Yordania
dan Pengungsi
Dinna Wisnu ; Co-Founder dan
Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas
Paramadina
|
KORAN
SINDO, 28 Mei 2014
Dalam
seminggu terakhir ini perhatian masyarakat di Timur Tengah terpusat pada
kunjungan Paus Fransiskus ke Yordania, Palestina, dan Israel. Kunjungan ini
juga kunjungan pertama bagi Paus ke wilayah Timur Tengah dan kunjungan
keempat bagi Paus yang hidup dalam abad modern ini. Dalam diplomasi
internasional, penentuan urutan tempat sebuah kunjungan kenegaraan, penentuan
waktu, serta pesan yang disampaikan dalam suatu kunjungan adalah sebuah seni
politik tersendiri yang mewakili sudut pandang dan sikap politik suatu
negara.
Dalam
konteks kunjungan Paus ke Timur Tengah tersebut, kita dapat memberikan
interpretasi bahwa Paus sebagai kepala negara Vatikan ingin menyampaikan
pesan kemanusiaan kepada dunia untuk melihat masalah-masalah sosial dan
politik kemanusiaan yang timbul akibat dari perang yang tidak berkesudahan di
wilayah Timur Tengah. Yordania yang secara formal menganut sistem politik
monarki konstitusional telah menerima ratusan ribu pengungsi terutama dari
Suriah, Irak, dan negara-negara tetangga lain.
Ada tiga
wilayah alokasi pengungsi dan tiga wilayah transit yang dipersiapkan untuk
menyambut kedatangan pengungsi. Para pengungsi datang ke Yordania terutama
karena letaknya yang strategis untuk dijangkau. Wilayah timur dan selatan
Yordania berbatasan dengan Arab Saudi, wilayah utara berbatasan dengan Suriah
dan Irak, sementara di bagian barat berbatasan langsung dengan Israel dan
Palestina.
Saat
ini, menurut laporan United Nation Refugee Agency pada 2013, terdapat 616.042
pengungsi yang berasal dari Suriah, selain ribuan dari daerah konflik seperti
Irak. Kedatangan para pengungsi tersebut telah membebani ekonomi Yordania
sebagai salah satu negara yang perekonomiannya relatif lebih kecil
dibandingkan negara-negara lain di Timur Tengah.
Yordania
memiliki keterbatasan dalam minyak bumi, air, dan sumber kekayaan alam lain
sehingga mereka harus bergantung hidupnya dari bantuan keuangan negara asing
dan remitansi pekerja di luar negeri. IMF misalnya telah memberikan pinjaman
sebesar USD2,3 miliar untuk tiga tahun, Amerika memberikan bantuan USD1
miliar, dan negara-negara Teluk memberikan paket dana USD5 miliar.
Pertumbuhan
ekonomi Yordania juga tidak terlalu menggembirakan; hanya 3% pada 2013
disertai tingginya tingkat kemiskinan (13,3% pada 2010) dan pengangguran (30%
berdasar info tidak resmi yang beredar). Pemerintah Yordania tidak dapat
melakukan pengusiran terhadap para pengungsi yang datang.
Walaupun
mereka tidak terikat Konvensi atau menjadi anggota Konvensi Status Pengungsi
pada 1951, mereka tetap menerima dan memberikan bantuan ekonomi meski
anggaran belanja negara mereka sendiri sudah besar pasak daripada tiang alias
defisit sebanyak USD5,5 miliar. Namun, beberapa kali mereka harus menutup
pintu gerbang yang menjadi jalan masuk pengungsi karena kamp atau tenda-tenda
yang dipersiapkan untuk pengungsi tidak lagi bisa menampung gelombang
pengungsi yang lebih besar lagi.
Penutupan
atau pengusiran kembali pengungsi seringkali terjadi juga karena alasan
keamanan karena disinyalir ada gelombang pengungsi yang datang dari
kelompok-kelompok radikal yang membahayakan pengungsi dan politik di dalam
negeri Yordania. Sikap ini berbeda dengan Pemerintah Australia yang mengusir
pengungsi dan membakar perahunya kembali ke tengah laut walaupun Australia
adalah negara yang menandatangani Konvensi tentang Pengungsi.
Beban
berat harus ditanggung Pemerintah Yordania yang harus terus menjamin bantuan
kepada para pengungsi seperti makanan, pengobatan, dan sanitasi. Sikap
Pemerintah Yordania yang ramah kepada pengungsi ternyata menimbulkan masalah
di dalam negeri. Kedatangan pengungsi menimbulkan kecemburuan sosial di
tengah masyarakat miskin Yordania yang juga tidak kurang penderitaannya
dengan pengungsi.
Masyarakat
misalnya memprotes para pengungsi dari Suriah yang bekerja di beberapa kota
di Yordania dengan upah rendah. Itu membuat banyak para majikan beralih
mempekerjakan para pengungsi ketimbang warga sendiri. Para pengungsi Suriah
yang kaya juga telah meningkatkan harga sewa perumahan dan apartemen sebesar
25% karena permintaan yang menjadi tinggi.
Warga
Yordania yang hidup miskin juga iri karena 63% dari pengungsi menerima
bantuan keuangan dari PBB. Pengungsi dari Suriah yang sebagian besar memiliki
aliran Islam-Syiah juga memiliki potensi konflik dengan warga Yordania yang
mayoritas penduduknya adalah Islam-Sunni. Tidak seluruhnya warga Yordania
mendukung gerakan bersenjata melawan rezim Al-Bashar.
Warga
Sunni di Yordania juga terbelah antara yang moderat dan radikal. Kendati
demikian, banyak organisasi bersenjata yang merupakan kelompok oposisi di
Suriah memiliki domisili dan merekrut banyak warga Yordania. Kelompok Salafi
misalnya mengatakan telah merekrut 1.800 warga Yordania untuk bertempur di Suriah.
Dengan
segala keterbatasan dan beban yang dipikul Pemerintah Yordania, kunjungan
Paus ke negara tersebut juga membuka mata dunia tentang apa yang tengah
terjadi di sana dan bantuan apa yang diperlukan untuk mengatasi persoalan di
sana. Ia mengajak dunia untuk memerhatikan kesulitan yang dihadapi Pemerintah
Yordania ketika membuka diri bagi pengungsi sekaligus mendoakan agar perang
segera berhenti dan bantuan internasional tidak putus membantu para
pengungsi.
Bagi
kita di Indonesia, ada pelajaran lain yang juga dapat dipetik dari kunjungan
Paus ke Yordania yakni bahwa keaktifan dalam politik luar negeri dapat
diwujudkan dengan membuka diri secara langsung untuk meringankan beban
pihak-pihak yang menjadi korban perang. Ini tidak sederhana karena berarti
ada tatanan sosial ekonomi dan keamanan yang akan berubah karena keaktifan
tersebut. Itu sebabnya diperlukan gerakan bahu-membahu an-tarnegara untuk
mencari solusi permanen bagi perang dan pengungsi di dunia.
Sejauh
ini bantuan-bantuan bagi pengungsi bersifat temporer semata, sekadar
sumbangan dari negara atau lembaga yang kebetulan tergerak, tetapi belum ada
mekanisme global yang berhasil meredakan potensi pecah perang. PBB sebagai
wadah perkumpulan bangsa-bangsa yang ingin menghindari perang ternyata makin
sulit menghindari perang.
Yang
mampu dilakukan PBB sejauh ini adalah mengelola efek perang seperti membentuk
Konvensi Status Pengungsi, membentuk Tentara Perdamaian PBB, atau membentuk
Dewan Pengungsi PBB. Dewan Keamanan PBB yang seharusnya mampu menekan potensi
perang hampir selalu tersandera pertentangan power antar lima negara pemegang
hak veto.
Reformasi
di badan ini selalu macet, terutama karena ambisi yang menggelegak dari
sejumlah negara untuk sekadar tampil sebagai “penguasa” ataupun “polisi”
dunia dan ketidakyakinan negara-negara lain bahwa niat damailah yang menjadi
motivasi perubahan. Selain itu, Majelis Umum PBB pun belum berhasil membuat
terobosan baru terkait relasi antarnegara di luar konteks seremoni kumpul-
kumpul antarbangsa.
Sejumlah
badan termasuk Dewan HAM dibentuk, tetapi temuan kegiatan mereka terbentur
pada ketidakmampuan mengambil aksi lanjutan yang nyata. Di sinilah Indonesia
yang punya reputasi sebagai pejuang kemanusiaan dan kepentingan negara-negara
tertindas secara tidak langsung didesak untuk melahirkan terobosan baru di
PBB. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar