Minggu, 01 Juni 2014

Daya Rusak Kampanye Hitam

Daya Rusak Kampanye Hitam

Effnu Subiyanto  ;   Mahasiswa Doktor Unair,
Pendiri Koalisi Rakyat Indonesia Reformis
MEDIA INDONESIA,  31 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
KAMPANYE hitam kini melanda dua pasangan bakal calon presiden yang berlaga tahun ini. Dua-duanya sibuk memberikan tanggapan dan pernyataan karena kampanye hitam dipandang mem punyai potensi pembunuhan karakter dan merusak dukungan suara saat pilpres 9 Juli mendatang.

Bakal calon presiden Joko Widodo disebut tidak kompeten oleh pasangannya, JK, dibuktikan dengan tayangan video JK sendiri. Kubu Jokowi sendiri sudah memberikan klarifikasi bahwa tayangan tersebut diambil empat bulan setelah Jokowi terpilih menjadi Gubernur DKI pada 2012. JK menyebut konteksnya tidak relevan lagi pada saat ini karena Jokowi kini berkemampuan kenegaraan jauh lebih baik dan berpengalaman. Masih banyak kampanye hitam untuk pasangan bakal capres PDIP itu termasuk soal SARA.

Sementara itu, bakal capres Prabowo Subianto terbelit soal kerusuhan Mei 1998, penghilangan aktivis reformasi, dan kewarganegaraan ganda Indonesia-Yordania. Sampai sekarang pun, kubu Prabowo-Hatta harus mati-matian memberikan penjelasan dan menjernihkan persoalan tersebut.

Kampanye hitam tidak hanya merugikan dan membahayakan pasangan calon presiden, tetapi tidak kalah bahayanya juga untuk pemilih yang notabene rakyat Indonesia peserta pemilu tahun ini. Pandangan dan sikap objektif riskan terdistorsi karena terpengaruh oleh kampanye tersebut dan akhirnya justru yang terpilih adalah kandidat presiden yang salah.

Pada jenis masyarakat yang well educated, kampanye hitam tidak mempunyai daya pengaruh signifikan. Namun, pada masyarakat dengan tingkat gap pendidikan tinggi seperti di Indonesia, kampanye itu notabene sangat serius.
Faktor pendorongnya ialah teknologi. Maraknya teknologi komunikasi sekarang ini, bahkan setiap penduduk di lereng gunung mempunyai perangkat itu, akan sangat menentukan sekali bagi pilpres 9 Juli. Penduduk jenis itu yang sangat mayoritas jumlahnya mudah sekali terpengaruh dan dengan mudah percaya informasi yang menyesatkan tersebut.

Inilah risiko demokrasi yang fatal dan kita anut sekarang ini. Suara rakyat (vox populi) kini tidak bisa lagi disebut dengan suara Tuhan (vox dei) karena vox populi sendiri kini sudah tercemar oleh informasi yang dibangun populi-populi lainnya untuk kepentingan tertentu. Bahaya itu diketahui Aristoteles yang bersedia mati (322 SM) dengan meminum racun karena berseberangan paham dengan Plato, gurunya sendiri.

Jokowi vs Prabowo

Kampanye hitam kali ini memiliki dua perbedaan signifikan. Indikasinya menyerang secara pribadi kepada capres Jokowi-JK, tetapi menyorot histori dan rekam jejak kepada pasangan bakal capres Prabowo-Hatta. Bagi pemilih cerdas, hal itu jelas tidak menguntungkan bagi pasangan bakal capres Prabowo-Hatta.

Letak posisi merugikan bagi pasangan bakal capres-cawapres Prabowo-Hatta ialah rekam jejaknya sendiri. Prabowo sebagai mantan jenderal TNI akan sangat sulit memberikan klarifikasi yang bisa diterima soal penghilangan aktivis, kasus Mei 1998, dan isu pembelotan dirinya ke Yordania. Kini masalah yang digantung dan tidak terselesaikan sejak 1998 itu justru menjadi bumerang bagi pasangan Prabowo-Hatta.

Beda persoalannya bagi pasangan bakal capres-cawapres Jokowi-JK yang lebih banyak diserang dari sisi pribadi dan SARA, tetapi sebetulnya justru kian menguntungkan. Semakin besar intensitas kampanye hitam yang menyerang soal pribadi dan SARA menunjukkan bahwa kubu kompetitor kehilangan substansi sebagai konten kampanye hitam.

Gagasan

Mengembangbiakkan rumor dan isu yang disusun menjadi kampanye hitam jelas harus dihentikan karena tidak membangun budaya demokrasi yang sehat. Masyarakat sama sekali tidak memperoleh manfaat berdemokrasi sebagai alat berpolitik terbaik saat ini. Sebaliknya, itu malah menumbuhkan sikap untuk percaya rumor dan isu yang sesat. Koridor demokrasi harus dikembalikan sesuai muruahnya dan tim sukses setiap pasangan capres seharusnya meneken pakta integritas untuk menghindari kampanye hitam.

Sebagai gantinya, kampanye dalam bentuk gagasan dan program kerja capres ialah hal substansial yang perlu dibangun lebih intensif ketimbang kampanye hitam. Sudah saatnya bakal capres membuat program yang lebih detail untuk mengantarkan rakyat Indonesia sejahtera per tahun dan akhirnya per bulan dari masa jabatannya 2014-2019.

Ada tujuh program yang kini harus dilevelkan penilaiannya di antara dua pasangan capres. Program tersebut ialah infrastruktur, pangan, energi, pendidikan, kesejahteraan sosial, hukum dan pemerintahan, dan birokrasi. Namun, gagasan kali ini pun masih menimbulkan pertanyaan, bagaimana caranya, kapan dilaksanakan, dan berapa uangnya. Rakyat sebetulnya menunggu agar pasangan capres menyelesaikan secara detail apa, bagaimana, dan kapan setiap gagasannya itu mampu diwujudkan.

Itu menunjukkan kesiapan pasangan bakal capres tersebut dalam mengeksekusi gagasannya. Begitu terpilih langsung tancap gas menjalankan roda pemerintahan atau begitu terpilih masih berpikir lama memilih dan menimbang-nimbang calon menteri.

Kini persoalan waktu begitu mendesak karena fakta yang sudah terjadi, tidak mudah mewujudkan salah satu program, misalnya Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sejak 2011 yang menemui berbagai kendala dan dinamika. Kompetisi ke depan tidak lagi di dalam negeri, tetapi sudah antarnegara begitu Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) diberlakukan akhir 2015, siap atau tidak siap.

PR terbesar presiden terpilih ialah menyelesaikan masalah dalam negeri agar mempunyai daya saing kompetitif. Berikutnya presiden harus membawa bangsa ini masuk skala regional dan global dengan selamat dan tidak menjadi korban. Bisakah semua masalah ini diselesaikan sebelum akhir 2015?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar