Benahi
Tata Kelola Haji
Bambang
Soesatyo ; Anggota
Komisi III DPR RI
|
KORAN
JAKARTA, 18 Juni 2014
TAMPARAN
keras kembali diterima Kabinet Indonesia Bersatu II. Hanya dalam hitungan
bulan menjelang demisioner, potret kabinet justru bertambah buram setelah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Agama, Suryadharma Ali,
sebagai tersangka kasus penyelenggara dana haji 2012–2013. Inilah momentum
untuk membenahi semua aspek pengelolaan ibadah haji.
KPK
telah meningkatkan status kasus pengelolaan dana dan pengadaan haji periode
2002–2013 ke tahap penyidikan. Adalah Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas, yang
baru-baru ini mengumumkan hal itu, termasuk penetapan status tersangka atas
Menag, Suryadharma Ali (SDA).
Pada
tahap penyelidikan, KPK menemukan indikasi praktik penggelembungan (mark up) nilai pengadaan serta
penyalahgunaan dana calon haji periode itu dengan perkiraan volume anggaran
lebih dari 1 triliun rupiah. Penggelembungan antara lain terjadi pada aspek
pemondokan, katering, dan pengadaan transportasi. Juga ditemukan
penyelewengan pada pengelolaan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) yang
diduga digunakan untuk membiayai kepentingan sejumlah pejabat Kemenag.
Tentu
saja umat Islam memaknai langkah KPK ini sebagai angin segar. Selama ini,
umat memang selalu berharap dilakukannya perbaikan dan pembenahan dalam tata
kelola dan penyelenggaraan ibadah haji. Sudah begitu lama umat menggunjingkan
ketertutupan pemerintah dalam mengelola dana haji. Apalagi setelah
terungkapnya transaksi mencurigakan dalam pengelolaan dana haji sepanjang
periode 2004–2012. Pun, sudah begitu banyak kisah atau pengalaman jemaah
mengenai ketidaknyamanan beribadah akibat tata kelola penyelenggaraan ibadah
haji yang begitu tertutup selama ini.
Sering
diasumsikan bahwa jika saja dana haji yang disetorkan calon haji dikelola
dengan benar dan produktif, Indonesia bisa berinvestasi membangun apartemen,
hotel, poliklinik, atau pusat kesehatan haji Indonesia pada area-area yang
tidak jauh dari Tanah Suci. Pada area dimaksud, bisa disediakan katering atau
food court yang menyediakan masakan
khas Indonesia. Kemampuan Indonesia menyediakan fasilitas-fasilitas seperti
itu akan menyediakan ruang bagi jemaah haji Indonesia untuk beribadah dengan
khusyuk dan nyaman.
Namun,
gagasan ini begitu sulit diolah karena pengelolaan dana haji selama ini
begitu tertutup. Karena itu, semua elemen masyarakat bersyukur atas inisiatif
institusi penegak hukum menyentuh masalah ini. Ketertutupan yang jelas-jelas
tidak produktif itu harus diakhiri, apa pun risikonya.
Dengan
begitu, inisiatif KPK menyelidiki dugaan penyimpangan pengelolaan dana haji
hendaknya dipahami dengan sudut pandang positif. Jangan dipolitisasi. KPK setidaknya
telah mendorong dilakukannya pembenahan pada semua aspek tata kelola dan
penyelenggaraan ibadah haji, sebagaimana yang diharapkan semua elemen
masyarakat.
Dengan
ditetapkannya figur seorang menteri menjadi tersangka, yang diharapkan tentu
saja bukan hanya dorongan pembenahan, melainkan juga tumbuhnya efek jera bagi
semua pihak yang selama ini mungkin sering memanipulasi para calon haji.
Calon haji hendaknya tidak melulu dilihat sebagai objek untuk mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya.
Calon haji
harus diperlakukan sebagaimana layaknya individu yang ingin beribadah di
Tanah Suci. Benar bahwa calon haji memerlukan bantuan atau jasa dari pihak
lain karena perjalanan yang jauh dan kewajiban memenuhi sejumlah persyaratan.
Wajar juga jika semua pihak yang membantu atau penyedia jasa mendapatkan uang
lelah atau keuntungan.
Akan
tetapi, beban perjalanan jauh dan persyaratan-persyaratan yang mengikutinya
tidak boleh direkayasa atau dieskalasi menjadi persoalan teramat sulit yang
hanya bisa diatasi dengan pembiayaan sangat mahal. Perilaku manipulatif
seperti itulah yang sering dialami banyak calon haji Indonesia. Niat
beribadah harus dimuliakan, dan karenanya pemburu rente yang tamak tidak
boleh diberi tempat dalam penyelenggaraan haji di Indonesia.
Profesional dan Transparan
Pembenahan
pada aspek pengelolaan dana haji sudah dimulai. Direktur Jenderal
Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama, Anggito Abimanyu,
menggagas pemisahan pengelolaan dana haji dari direktorat yang dipimpinnya itu.
Tujuan utama dari pemisahan itu adalah transparansi dan profesionalitas.
Gagasan ini sudah dimasukan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan
Keuangan Haji.
Anggito
mengusulkan lembaga pengelola bisa saja seperti Badan Amil Zakat Nasional,
sementara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyarankan agar pengelolaan dana
jemaah haji dikelola badan layanan umum (BLU). Dalam praktiknya nanti,
kebijakan tetap melekat di Ditjen PHU, sedangkan pengelolaan dana haji
menjadi wewenang badan dimaksud.
Menurut Laporan
Keuangan Penyelenggaraan Ibadah Haji (LKPIH) 2013 dari Kemenag, outstanding
dana haji per Desember 2013 mencapai 64,5 triliun rupiah. Dalam rentang waktu
relatif pendek, akumulasi dana haji diprediksi menembus jumlah 100 triliun
rupiah. Perkiraan itu masuk akal karena minat umat melaksanakan ibadah haji
terus meningkat dari waktu ke waktu.
Jelas
bahwa dana masyarakat ini bukan jumlah yang kecil. Karena dana itu milik
orang banyak, pengelolaannya harus profesional dan transparan. Ada dua poin
yang patut digarisbawahi. Pertama, negara cq pemerintah seharusnya
mengapresiasi kehendak masyarakat untuk melaksanakan ibadah haji. Kedua,
dalam mengelola dana haji, pemerintah semestinya tidak menyalahgunakan
kepercayaan calon haji.
Sebelum
gagasan pemisahan pengelolaan dana haji yang digagas Anggito, ada pertanyaan
publik yang tak pernah bisa dijawab pemerintah. Pertanyaan itu adalah
bagaimana pemerintah atau Kemenag mengelola dana triliunan rupiah yang
disetor calon haji? Mengapa juga tidak ada transparansi untuk pengelolaan
dana masyarakat yang demikian besar itu? Karena jumlahnya yang puluhan
trilyun itu, publik yakin dana itu tidak disimpan di brankas Kemenag,
melainkan di sejumlah bank. Kalau mengikuti mekanisme perbankan, dana itu
pasti produktif alias berbunga.
Faktanya,
selama ini, calon haji tidak menikmati imbal hasil itu. Setelah sekian tahun
menunggu, calon haji hanya mendapatkan manfaat sesuai setoran pokok ketika
akan berangkat menunaikan ibadah. Calon haji pasrah karena hak untuk
menentukan jemaah yang berangkat ada di tangan pemerintah. Tetapi, aneh bahwa
pemerintah merasa tidak perlu mempertanggungjawabkan pengelolaan dana
masyarakat itu.
Di mana
dana itu ditempakan dan atas nama siapa? Apa pilihan instrumennya? Kalau dana
itu diinvestasikan, berapa besar hasil investasinya dan digunakan untuk apa
saja hasil investasi itu? Bagaimana mekanismenya sehingga calon haji yang
menyetor 20 juta rupiah tetap menerima 20 juta rupiah setelah lima atau 10
tahun kemudian?
Selama
puluhan tahun, pertanyaan-pertanyaan dari publik itu tidak pernah mendapatkan
jawaban. Baru satu-dua tahun terakhir ini pengelolaan dana haji dibuat
transparan, ketika Ditjen PHU mulai memindahkan dana setoran haji ke bank
syariah dan unit usaha syariah sebagai bank penerima setoran (BPS).
Penetapan
Menteri Agama SDA dkk menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi
pengelolaan haji periode 2012–2013 patut dijadikan momentum pembenahan tata
kelola dan penyelenggaraan haji. Penetapan status SDA itu hendaknya dijadikan
faktor pendorong.
Pengelolaan
dana haji mulai dibenahi dan transparan. Aspek lainnya pun harus dibenahi.
Pembenahan itu harus membuahkan rasa nyaman dan khusyuk bagi jemaah sejak
proses persiapan di dalam negeri, perjalanan pergi-pulang, dan selama
melaksanakan ibadah. Itulah yang sesungguhnya menjadi kepentingan mendasar
jemaah. Sangat sederhana. Maka, RUU tentang Pengelolaan Dana Haji hendaknya
sudah mencakup semua kepentingan mendasar yang sederhana itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar