Tidak
Ada Proyek, Tidak Ada Kegiatan
Marzuki
Usman ; Mantan Ketua Umum ISEI
|
SINAR
HARAPAN, 30 Mei 2014
Sejumlah birokrat
bersemangat mengerjakan proyek hanya jika mendapat bagian. Peristiwanya baru
terjadi pada Maret 2014. Penulis diundang sahabat karib untuk menghadiri
resepsi pembukaan hotel barunya di salah satu pulau yang eksotis di bumi
Indonesia. Tidak kepalang tanggung, sahabat karib ini mengundang para orang
kaya alias konglomerat Indonesia untuk ikut mensyukuri dibukanya hotel baru
berkelas internasional di tanah kelahiran si pemilik hotel itu. Ternyata, di
antara teman-teman itu, terdapat enam orang kaya Indonesia, menurut majalah
Forbes Indonesia.
Acara pembukaan ini
lengkap dihadiri menteri, bapak gubernur, bapak bupati, dan bapak-bapak
pejabat-pejabat lain dari provinsi di mana hotel baru itu berada. Bahkan,
acara ini dihadiri pula seorang wakil gubernur dari provinsi lain, yang
beliau ini juga sehabat dari pemilik hotel itu. Alhasil pestanya meriah,
memuaskan, dan berjalan dengan baik. Untuk melaksanakan pesta ini, semua
sumber daya ekonomi yang berada di pulau itu dikerahkan.
Bapak gubernur menaruh
harapan besar dengan mulai dibangun hotel berbintang di pulau ini akan
menarik para investor domestik dan mancanegara berlomba berinvestasi di
sektor pariwisata. Diharapkan pada gilirannya akan menambah jumlah turis
domestik dan turis mancanegara berkunjung ke pulau ini.
Kenapa demikian?
Karena pulau ini banyak memiliki keunikan-keunikan yang bersifat endemik.
Artinya, objek itu, seperti batu-batuan, tanam-tanaman, bahan tambang, dan
keindahan lainnya hanya ada di situ di dunia ini. Bahkan, di pulau ini
turis-turis bisa menyaksikan pelangi lebih dari satu. Kalau turis lagi
bernasib baik, mereka bisa menyaksikan pelangi kembar tiga di atas langit di
pulau ini?
Keesokan harinya, oleh
si empunya hotel para tamu diajak naik kapal bertamasya menikmati keindahan
lautnya yang bening, jernih dan membiru, yang dihiasi batu-batuan meteorit
yang tersebar di mana-mana. Ditambah lagi dengan pemandangan ikan-ikan yang
berloncat-loncatan dan disertai angin laut yang sepoi-sepoi basah.
Para tamu kemudian
diajak mendarat di pulau kecil, tempat berdiri mercusuar yang juga tempat
penyu-penyu menitipkan telur-telurnya. Menarik untuk dicatat, ternyata
mercusuar itu dibangun 130 tahun yang lalu oleh pemerintah kolonial Belanda.
Penulis membatin
andaikata Indonesia tidak dijajah Belanda, apakah mungkin kita memiliki
mercusuar di mana-mana di Nusantara ini? Ketika penulis bertanya kepada si
penunggu mercusuar itu, kira-kira ada berapa jumlah mercusuar yang dibangun
republik setelah merdeka. Dia jawab sekitar 20 persen saja?
Lebih menarik lagi,
menurut kepala SKPD Pariwisata dari kabupaten itu, beliau mengeluh sebagai
berikut. Dari pihak penguasa pusat, mungkin Kementerian Perhubungan, atau
Kementerian Kehutanan, perahu motor dan kapal-kapal dilarang berlabuh ataupun
lego jangkar di dekat pulau itu. Inilah hambatan kenapa turis-turis tidak berdatangan
ke pulau ini karena tidak boleh dibangun pelabuhan. Di depan pulau ini, ada
lagi pulau kecil yang jaraknya sekitar 100 meter saja dari pulau mercusuar.
Penulis lalu
mengusulkan bagaimana kalau di dekat pulau kecil itu ditaruh tongkang dan
lego jangkar. Dengan demikian, tidak dibangun pelabuhan, tetapi kapal-kapal
dan perahu motor dapat menurunkan turis di tongkang itu. Turis dapat memakai
perahu rakyat yang didayung ke pulau kecil dan setelah itu memakai perahu
dayung lagi ke pulau mercusuar. Jadi, pulau-pulaunya tetap lestari, demikian
dengan lautnya.
Aneh tetapi nyata, di
kepala SKPD ini tidak menyambut ide ini dengan antusias. Padahal, dia tidak
akan mengeluarkan biaya apa-apa, tetapi tujuan untuk meramaikan pulau
mercusuar dengan para turis-turis dapat tercapai. Keheranan penulis ini lalu
dapat dijawab seorang aktivis LSM yang peduli pada kelestarian alam. Dia
berkata, “Iya bapak, ide bapak bagus
sekali”. Namun, si kepala SKPD Pariwisata itu tidak berbahagia. Kenapa?
Karena dia tidak bisa memiliki proyek. Hal ini berarti kalau tidak ada proyek
berarti tidak akan ada kegiatan. Lalu, dia akan mendapat apa? Atau bahasa
terangnya dengan usul bapak itu, si SKPD bertanya, gua dapat apa alias GDA?
Kesimpulannya, kalau
perilaku para birokrat Indonesia kebanyakan seperti ini, pertanyaannya,
kapanlah Indonesia ekonominya bisa menyusul Tiongkok? Jawabnya seperti di
pesantren-pesantren, “Wallahuaklan
bissawab!” Artinya, Allah yang lebih tahu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar