Sikap
Politik Muhammadiyah
Zuly
Qodir ; Sosiolog
Fisipol UMY; Peneliti Senior Maarif Institute Jakarta
|
KOMPAS,
22 Mei 2014
“MUHAMMADIYAH tidak berafiliasi dengan capres dari
partai politik mana pun menjelang Pemilu Presiden 9 Juli mendatang,”
demikian diungkapkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin (16/5/2014). Pernyataan
Din harus dibaca dengan jernih dan cermat menjelang Pilpres 9 Juli 2014.
Sekurang-kurangnya terdapat dua pandangan yang dapat saya sampaikan terkait
dengan sikap politik Muhammadiyah.
Pertama,
Muhammadiyah menempatkan posisi semua parpol yang mengusung capres-cawapres
sama saja. Mereka tak punya hubungan langsung dengan organisasi Islam
terbesar kedua di Indonesia setelah Nahdlatul Ulama tersebut. Dengan
memosisikan diri netral, Muhammadiyah dapat dikatakan sebagai king maker
suara umat Islam Indonesia yang jumlahnya besar.
Suara
Muhammadiyah sendiri, menurut survei Saiful Mujani (2009), mencapai 25 juta
penduduk Indonesia. Cukup signifikan menjadi idola kalangan parpol melirik
organisasi modernis Islam ini. Dengan posisi seperti itu, Muhammadiyah tak
mengeksklusifkan parpol mana pun yang mengusung capres/cawapres meski
sebagian orang Muhammadiyah tentu kecewa (karena sebagian politisi dari warga
Muhammadiyah berharap mendukung salah satu parpol pengusung pasangan
capres-cawapres pada Pilpres 9 Juli).
Rupanya
terdapat parpol yang merasa ”sangat dekat” bahkan jadi bagian integral
Muhammadiyah sehingga selalu berusaha dengan banyak cara mengatakan bahwa
inilah partai Muhammadiyah sehingga layak mendapat dukungan resmi
Muhammadiyah dalam pileg dan pilpres. Parpol lain dianggap tak punya kede-
katan istimewa dengan Muhammadiyah sehingga tak berhak mendapat dukungan dari
Muhammadiyah.
Sikap
politik seperti itu (dengan membaca secara jernih dan cermat pernyataan Ketua
Umum Muhammadiyah) merupakan perilaku politik berlebihan. Muhammadiyah
bukanlah organisasi politik praktis yang bergerak dalam gerakan dukung mendukung
capres-cawapres dalam pilpres yang diselenggarakan di Indonesia sejak era
Reformasi. Benar bahwa warga Muhammadiyah, bahkan sebagian elite
Muhammadiyah, menjadi pengurus partai tertentu. Itu tak serta-merta
menjadikan Muhammadiyah bagian dari parpol yang mencalonkan pasangan capres-cawapresnya.
Hal yang
dapat dibenarkan adalah bahwa pilihan politik warga Muhammadiyah diserahkan
kepada pribadi-pribadi yang memiliki kedekatan emosional dengan pasangan
capres-cawapres tanpa harus menyebutkan bahwa itulah pasangan capres-cawapres
resmi dari Muhammadiyah. Kesalahpahaman semacam ini harus disampaikan kepada
publik dan warga Muhammadiyah karena jika tidak dilakukan, akan membuat
antarsesama warga Muhammadiyah saling menelikung, saling menuduh, memfitnah, dan
mendeskreditkan jika tak memilih pasangan calon yang dikehendaki politisi
Muhammadiyah yang aktif di parpol tertentu.
Politik tinggi
Kedua,
politik tinggi Muhammadiyah, yakni politik kebangsaan. Perilaku politik
Muhammadiyah bukanlah perilaku politik dukung mendukung pasangan
capres-cawapres pada Pilpres 9 Juli. Politik kebangsaan merupa- kan
karakteristik politik Muhammadiyah yang telah dikembangkan sejak berdirinya
Muhammadiyah dengan mendirikan amal usaha dalam bidang pendidikan, kesehatan,
serta penyantunan anak yatim dan kaum duafa.
Muhammadiyah
memang pernah menjadi ”bagian dari Masyumi”, tetapi segera siuman dan
bertobat sehingga tak pernah jadi bagian dari parpol mana pun. Banyaknya
warga Muhammadiyah di berbagai parpol menunjukkan kedewasaan politisi warga
Muhammadiyah. Politisi yang berlatar Muhammadiyah tak memiliki klaim tunggal
sebagai ”putra mahkota” Muhammadiyah yang harus diusung dan didukung secara
resmi oleh persyarikatan Muhammadiyah.
Dengan
demikian, kekecewaan sebagian politisi asal Muhammadiyah dapat dikatakan
sebagai sikap dan perilaku politik tidak dewasa. Bahkan, dapat dikatakan
sebagai sikap dan perilaku politik sektarian dan eksklusif sehingga merasa
harus mendapat dukungan resmi dari persyarikatan Muhammadiyah. Maka, dalam konteks
politik tinggi yang beradab, santun, dan bervisi, warga Muhammadiyah tak
dibenarkan melakukan kampanye hitam terhadap capres-cawapres yang diusung
parpol mana pun, termasuk yang dianggap tidak menjadi bagian dari
Muhammadiyah.
Kita
harus memosisikan Muhammadiyah benar-benar sebagai penyangga kekuatan civil Islam Indonesia yang harus
didorong dan mendukung perkembangan masyarakat Islam yang toleran, humanis,
dan inklusif, bukan karakteristik Islam Indonesia yang penuh kekerasan dan
ancaman sehingga menakutkan sebagian umat Islam minoritas dan umat agama lain
yang jumlahnya juga minoritas. Muhammadiyah harus terus didorong menciptakan
dan mengampanyekan Islam moderat sebagai genre Islam Indonesia.
Karena
itu, sikap politik Muhammadiyah yang disampaikan Din harus dipahami sebagai
bagian penting Muhammadiyah dalam menjaga khitah Muhammadiyah yang sejak awal
tak diagendakan jadi ”gerakan politik praktis” dan sebagai parpol. Namun,
Muhammadiyah adalah persyarikatan Islam yang mengemban amanah Islam rahmatan lil alamin dan membangun
komunitas masyarakat baldatun thayibatun warabun ghofur.
Sikap
netral yang disampaikan Din sekaligus sebagai ”sikap netral yang politis”.
Hal ini karena Muhammadiyah memiliki posisi sangat penting sebagai bagian
dari gerakan civil Islam Indonesia
yang selalu berupaya mengampanyekan perilaku politik beradab. Perilaku
politik beradab Muhammadiyah tak hanya mengejar keuntungan material dan
kekuasaan, tetapi juga terjadinya perubahan pola pikir dan perilaku santun
beretika dalam menjalankan tindakan politik praktis.
Dengan
memperhatikan sikap politik Muhammadiyah seperti disampaikan Ketua Umum PP
Muhammadiyah, maka tidak bisa dibenarkan jika pada suatu saat nanti jajaran
elite parpol dengan serta-merta ”memaksakan diri” agar para pengurus
Muhammadiyah mulai dari tingkat ranting, cabang, daerah, wilayah, sampai
pusat, mendukung salah satu pasangan capres-cawapres. Yang benar adalah jika
ada warga Muhammadiyah mendukung salah satu pasangan capres-cawapres. Itu
sikap pribadi, bukan sikap organisasi (persyarikatan).
Kita
harus menjaga perilaku politik Muhammadiyah yang sudah terang benderang sejak
era Reformasi, yakni tidak mendukung secara resmi pasangan capres-cawapres
sekalipun sebagian warga persyarikatan menjadi aktivis parpol, bahkan tim
sukses salah satu pasangan capres-cawapres pada Pilpres 9 Juli.
Kita
harus bersikap bijaksana kepada persyarikatan Muhammadiyah yang ”netral”
dalam pilpres mendatang karena sikap politik Muhammadiyah tersebut bukan
berarti warga persyarikatan Muhammadiyah tidak boleh berpolitik praktis dan
mendukung pasangan capres-cawapres yang dikehendaki.
Pernyataan
sikap politik Muhammadiyah yang disampaikan Ketua Umum Muhammadiyah juga
dapat kita jadikan pembelajaran bagi warga persyarikatan Muhammadiyah agar berpolitik
secara dewasa, tidak sektarian, tetapi inklusif dan beradab sehingga dalam
10-20 tahun mendatang warga Muhammadiyah tidak menjadi politisi rabun ayam
dan berpikiran cetek. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar