Senin, 23 Juni 2014

Angka Bicara Politik

Angka Bicara Politik

Aris Setiawan  ;   Dosen Etnomusikologi ISI Surakarta
TEMPO.CO, 21 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Hasil pengundian nomor urut kedua calon presiden Indonesia dan wakilnya, beberapa waktu lalu, tak berhenti sebagai angka semata. Hal itu menjelma menjadi beraneka interpretasi dari sisi kultural, historis, religius, politik, dan sosial.

Prabowo dan Hatta Rajasa begitu bangga memamerkan nomor urut satu karena dianggap sebagai terdepan, angka pemenang, tunggal, dan tak terkalahkan. Angka satu identik dengan juara, posisi yang diburu, dan diperebutkan pada ajang lomba.

Sementara itu, Jokowi dan Jusuf Kalla mendapat nomor urut dua, lebih dapat memaknai sebagai unsur kosmis. Angka itu diidentikkan dengan dua unsur (pasangan, yin-yang) yang ada di dunia untuk saling melengkapi, seperti siang-malam, panas-dingin, hitam-putih, pria-wanita, tua-muda dan sebagainya.

Semua calon presiden dan wakilnya bangga mendapat nomor urut. Bisa jadi, jauh hari sebelumnya, banyak ramalan dan tafsir nomor telah mereka kaji. Hal ini kemudian mengingatkan tentang jejak kultural bangsa Indonesia yang juga dibangun dan diwarnai dari deretan angka atau nomor. Angka dirasa mampu membawa kebahagiaan, namun juga tak jarang mengisahkan kematian.

Kisah

Di Jawa, untuk melangsungkan pernikahan, calon pengantin wajib memilih hari baik berdasarkan hitung-hitungan angka kelahiran (pasaran). Bisa jadi pula pernikahan batal dilangsungkan karena pertemuan angka sepasang calon pengantin dianggap jelek dan bisa membawa kesialan. Biasanya mitos angka 25 paling buruk, biang malapetaka.

Namun, orang Jawa selalu punya siasat untuk mengatasinya dengan laku sakral dan penyucian diri (ruwatan sukerta). Ruwatan dilakukan orang-orang yang paham makna dan arti filosofis nomor. Dukun, bahkan dalang wayang kulit, salah satunya. Bahkan, hari dan nasib buruk berdasarkan hitung-hitungan nomor sengaja dibuat seorang dalang ruwat agar laris (payu).

Karena hal ini pula dalang-dalang ruwat dinggap sakti, memiliki ilmu kanuragan berlebih. Di Jawa, mitos angka telah bertahan lama, mengakar, dan menjadi rahasia umum. Angka mencoba dihubung-hubungkan dengan fenomena kehidupan dan alam. Di Yunani, lahir pula ramalan-ramalan bintang berdasar tanggal dan tahun lahir (zodiak).

Di ramalan itu disebutkan, setiap orang memiliki angka dan digit-digit nomor yang membawa konsekuensi pertanggungjawaban moral, karakter diri, perilaku tipikal, dan sikap khas. Tentu saja tidak semua masyarakat percaya, namun tak sedikit pula yang menganggapnya benar.

Jika dijabarkan, angka-angka tersebut menjadi hidup dan mampu berbicara lugas tentang nasib dan kodrat manusia. Tafsir angka layaknya primbon tak sekadar menjadi mitos, namun dipercaya dan diyakini kebenarannya. Muncullah para dukun-peramal yang menjinakkan berbagai “hitung-hitungan” angka yang mungkin juga dengan gaya otak-atik gathuk.

Hidup manusia kemudian seolah ditentukan deretan angaka-angka dan nomor-nomor. Bahkan untuk mendapat tanggal lahir dan perhitungan hari baik, seorang ibu hamil rela melahirkan lebih cepat (caesarean) dari seharusnya. Semua demi mengejar imajinasi tentang angka. Hotel-hotel berbintang menghilangkan beberapa angka atau nomor kamar karena takut merugi dan apes.

Bahkan, di Yogyakarta, konon ada nomor kamar khusus yang dipersembahkan pada Ratu Pantai Selatan. Pelat nomor kendaraan dan telepon seluler juga dipesan secara khusus agar deretan angka yang ditampilkan memiliki arti dan makna positif serta dapat membawa peruntungan hidup. Nomor tertentu dalam kostum sepak bola dianggap sakral. Tak jarang hanya diperuntukkan satu pemain yang melegenda.

Dalam terminologi budaya Konghucu, nomor-nomor dianggap mampu membawa “hoki”, sementara jika sering sial bisa jadi nomor dan angka sebabnya. Kisah lain menyebutkan para pemburu togel rela menyepi di kuburan dan tempat wingit demi mendapat nomor. Makhluk gaib yang transenden dianggap memiliki kekuatan untuk memprediksi arus perjudian berdasarkan angka.

Demi angka, logika telah terkalahkan oleh fenomena. Bahkan peristiwa alam dan lingkungan sekitar menjadi simbol angka dan nomor tertentu. Saat banjir menerjang atau seorang terjatuh dari sepeda motor, pemburu togel melabeli dengan nomor untuk menjadi taruhan. Bisa jadi, nomor urut calon presiden dan wakilnya telah mengalami nasib serupa. Maka, nomor dan angka tidak datang secara kebetulan, namun dianggap telah tergariskan.

Peradaban manusia masa kini berisi angka, mengharap angka, dan mengubah angka. Di otak, hanya berisi timbunan angka-angka. Hitung-hitungan untung-rugi disimbolkan dengan angka. Angka menerjemahkan yang abstrak. Uang menjadi bermakna ketika dihiasi angka. Tak sekadar menunjukkan jumlah, namun juga makna dan arti.

Bisa jadi, jumlahnya hanya satu, tapi maknanya bervariasi. Dengan hanya selembar kertas orang dapat membeli mobil atau bahkan hanya mampu membeli permen anak-anak. Jumlah angka di kertas sangat menentukan. Di dunia musik, nada-nada disimbolkan dengan angka. Membaca angka kemudian bernada. Semakin tinggi angkanya tambah naik nada suaranya. Angka diperlukan dalam berbagai kehidupan manusia. Dengan angka, hidup menjadi lebih mudah atau sebaliknya.

Presiden

Prabowo dan Jokowi kini dimaknai secara baru lewat nomor. Di jalan, iklan televisi, berita koran betebaran nomor-nomor yang mempresentasikan sosok calon presiden. Manusia setiap saat dihantui nomor. Teror nomor selama pemilihan presiden sengaja dibuat untuk mempengaruhi persepsi masyarakat agar terpikat dan teringat nomor dan orang penting di baliknya.

Satu adalah Prabowo. Dua adalah Jokowi. Di jejaring sosial, komentar, dan tafsir tentang nomor ramai diperbincangkan dan diulas. Tiap kubu memberi penafsiran nomor urut dalam banyak konteks, bahkan tak jarang menjurus yang transenden atau nirnalar. Tujuannya agar publik tak lagi ragu mencoblos nomor. Orang lalu lupa melihat calon presiden berdasarkan kemampuan, pengalaman dan pemikiran.

Pemilihan hanya berdasar angka. Indonesia mutakhir penuh sesak dengan tafsir nomor dan angka. Nomor mengisahkan ambisi politik. Masyarakat disuguhi perdebatan nomor, antara sisi intelektualitas dan transenden berbaur menjadi satu, tak jelas. Masyarakat kembali diajak menelusuri jejak-jejak angka secara kultural, namun pekat beraroma politis.

Sekali lagi, angka menghiasi pikiran mereka dengan digit-digit. Jika percaya, pilih saja presiden berdasarkan nomor undian. Silakan ditafsirkan, direnungkan, dihitung, kemudian dijabarkan sisi positif dan negatifnya. Jangan melihat kandidatnya. Lihat saja nomor undiannya. Siapa tahu nasib Indonesia menjadi lebih baik karena efek nomor dan angka. Sebaliknya, nomor dan angka tak lebih dari simbol yang tak memiliki makna berlebih. Angka semata-mata hanya membantu orang untuk berhitung, menata urutan tampil, mempermudah proses pemilu. Tak lebih dari itu.

Berapa nomor yang hendak dipilih? Satu atau dua? Atau seperti lagunya Gamma Band, Satu atau dua pilih aku atau dia yang engkau suka/Satu atau dua pilih aku atau dia yang engkau cinta/Dua atau satu pilih dia atau kamu aku tak tahu/Karena diriku bingung harus pilih dia atau dirimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar