Wakil
Presiden
Seno
Gumira Ajidarma ; Wartawan
|
TEMPO.CO,
05 Mei 2014
Tiada
rebutan putri seperti Minakjinggo dari Blambangan ingin mengawini
Kencanawungu dari Majapahit, sebagai kata ganti aneksasi dalam historiografi
politik masa kini, tetapi putri yang diidamkan dalam pertarungan kekuasaan
jelas bisa diganti sebuah kursi-tentu saja kursi kekuasaan. Jadi, dalam dunia
politik kontemporer, bila orang berbicara tentang siapa pendamping presiden,
maksudnya bukanlah istri atau suaminya, melainkan wakilnya, yakni wakil
presiden.
Sebagai
ganti peran sang putri dalam historiografi tradisional, calon wakil presiden
tidak melamar, melainkan dilamar. Konteksnya memang bukan siapa calon wakil
presiden yang melamar atau diajukan, melainkan siapa calon presiden yang
mencari pendamping. Dalam konteks ini terlihat pola: calon
presiden melamar sang pendamping itu, agar dirinyalah yang terpilih sebagai
presiden; calon presiden yang keliru memilih akan merasa dirugikan, karena
gara-gara pendamping yang tak disukai, calon presiden paling potensial bisa
batal untuk menang.
Adapun
hal sebaliknya tidak akan terjadi: pendamping paling favorit sekalipun tidak
akan bisa mengkatrol perolehan calon presiden yang memble. Namun tidak ada calon presiden akan merasa dirinya memble, semuanya "pe-de"! : Sehingga masalahnya tinggal pendamping, yang
jangan sampai justru mengurangi suara, sebaliknya syukur-syukur menambah!
Maka,
kiranya adalah calon presiden yang akan berburu calon pendampingnya, dan
bukan sebaliknya-kecuali bahwa memang ada para mak comblang politik, para
agen, kaum perantara yang akan menawar-nawarkan calon wakil presiden terbaik
sebagai barang dagangan. Tentu saja dengan bayaran, yang adalah bayaran
politik! Namanya juga partai politik, bukan?
Dapat
dibayangkan, bagaimana seseorang yang layak calon wakil presiden tak hanya
berkemungkinan dilamar oleh beberapa calon presiden, tapi juga dilamar oleh
sejumlah partai untuk ditawarkan, alias dijual dan diperdagangkan sebagai
calon wakil presiden. Adapun yang paling absurd dalam situasi ini: ketua
partai mencalonkan dirinya sendiri!
Ini
justru mengukuhkan, ternyata posisi wakil
presiden, dengan citra "enggak ada apa-apanya" selama Orde Baru,
karena memang dicapai tanpa perjuangan, ternyata kini menjadi posisi yang
sexy. Pertama, karena memang dibutuhkan dalam pembergandaan citra bagi
pihak calon presiden; kedua, karena bagi pihak mak comblang akan juga berarti
terdapatnya suatu konsesi politik di baliknya.
Inilah
yang berada di balik posisi calon wakil presiden sekarang. Semasa Orde Baru,
wakil presiden hanyalah bermakna "yang
tidak mengancam"; sebaliknya, komposisi Gus Dur-Megawati adalah
representasi perimbang-tarungan politik, kiranya masih demikian dalam
komposisi Megawati-Hamzah Haz maupun komposisi SBY-Jusuf Kalla, meskipun saya
kira komposisi SBY-Boediono lebih teracu pada langgam politik Orde Baru.
Perhatikanlah
para wakil presiden yang dipilih Soeharto, lantas bacalah autobiografi
Soeharto itu dan perhatikan komentarnya soal Adam Malik. Jelas Soeharto
merasa kecewa terhadap Adam Malik, yang kira-kira disebutnya "masih seorang wartawan"
dalam konotasi "lupa"
bahwa dirinya itu wakil presiden, yang ketika ceplas-ceplos di depan pers jangan berbeda pendapat dong dengan sang presiden. Adapun
wartawan yang dimaksud Soeharto tentulah bukan "wartawan" semasa Orde Baru, yang bukan hanya tak
mungkin beropini terbuka, tapi juga tak mungkin beropini dengan pendapat
berbeda dari presiden!
Ini juga
berarti bahwa Habibie, yang sebagai presiden jelas punya pendapat sendiri
tentang Timor Timur, dapat disebut melepaskan diri dari sindrom kewakilan
Soeharto.
Ketika
sebagai Gubernur Jakarta yang disebut Jokowi bisa menerima karakter seperti
Ahok sebagai wakil gubernur, dapat dilihat bahwa wacana tentang posisi wakil
dalam lembaga eksekutif sudah cukup berubah.
Betapa
pun, para calon presiden yang sedang mencari-cari
pasangan sebaiknya menonton serial televisi House of Cards yang diproduksi dan dibintangi oleh Kevin Spacey,
bukan sekadar sebagai hiburan, tapi juga sebagai pelajaran politik.
Dalam serial televisi ini, Frank J. Underwood, anggota Kongres dari
Partai Demokrat yang telah berjasa mengumpulkan suara bagi sang presiden,
tetapi sakit hati karena imbalan jabatannya di Gedung Putih tak pantas,
membalas dengan permainan politik paling mengerikan. Dengan taktik penuh tipu
daya, yang patut dipelajari tetapi tidak untuk ditiru para politikus
Indonesia, ia berhasil menempatkan dirinya dalam posisi wakil presiden.
Ujung-ujungnya, ia menggantikan Presiden Amerika Serikat, yang telah dijebaknya
ke dalam situasi tak teratasi, sehingga harus mengundurkan diri. Waspadalah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar