Kamis, 19 Juni 2014

Benahi Tata Kelola Haji

Benahi Tata Kelola Haji

Bambang Soesatyo  ;   Anggota Komisi III DPR RI
KORAN JAKARTA,  18 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
TAMPARAN keras kembali diterima Kabinet Indonesia Bersatu II. Hanya dalam hitungan bulan menjelang demisioner, potret kabinet justru bertambah buram setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Agama, Suryadharma Ali, sebagai tersangka kasus penyelenggara dana haji 2012–2013. Inilah momentum untuk membenahi semua aspek pengelolaan ibadah haji.

KPK telah meningkatkan status kasus pengelolaan dana dan pengadaan haji periode 2002–2013 ke tahap penyidikan. Adalah Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas, yang baru-baru ini mengumumkan hal itu, termasuk penetapan status tersangka atas Menag, Suryadharma Ali (SDA).

Pada tahap penyelidikan, KPK menemukan indikasi praktik penggelembungan (mark up) nilai pengadaan serta penyalahgunaan dana calon haji periode itu dengan perkiraan volume anggaran lebih dari 1 triliun rupiah. Penggelembungan antara lain terjadi pada aspek pemondokan, katering, dan pengadaan transportasi. Juga ditemukan penyelewengan pada pengelolaan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) yang diduga digunakan untuk membiayai kepentingan sejumlah pejabat Kemenag.

Tentu saja umat Islam memaknai langkah KPK ini sebagai angin segar. Selama ini, umat memang selalu berharap dilakukannya perbaikan dan pembenahan dalam tata kelola dan penyelenggaraan ibadah haji. Sudah begitu lama umat menggunjingkan ketertutupan pemerintah dalam mengelola dana haji. Apalagi setelah terungkapnya transaksi mencurigakan dalam pengelolaan dana haji sepanjang periode 2004–2012. Pun, sudah begitu banyak kisah atau pengalaman jemaah mengenai ketidaknyamanan beribadah akibat tata kelola penyelenggaraan ibadah haji yang begitu tertutup selama ini.

Sering diasumsikan bahwa jika saja dana haji yang disetorkan calon haji dikelola dengan benar dan produktif, Indonesia bisa berinvestasi membangun apartemen, hotel, poliklinik, atau pusat kesehatan haji Indonesia pada area-area yang tidak jauh dari Tanah Suci. Pada area dimaksud, bisa disediakan katering atau food court yang menyediakan masakan khas Indonesia. Kemampuan Indonesia menyediakan fasilitas-fasilitas seperti itu akan menyediakan ruang bagi jemaah haji Indonesia untuk beribadah dengan khusyuk dan nyaman.

Namun, gagasan ini begitu sulit diolah karena pengelolaan dana haji selama ini begitu tertutup. Karena itu, semua elemen masyarakat bersyukur atas inisiatif institusi penegak hukum menyentuh masalah ini. Ketertutupan yang jelas-jelas tidak produktif itu harus diakhiri, apa pun risikonya.

Dengan begitu, inisiatif KPK menyelidiki dugaan penyimpangan pengelolaan dana haji hendaknya dipahami dengan sudut pandang positif. Jangan dipolitisasi. KPK setidaknya telah mendorong dilakukannya pembenahan pada semua aspek tata kelola dan penyelenggaraan ibadah haji, sebagaimana yang diharapkan semua elemen masyarakat.

Dengan ditetapkannya figur seorang menteri menjadi tersangka, yang diharapkan tentu saja bukan hanya dorongan pembenahan, melainkan juga tumbuhnya efek jera bagi semua pihak yang selama ini mungkin sering memanipulasi para calon haji. Calon haji hendaknya tidak melulu dilihat sebagai objek untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Calon haji harus diperlakukan sebagaimana layaknya individu yang ingin beribadah di Tanah Suci. Benar bahwa calon haji memerlukan bantuan atau jasa dari pihak lain karena perjalanan yang jauh dan kewajiban memenuhi sejumlah persyaratan. Wajar juga jika semua pihak yang membantu atau penyedia jasa mendapatkan uang lelah atau keuntungan.

Akan tetapi, beban perjalanan jauh dan persyaratan-persyaratan yang mengikutinya tidak boleh direkayasa atau dieskalasi menjadi persoalan teramat sulit yang hanya bisa diatasi dengan pembiayaan sangat mahal. Perilaku manipulatif seperti itulah yang sering dialami banyak calon haji Indonesia. Niat beribadah harus dimuliakan, dan karenanya pemburu rente yang tamak tidak boleh diberi tempat dalam penyelenggaraan haji di Indonesia.

Profesional dan Transparan

Pembenahan pada aspek pengelolaan dana haji sudah dimulai. Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama, Anggito Abimanyu, menggagas pemisahan pengelolaan dana haji dari direktorat yang dipimpinnya itu. Tujuan utama dari pemisahan itu adalah transparansi dan profesionalitas. Gagasan ini sudah dimasukan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Keuangan Haji.

Anggito mengusulkan lembaga pengelola bisa saja seperti Badan Amil Zakat Nasional, sementara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyarankan agar pengelolaan dana jemaah haji dikelola badan layanan umum (BLU). Dalam praktiknya nanti, kebijakan tetap melekat di Ditjen PHU, sedangkan pengelolaan dana haji menjadi wewenang badan dimaksud.

Menurut Laporan Keuangan Penyelenggaraan Ibadah Haji (LKPIH) 2013 dari Kemenag, outstanding dana haji per Desember 2013 mencapai 64,5 triliun rupiah. Dalam rentang waktu relatif pendek, akumulasi dana haji diprediksi menembus jumlah 100 triliun rupiah. Perkiraan itu masuk akal karena minat umat melaksanakan ibadah haji terus meningkat dari waktu ke waktu.

Jelas bahwa dana masyarakat ini bukan jumlah yang kecil. Karena dana itu milik orang banyak, pengelolaannya harus profesional dan transparan. Ada dua poin yang patut digarisbawahi. Pertama, negara cq pemerintah seharusnya mengapresiasi kehendak masyarakat untuk melaksanakan ibadah haji. Kedua, dalam mengelola dana haji, pemerintah semestinya tidak menyalahgunakan kepercayaan calon haji.

Sebelum gagasan pemisahan pengelolaan dana haji yang digagas Anggito, ada pertanyaan publik yang tak pernah bisa dijawab pemerintah. Pertanyaan itu adalah bagaimana pemerintah atau Kemenag mengelola dana triliunan rupiah yang disetor calon haji? Mengapa juga tidak ada transparansi untuk pengelolaan dana masyarakat yang demikian besar itu? Karena jumlahnya yang puluhan trilyun itu, publik yakin dana itu tidak disimpan di brankas Kemenag, melainkan di sejumlah bank. Kalau mengikuti mekanisme perbankan, dana itu pasti produktif alias berbunga.

Faktanya, selama ini, calon haji tidak menikmati imbal hasil itu. Setelah sekian tahun menunggu, calon haji hanya mendapatkan manfaat sesuai setoran pokok ketika akan berangkat menunaikan ibadah. Calon haji pasrah karena hak untuk menentukan jemaah yang berangkat ada di tangan pemerintah. Tetapi, aneh bahwa pemerintah merasa tidak perlu mempertanggungjawabkan pengelolaan dana masyarakat itu.

Di mana dana itu ditempakan dan atas nama siapa? Apa pilihan instrumennya? Kalau dana itu diinvestasikan, berapa besar hasil investasinya dan digunakan untuk apa saja hasil investasi itu? Bagaimana mekanismenya sehingga calon haji yang menyetor 20 juta rupiah tetap menerima 20 juta rupiah setelah lima atau 10 tahun kemudian?

Selama puluhan tahun, pertanyaan-pertanyaan dari publik itu tidak pernah mendapatkan jawaban. Baru satu-dua tahun terakhir ini pengelolaan dana haji dibuat transparan, ketika Ditjen PHU mulai memindahkan dana setoran haji ke bank syariah dan unit usaha syariah sebagai bank penerima setoran (BPS).

Penetapan Menteri Agama SDA dkk menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan haji periode 2012–2013 patut dijadikan momentum pembenahan tata kelola dan penyelenggaraan haji. Penetapan status SDA itu hendaknya dijadikan faktor pendorong.

Pengelolaan dana haji mulai dibenahi dan transparan. Aspek lainnya pun harus dibenahi. Pembenahan itu harus membuahkan rasa nyaman dan khusyuk bagi jemaah sejak proses persiapan di dalam negeri, perjalanan pergi-pulang, dan selama melaksanakan ibadah. Itulah yang sesungguhnya menjadi kepentingan mendasar jemaah. Sangat sederhana. Maka, RUU tentang Pengelolaan Dana Haji hendaknya sudah mencakup semua kepentingan mendasar yang sederhana itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar