Pilpres
yang Damai
Margarito Kamis ; Doktor Hukum
Tata Negara,
Staf Pengajar
Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
|
KORAN
SINDO, 28 Mei 2014
Seperti
pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) yang sudah-sudah, fase
awal Pilpres 2014 ini, juga memperlihatkan gairah calon presiden dan wakil
presiden beserta para pendukungnya, yang khas.
Sepintas
gairah ini merefleksikan percikan rindu, terutama pemilih dalam memastikan
terealisasinya tesis konstitusionalisme tentang pemerintahan demokratis.
Tesis ini, begitu pakemnya, menempatkan rakyat (pemilih) di jantung
bernegara.
Dan,
pemilu adalah cara teragung dalam mewujudkan keagungan pemilih dalam
menentukan siapa yang harus mereka patuhi, yang keputusan-keputusannya, bukan
saja responsif, tetapi juga dapat dikontrol. Di situlah letak indah dan
pentingnya pemilu presiden ini. Tetapi justru di situ pulalah letak soalnya.
Tak Bisa Disepelekan
Hanya
dua pasangan bakal calon presiden (bacapres) dan bakal calon wakil presiden
(bacawapres). Mereka adalah Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto dan Ir
Hatta Rajasa sebagai satu pasangan bacapres dan bacawapres. Pasangan bacapres
dan bacawapres lainnya adalah Ir Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Status bacapres
dan bacawapres ini akan berubah menjadi capres dan cawapres setelah
ditetapkan secara resmi oleh KPU, yang dituangkan dalam keputusan mereka
sebagai pasangan capres dan cawapres pada Pilpres 2014 ini.
Sepanjang
belum ditetapkan secara resmi oleh KPU, sepanjang itu pula terbuka
kemungkinan terjadi pergantian bakal calon, baik capres maupun cawapres.
Bahkan, aturan pilpres yang telah dikukuhkan, khususnya UU Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, jelas bakal calon
akan berubah menjadi calon setelah memenuhi sejumlah syarat.
Bila
satu saja syarat tidak dipenuhi, bakal calon tidak sah berstatus calon
presiden dan wakil presiden. Kenyataannya, walau masih berstatus bacapres dan
bacawapres, entah disengaja atau tidak, maunya bacapres dan bacawapres atau
tidak, disetujui atau tidak, kini mereka telah disebut calon presiden dan
calon wakil presiden. Itu satu hal menarik.
Hal lain
yang tidak kalah menariknya adalah bergairahnya para bacapres dan bacawapres
bicara begini dan begitu pada setiap kesempatan. Seiring dengan merdunya
nyanyian bacapres dan bacawapres tentang ini dan itu, begini dan begitu,
kampanye hitam, sesuatu yang oleh ilmuwan politik dinilai memiliki perbedaan
mendasar dengan kampanye negatif, kini semakin sering hinggap di telinga
publik. Kampanye-kampanye itu, entah siapa yang mengembuskannya, jujur,
merisaukan, bahkan meresahkan akal sehat.
Semua
itu menandai awal yang tak elok dalam lintasan pilpres kali ini. Apakah
gejalagejala itu mengandung pesan ”kami mutlak menang” dan ”mereka mutlak
kalah”? Sungguh sulit memastikannya, tapi jelas, tak bisa disepelekan. Memang
kesehatan demokrasi tak perlu dikhawatirkan dengan gejala-gejala itu, tetapi
demokrasi juga mengharuskan kehati-hatian minimal atas gejala sejenis.
Harus Beres
Di
tengah lintasan awal pilpres yang telah diwarnai dengan gejalagejala tak
sedap itu, faktanya masih tersisa sejumlah soal dalam pileg kemarin. KPU,
sebab itu, tak bisa menyepelekannya. Bukan sekadar menyesalinya, melainkan
juga eloknya, KPU mendendangkan janji berkelas kepada bangsa ini bahwa
peristiwa sejenis tak lagi terulang dalam pilpres.
Sungguh
manis bila tak ada lagi surat suara pilpres tertukar. Tak ada lagi komisioner
di daerah; panitia pemilihan kecamatan (PPK), kelompok panitia pemungutan suara
(KPPS), dan panitia pemungutan suara (PPS) bermental rente, dan memiliki hobi
dagang hasil perolehan suara. Dokumen-dokumen perolehan suara, form C1 dan
lainnya, harus dipastikan tak bakal didagangkan.
Menyenangkan
bila KPU terus melilit tindak-tanduknya dengan transparansi dan akuntabilitas
dalam pilpres ini. Sungguh berkelas bila transparansi dan akuntabilitas,
tidak dijadikan sekadar jargon manis, apalagi topeng. Transparansi dan
akuntabilitas, jujur, semakin dirindukan pada harihari ini. Dirindukan,
karena transparansi dan akuntabilitas itulah cara tersehat dalam menghidupkan
harkat dan martabat manusia, tidak hanya pemilih, melainkan rakyat dalam
berbangsa dan bernegara.
Transparansi
dan akuntabilitas, dalam maknanya, mengandung keadilan dan kesamaan derajat.
Cara yang adil akan menjadi cara terhebat membuat dua pasang capres dan
cawapres yang pantas diduga, telah menempatkan kemenangan di kantongnya,
lapang dada ketika kalah. Keadilan dan kesamaan derajat juga akan membuat
capres pemenang tidak membusung dada. Legitimasi pemerintahan pun sehat. KPU
memang tak sendirian dalam urusan ini.
Bawaslu,
organ pengawas, yang sering digambarkan laksana macan ompong, sudilah untuk
tak lengah. Tegas dan jujur mengoreksi kekeliruan dan pelanggaran, serta pasti
dalam memberi sanksi, yang telah dirancang dan dilembagakan dalam serangkaian
aturan adalah cara terbaik meredam konflik di lintasan ini. Sikap itu,
terlepas dari memantulkan transparansi dan akuntabilitas atau tidak, akan
menghidupkan asa kepastian hukum sebagai adab elementer dalam demokrasi.
Pasti
secara hukum, memang tidak selalu senafas dengan pasti secara etik. Pasti
secara hukum memang selalu bisa mengundang debat etik, dan debat etik hampir
pasti tidak memiliki ujung. Semakin tak berujung debat itu, betapapun mungkin
selalu bisa diterima, tak mungkin gejala itu memiliki kemampuan mengantarkan
sebuah bangsa ke singgasana kejayaan.
Organ
elektoral– KPU dan Bawaslu–seperti telah disuguhkan oleh cerita tiga pemilu
yang telah lalu, harus memberi kepastian kepada bangsa ini, bahwa semua soal
terselesaikan dengan damai, dan beradab serta berkepastian hukum. Mematikan
rintangan kesetaraan kesempatan bagi setiap pemilih menuju bilik suara,
sungguh kini dirindukan orang.
Memilih,
apa pun metodenya, tak akan bermakna bila terlalu banyak celah kegelapan, dan
rintangan yang mencurigakan. Kecurigaan di tengah gairah menang yang
menyala-nyala, adalah akar terciptanya kondisi-kondisi antagonistik, konflik,
yang sejujurnya dalam kasus pemilu, merendahkan derajat keadaban pemilu itu
sendiri.
Hentikanlah
kampanye hitam, dan kuburlah fitnah. Jadilah manusia beradab, dan jadikanlah
pilpres ini damai sedamai dunia burung merpati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar