oka menjawabnya, ia sering dikira tidak tinggal di Bali, melainkan di Jakarta sehingga ia ”aman”. Diakui Oka, ada kekhawatiran dirinya, gugatannya ini akan dihadapkan dengan persinggungan dengan agama sehingga menyulitkan dialog.

Bagi Tommy, membaca Tarian Bumi seperti membuka kotak pandora karena ada banyak hal mengejutkan, termasuk luka dan kemuraman yang muncul. Tarian Bumi dinilainya menceritakan kesuraman budaya yang sangat bertolak belakang dengan citra manis Bali di dunia pariwisata. ”Itu mengapa pendekatan budaya ditakuti karena bisa memunculkan banyak borok,” kata Tommy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar