SDA
dan Kutukan Ekonomi
Ahmad
Erani Yustika ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
|
KOMPAS,
06 Mei 2014
HAMPIR
satu dekade lampau, tepatnya pada 2006, Bank Dunia memublikasikan total
kekayaan negara-negara di dunia berdasarkan tiga klasifikasi: modal alam (natural capital), modal ciptaan (produced capital), dan modal yang
tidak tampak (intangible capital).
Penjumlahan
ketiga modal itu menghasilkan kekayaan total per kapita (dibagi dengan jumlah
penduduk). Berita baiknya, dibandingkan dengan negara ASEAN lain, semisal
Singapura dan Filipina, kekayaan alam per kapita Indonesia jauh meninggalkan
negara-negara tersebut, yakni senilai 3.472 dollar AS. Dalam soal ini,
Indonesia hanya kalah dari Malaysia dan Thailand.
Tentu
saja, bila hitungan ini dilakukan pada 1960-an, Malaysia dan Thailand mungkin
masih kalah dari Indonesia karena sumber daya alam (SDA) masih relatif utuh.
Namun, warta buruknya, total kekayaan per kapita Indonesia menempati urutan
paling buncit dari kelima negara ASEAN itu. Sebabnya, modal ciptaan dan
kapital tidak berwujud Indonesia jeblok. Posisi Indonesia hanya lebih baik
ketimbang Tiongkok.
Ekonomi ekstraktif
Manfaat
SDA akan berakhir bila kerakusan yang tak berujung mengalahkan akal sehat.
Itulah yang saat ini terjadi di Indonesia sehingga hamparan SDA tidak pernah
menjadi berkah, tetapi kutukan (terma ini diperkenalkan pertama kali oleh
Sachs dan Warner, 1995).
Dalam
konteks ekonomi, sudah lama disimpulkan bahwa kelimpahan SDA suatu negara
malah menjerumuskan negara tersebut dalam jurang kemiskinan yang dalam
sehingga muncul istilah resource curse
hypothesis.
Sangat
jarang ada teladan yang bisa dirujuk negara yang kaya SDA bisa menjadi bangsa
yang makmur. Belanda merupakan kasus yang sering disebut, di mana kekayaan
SDA migas yang dimilikinya justru memerangkap negara tersebut dalam situasi
stagnasi. Fenomena Belanda inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan dutch disease (penyakit Belanda).
Indonesia, dengan pola yang sama, telah dan terus melanggengkan cerita klise
itu: nyaris dengan cara yang sempurna.
Negara-negara
yang diberi anugerah kekayaan SDA, termasuk Indonesia, terperangkap dalam
model pengelolaan SDA yang ekstraktif, distortif, dan berdimensi jangka
pendek. Data menunjukkan, sampai saat ini enam dari sepuluh komoditas dengan
nilai ekspor terbesar bertumpu dari SDA, seperti bahan bakar mineral, bijih
besi, karet, kayu, dan lain sebagainya (BPS, 2013). Posisi itu hampir tidak
ada perubahan yang berarti dalam kurun 30 tahun terakhir.
SDA
dieksploitasi habis-habisan sampai nyaris tak tersisa, seperti yang terlihat
dari kasus sektor kehutanan. Demikian pula, pengelolaan SDA juga distortif
karena hanya pelaku ekonomi tertentu yang memperoleh izin mengeksploitasi
sehingga amanah konstitusi bahwa SDA digunakan bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat jauh panggang dari api. Lebih parah lagi, pengelolaan SDA itu amat
primitif dengan menjual dalam bentuk bahan mentah sehingga cuma berdimensi
jangka pendek dan tak bernilai tambah.
Di luar
persoalan-persoalan di muka, literatur juga memberikan penjelasan yang
beragam tentang penyebab berbagai masalah SDA dan lingkungan, seperti yang
disampaikan oleh Alisjahbana (2006).
Pertama,
masalah eksternalitas, yaitu kegagalan pasar untuk memberikan gambaran biaya
atau harga yang sesungguhnya dari suatu sumber daya kepada pelaku ekonomi
atau pengambil kebijakan. Tidak adanya pasar untuk berbagai SDA dan
lingkungan menjadikan pelaku ekonomi menganggap ongkos penggunaan sumber daya
tersebut rendah atau bahkan sama sekali tidak ada.
Kedua,
kegagalan institusional, di mana terjadi ketidakjelasan terhadap hak
kepemilikan (property rights) dari
berbagai SDA dan lingkungan. Ketiga, kegagalan pemerintah atau kebijakan (policy failure), yakni kebijakan yang
diambil pemerintah justru menimbulkan distorsi dan memberikan sinyal yang
salah kepada pelaku ekonomi terhadap nilai yang sesungguhnya dari SDA dan
lingkungan.
Penguasaan negara
Jika
dikuliti lebih dalam, orientasi pengelolaan SDA di Indonesia sampai saat ini
sebagian besar masih dijual (ekspor) dalam bentuk bahan mentah. Bijih
tembaga, misalnya, menyumbang ekspor pertambangan sekitar 9,3 miliar dollar
AS; bijih nikel 3,1 miliar dollar AS; batubara 34,2 miliar dollar AS; bauksit
2,5 miliar dollar AS; minyak mentah 19 miliar dollar AS; gas alam 24 miliar
dollar AS; gas alam cair 6,8 miliar dollar AS, dan pertambangan lain 1,1
miliar dollar AS (Band Indonesia, 2013).
Dari
data itu, sebetulnya banyak hal miris yang bisa disampaikan. Pertama,
seandainya hari ini sebagian besar komoditas pertambangan itu bisa diolah di
dalam negeri, tentu besar sekali nilai tambah yang dihasilkan, baik dari segi
pendapatan maupun penyerapan tenaga kerja. Bauksit, misalnya, seharusnya bisa
diolah menjadi alumina dan diproses kembali menjadi aluminium.
Kedua,
tanpa disadari ekspor energi (seperti gas dan batubara) menjadi amunisi
negara lain untuk menggerakkan ekonominya. Malaysia, misalnya, 60 persen sektor
industrinya bergantung pada (energi) batubara Indonesia (Indef, 2013).
Sebaliknya, industri domestik kesulitan mendapatkan pasokan gas dan batubara.
Berikutnya,
dari sisi investasi, porsi sektor pertambangan sebetulnya tidaklah kecil
terhadap total investasi. Sampai tahun 2013, penanaman modal asing (PMA) di
sektor pertambangan menyumbang sekitar 16,8 persen dari total PMA (4,8 miliar
dollar AS), sedangkan penanaman modal dalam negeri (PMDN) pertambangan
mendonasikan sebesar 14,6 persen dari total PMDN (Rp 18,8 triliun) [BKPM,
2014]. Ini berarti investasi sektor pertambangan di Indonesia masih sangat
besar dan menarik.
Ketertarikan
investasi itu bisa disebabkan oleh cadangan SDA yang masih tersedia, insentif
kebijakan yang memadai, atau faktor lain terkait iklim investasi. Beberapa
komoditas tertentu memang menunjukkan penurunan cadangan yang serius, seperti
minyak mentah, tetapi sebagian besar lainnya masih memiliki cadangan yang
banyak. Tentu cadangan yang besar bukan berarti harus dikuras secepatnya.
Namun, pada saat seperti inilah diperlukan arah pengelolaan dan investasi
pertambangan yang berkelanjutan dan lestari dalam jangka panjang.
Satu
lagi yang perlu diperhatikan secara saksama adalah pelaku ekonomi di
pertambangan. Jika merujuk pada konstitusi, pertambangan seharusnya dikuasai
negara. Makna dikuasai tidak hanya dimiliki, tetapi juga melakukan eksplorasi
dan pengawasan. Namun, realitas menunjukkan dominannya peran swasta (asing)
di sektor pertambangan, baik pada sisi hulu maupun hilir.
Minyak
dan gas, misalnya, pelaku ekonomi asing sedemikian besar perannya sehingga
penguasaan negara (dalam pengertian luas) nyaris lenyap. Hal yang sama
berlaku untuk komoditas lain, seperti emas dan tembaga. Pada sisi hilir juga
sama saja. Pabrik pengolahan tambang banyak dikuasai asing, seperti PT Sebuku Iron Lateritic Ore, PT Agincourt
Resources, dan PT Well Harvest
Winning Alumina Refinery. Praktik ini sudah berjalan puluhan tahun
sehingga sulit dipahami jika pelaku ekonomi domestik, khususnya BUMN, tidak memiliki
peran yang makin besar dari waktu ke waktu.
Ekonomi rente
Pemerintah
sebetulnya telah menyadari jalan sesat di atas dengan menerbitkan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang berisi tentang mineral dan batubara
(minerba), pemegang izin usaha pertambangan/izin usaha pertambangan khusus,
dan kontrak karya. Di dalam UU tersebut perusahaan pertambangan diwajibkan
melakukan pengolahan dan pemurnian (smelting)
hasil tambangnya di dalam negeri selambat-lambatnya lima tahun sejak UU
Minerba ini dikeluarkan.
Kelembagaan
ini memang masih jauh dari sempurna, tetapi ketegasan menegakkan regulasi
bahwa perusahaan tambang harus melakukan pengolahan merupakan langkah maju
untuk menutup kekhilafan di masa lampau.
Dengan
kebijakan ini, dua hal sekaligus akan dicapai. Pertama, ekonomi akan memiliki
nilai tambah yang lebih besar sehingga kesejahteraan bangsa lebih mudah
dicapai. Kedua, proses pengolahan bahan mentah mengurangi tensi eksploitasi
karena fase ini mempersempit pasar output dibandingkan dengan jualan bahan
mentah (persaingan lebih sengit).
Akan
tetapi, UU yang bagus itu mendapatkan tantangan berat dari kelompok
kepentingan tertentu sehingga pemerintah hampir goyah dan mengubah aturan
itu. Jika ini terjadi, tentu merupakan petaka dalam jangka panjang.
Pemerintah harus kukuh dengan aturan itu karena hanya inilah jalan untuk
menyelamatkan masa depan bangsa. Tidak boleh kebijakan ekonomi dijebak oleh
kepentingan jangka pendek dan agenda sempit. Sebab, pertaruhannya adalah
kedaulatan ekonomi dan kepentingan generasi mendatang.
Dalam
jangka pendek memang perekonomian sedikit melambat (misalnya ekspor bahan
mentah). Tetapi, hal itu akan segera dikompensasi oleh laba yang berlipat
dalam jangka panjang, terlebih dari sumber daya alam yang bisa diperbarui.
Seperti yang disampaikan di muka, agenda Indonesia saat ini adalah segera
memperbesar modal ciptaan (produced
capital), yang itu hanya bisa diperoleh dari proses ekonomi yang lebih
modern (bernilai tambah).
Di
samping itu, pekerjaan rumah lain yang penting saat ini adalah menghentikan
praktik rente ekonomi. Wujud dari rente ekonomi itu adalah korupsi, konflik
politik dan ketimpangan, kelembagaan ekonomi yang rapuh, aktivitas inovasi
dan kewirausahaan macet, serta pengambil kebijakan lebih memilih transfer SDA
ketimbang memodernisasi ekonomi negara (Neumayer,
2004).
Tentu
saja tidak ada solusi tunggal untuk mengatasi soal kronis ini. Tetapi,
setidaknya tiga jalan berikut harus segera dimulai, (i) menghentikan
penjualan bahan mentah SDA/tambang serta memberikan tempat yang
seluas-luasnya bagi BUMN untuk menjalankan amanah konstitusi; (ii)
melembagakan strategi ekonomi yang tidak menempatkan SDA tak terbarukan
sebagai lokomotif perekonomian; dan (iii) memutus rente ekonomi dan perilaku
korup sebagian pengurus negara yang masih tega menguras SDA untuk memenuhi
syahwat material/kekuasaan yang tidak ada batasnya.
Semoga negara ini masih dapat berkelit dari
kutukan ekonomi akibat kelimpahan SDA. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar