Dramatisasi
Pemilihan Rektor
L
Tri Setyawanta R ; Guru
Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 18 Juni 2014
DUA
perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka di Jawa Tengah akan menggelar suksesi
kepemimpinan dalam waktu dekat. Pemilihan Rektor Universitas Negeri Semarang
(Unnes) dijadwalkan pada akhir Juni ini, sedangkan Universitas Diponegoro
(Undip) pada akhir tahun ini. Perbincangan mengenai siapa yang akan memimpin
dua PTN tersebut mulai mengemuka pada civitas
academica.
Sebenarnya,
rektor bukan jabatan karier sehingga semua dosen tetap yang memenuhi syarat
berhak dicalonkan. Pada perguruan tinggi yang diselenggarakan pemerintah,
Mendikbud melalui Permendikbud Nomor 33 Tahun 2012 telah mengkristalisasi
persyaratan untuk menjadi rektor. Berdasarkan Pasal 4 peraturan itu, 8 syarat
umum dan 2 syarat khusus masih dalam kategori standar minimal. Secara
realistis, syarat itu tentu bisa dipenuhi oleh SDM yang dipunyai sebuah
perguruan tinggi.
Terlebih
lagi universitas besar. Persyaratan menjadi calon rektor yang tampaknya masih
standar dan lugas bisa menjadi rumit dalam implementasinya. Kerumitan pertama
adalah berbagai persyaratan administratif yang harus dilengkapi dan
dikumpulkan oleh calon rektor.
Drama
kontestasi rektor bisa mengarah pada situasi lebih rumit jika terjadi
kontroversi interpretasi secara subjektif terhadap makna dari persyaratan
tersebut. Misal mengenai syarat umum, yaitu “beriman dan bertakwa kepada Tuhan
YME”. Secara objektif sebenarnya tiap orang dapat memahami makna itu.
Namun
apakah bisa ditafsirkan bahwa calon adalah seorang penganut agama tertentu?
Bagaimana kalau ternyata penganut aliran kepercayaan, meski dalam KTP
tercantum agama tertentu? Apakah bisa ditafsirkan bahwa asal calon bukanlah
seorang ateis? Kontroversi intepretasi memang tidak mudah untuk dapat menuju
pada satu titik temu. Justru yang terjadi adalah dramatisasi pilrek yang tentu
akan menyita waktu dari tugas utama dosen dan memengaruhi jadwal tahapan
pemilihan.
Dosen PNS Aktif
Syarat
umum yang lebih sensitif, yaitu calon harus ’’dosen PNS aktifî. Syarat ini
juga dapat menimbulkan kontroversi intepretasi, bergantung pendekatan intepretasi
yang akan digunakan. Penafsiran secara tekstual sebenarnya lebih mudah
dipahami dari bunyi teksnya.
Subjek
yang ditekankan dalam syarat tersebut adalah dosen di perguruan tinggi, yang
status kepegawaiannya PNS berdasarkan aturan yang berlaku. Ini untuk
membedakan dari status kepegawaian lain dari dosen yang non-PNS atau non-PNS
khusus, karena dikontrak atau dosen luar biasa dan dosen tamu.
Kalau
mau lebih diperjelas dengan jeda koma, ejaannya adalah “dosen PNS, aktif”.
Dosen dengan status PNS tersebut harus dalam kondisi sedang dan masih
menjalankan tugas dan tanggung jawab Tri Darma Perguruan Tinggi sebagai
kewajiban jabatan fungsionalnya.
Implikasinya
tentu saja tunjangan fungsional, tunjangan profesi kalau sudah berhak, dan
tunjangan kehormatan kalau ia seorang profesor, tunjangan khusus ataupun
tunjangan kemaslahatan secara otomatis akan melekat sebagai hak yang harus
dipenuhi.
Ketika
dosen PNS menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai dosen, kemudian
ditugaskan secara penuh di luar jabatan akademik karena diangkat dalam
jabatan struktural. maka dosen itu harus dibebaskan sementara dari tugas
jabatan akademik atau dinonaktifkan fungsinya sebagai dosen. Statusnya
sebagai dosen PNS tetap diakui dan jabatan akademiknya masih tetap melekat
tapi dalam kondisi nonaktif.
Dasar
rasionalnya adalah untuk kepentingan optimalisasi kinerja, disiplin, dan
akuntabilitas pejabat struktural dan karena keterbatasan kemampuannya sebagai
seorang manusia. Karena itu, dosen PNS yang menduduki jabatan struktural
secara penuh di luar jabatan akademik, tidak dapat menduduki jabatan rangkap,
baik dirangkap dengan jabatan fungsional maupun jabatan struktural lainnya.
Sebaliknya,
penafsiran dengan pendekatan teleologikal atau secara liberal tentu akan
memberikan pemahaman berbeda. Dengan subjek pada PNS-nya, yang ejaannya
”dosen, pegawai negeri sipil aktif”, maka penekanannya adalah pada status PNS
yang masih aktif dari seorang dosen.
Artinya,
dosen yang sekalipun sedang ditugaskan secara penuh dalam jabatan struktural,
yang tidak kehilangan statusnya sebagai PNS aktif, masih berhak untuk menjadi
calon rektor. Hal itu disebabkan, dosen tersebut tidak sedang dalam
pembebasan sementara dari jabatan strukturalnya itu, yaitu suatu jabatan
organik atau jabatan negeri PNS atau tidak sedang diberhentikan sementara
dari jabatan negeri PNS.
Demikian
pula untuk dosen yang sedang menjalani tugas belajar lebih dari enam bulan,
bisa dianggap masih memenuhi syarat sebagai calon rektor karena statusnya
masih diakui sebagai PNS aktif .
Hal ini
tentu akan bertentangan dari syarat umum lainnya yang telah ditentukan yaitu
”tidak sedang menjalani tugas belajar lebih dari enam bulan atau izin belajar
dalam rangka studi lanjut yang meninggalkan tugas Tri Darma Perguruan
Tinggi.” Jika tafsir ini dipertahankan, implikasi yang lebih luas lagi, siapa
pun pejabat struktural atau bukan, asalkan statusnya masih PNS aktif yang
kebetulan juga menjadi dosen meskipun dosen tidak tetap di suatu PTN, akan
berhak pula menjadi calon rektor.
Nalar dan Nurani
Pada
akhirnya, semua pihak yang berkepentingan sebenarnya masih mempunyai nurani
yang bersih, dan tahu penafsiran mana yang dapat digunakan secara benar untuk
kepentingan dan kemajuan institusi secara bersama. Secara filosofi, moral,
dan sosiologis syarat ”dosen PNS aktif” menuntut bahwa calon rektor mempunyai
pemahaman yang lebih mendalam mengenai situasi dan kondisi serta kebutuhan
aktual dari institusi yang akan dipimpinnya.
Hal itu
diperlukan untuk menentukan ke mana arah institusi pendidikan tinggi itu
dibawa dalam masa depan. Bukankah setidak-tidaknya dia selalu bergumul secara
internal dan intens di institusinya, dibanding dosen yang sementara nonaktif
dan mengabdi di luar institusi? Resistensi internal bisa saja memicu
kegaduhan andai tibatiba masuk calon dari luar hanya karena statusnya masih
sebagai PNS sekaligus dosen.
Semoga
semua pihak yang berkepentingan dapat secara arif dan bijak mempersiapkan dan
melaksanakan pemilihan rektor sebagai suatu proses demokratisasi di kampus,
tanpa dramatisasi koalisi kontraktual yang perlahan diyakini memang sudah
mulai basi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar