Peta
Kuasa Capres Kita
Gun
Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif
The Political Literacy Institute,
Dosen komunikasi
politik UIN Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Mei 2014
PERSAINGAN kubu Jokowi-JK dan
Prabowo-Hatta menuju istana memasuki titik kulminasi. Pascadeklarasi pasangan
masing-masing, mereka berebut dukungan di berbagai kantong pemilih. Ekspresi
subjektif dan simbolis dukungan terhadap mereka, tumbuh bak cendawan di musim
hujan mulai panggung media hingga ruang-ruang keluarga. Pilpres sejatinya
adalah sirkulasi elite dan pertarungannya hanya akan menyisakan satu
pemenang, yakni pasangan yang paling bisa memaksimalkan diri sebagai `capres
kita' dalam persepsi dan tindakan pemilih.
Perspektif koalisi
Koalisi yang akhirnya menem
patkan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta dalam kongsi masing-masing merupakan
pilihan paling realistis yang dapat mereka capai di antara banyak opsi
sebelumnya. Realitas politik memang mengharuskan koalisi berlangsung dalam
dua skema, yakni koalisi prapilpres dan pascapilpres.
Prapilpres semua kekuatan
potensial berlomba mencari kawan seperjalanan. `Ijab qobul' sebagai mitra
dilakukan prapilpres agar menjadi pasangan sah melampaui ambang batas
pencapresan (presidential threshold)
25% suara sah nasional atau 20% kursi DPR. Dukungan resmi PDI Per juangan
(18,95%), NasDem (6,72%), PKB (9,04%), dan Hanura (5,26%) memastikan
Jokowi-JK menjadi petarung sungguhan (the
real candidate). Pun demikian dengan Prabowo. Dengan mengantongi dukungan
resmi Gerindra (11,81%), Golkar (14,75%), PAN (7,57%), PPP (6,53%), PKS
(6,79%), dan PBB (1,46%), Prabowo-Hatta bisa berlaga pada 9 Juli mendatang.
Skema koalisi pascapilpres
biasanya terkait dengan pembentukan pemerintahan. Konfigurasi kekuatan
kelompok yang memerintah bisa sama dengan prapilpres, tapi bisa juga berubah
dinamis. Arend Lijhart dalam bukunya, Patterns
of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries
(1999), menyebutkan masyarakat majemuk yang tidak ada partai dominannya
cenderung akan menggunakan demokrasi model konsensus. Anatomi kekuasaan tetap
mengacu ke akomodasi politik sebagai wujud pengaturan keseimbangan yang
sangat hati-hati. Hampir tiadanya parpol oposisi yang efektif di parlemen dan
hubungan promiscuous (sering
gonta-ganti pasangan) di dalam koalisi politik yang ada.
Saat membangun koalisi, partai
politik harusnya ja ngan terlalu asyik dengan perspektif elite, tetapi wajib
mempertimbangkan perspektif rakyat. Dalam utak-atik koalisi perspektif elite,
yang menjadi pertim bangan prospek biasanya ialah strategic entry yang lazim dikenal dengan istilah struktur
peluang (opportunity structure).
Meminjam analisis Gary W Cox dalam bukunya, Making Vote Count, soal strategic
entry menghitung tiga pertimbangan penting kalkulasi politik.
Pertama,
biaya memasuki arena (cost of entry),
hal itu terkait dengan siapa pemodal dan berapa yang harus dikeluarkan selama
pilpres berlangsung. Kedua, keuntungan-keuntungan yang didapat jika duduk di
kekuasaan (benefits of office). Hal
itu terkait dengan orientasi kekuasaan ke depan, seperti jatah menteri dan
sejumlah jabatan penting lainnya. Ketiga, adanya kemungkinan-kemungkinan
perolehan dukungan dari para pemilih (probably
of receiving electoral support). Itu terkait dengan paket figur yang
dibuat apakah diprediksi laku di pasar pemilih atau tidak.
Dalam perspektif rakyat, koalisi
bukan semata-mata politik dagang sapi, melainkan harus menumbuhkembangkan
harapan rakyat. Koalisi semestinya mengusung nilai, keajegan orientasi
kekuasaan prorakyat yang tecermin dari platform dan kesungguhan berkoalisi
tanpa syarat. Koalisi yang sedari awal sudah terbebani oleh janji bagi-bagi
kekuasaan kepada mitra koalisi hanya akan menyandera kandidat dalam utang
politik berbiaya tinggi. Kekhawatiran itu mulai terkonfirmasi. Belum juga
pertarungan dimulai, sudah menyeruak polemik soal jatah menteri senior atau
menteri koordinator utama yang akan diberikan ke elite salah satu partai
pendukung.
Para petarung
Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta
menarik ditelaah dari segi komposi si kekuatan. Jokowi memiliki nilai plus
daya tarik elektoral karena ia merupakan sosok yang saat ini paling tinggi
elektabilitasnya. Kelebihan Jokowi didukung partai besar pemenang pemilu
legislatif, yakni PDIP, yang secara kelembagaan sedang kondusif setelah
partai pimpinan Megawati itu dua periode di luar kekuasaan.
Jokowi juga representasi
khalayak kunci dalam konfigurasi politik nasional, yakni Jawa. Kekuatan utama
yang memberi bobot tinggi pada sosok jokowi ialah kejujuran, kesederhanaan,
dan egalitarianisme. Tentu, Jokowi juga punya pengalaman memimpin birokrasi
sebagai Wali Kota Surakarta dan Gubernur DKI.
Bisa dikatakan, Jokowi merupakan
elected leader yang teruji dalam
sebuah pemilu demokratis sehingga beberapa kali mengantongi legitimate power.
Transformasi
vertikal kepemimpinan Jokowi dari bawah hingga posisinya sebagai capres
memang ideal. Di beberapa negara maju, banyak presiden yang terpilih setelah
mereka berpengalaman menjadi gubernur atau wali kota.
Kelemahannya Jokowi secara
faktual belum menuntaskan jabatan di DKI. Tentu, akan dijadikan pintu masuk
oleh kubu Prabowo-Hatta untuk menyerangnya sebagai sosok tak amanah
menjalankan mandat kekuasaan lima tahun. Jokowi juga masih dianggap sebagian
kalangan sebagai petarung `setengah matang' dalam pergulatan politik nasional
dan internasional karena selama ini ia lebih banyak berurusan dengan persoalan-persoalan
di level lokal. Namun, di antara be berapa kelemahan yang ada, pola relasi
Jokowi-PDIP yang paling banyak mendapatkan sorotan tajam. Yakni, soal
otoritas Jokowi di tengah kebijakan Megawati. Akankah Jokowi mampu memain kan
peran mandiri di tengah batasan afiliatif yang kuat di internal PDIP terhadap
sosok Megawati?
Posisi JK tentu diharapkan
menjadi insentif elektoral bagi Jokowi. JK memiliki pengalaman di birokrasi,
terutama saat dia menjadi wapres era SBY periode pertama. Ia bisa diterima di
kalangan dunia usaha, memiliki hubungan luas di berbagai organisasi sosial, politik,
dan kemasyarakatan. Antara lain ia memiliki basis dukungan di kalangan
Golkar, dan sejumlah khalayak kunci ormas Islam. Punya rekam jejak sebagai
pengambil risiko, serta cocok dengan Jokowi karena memiliki prototipe sebagai
pemimpin sederhana. Dalam konteks geopolitik, JK juga diprediksi bisa menyolidkan
dukungan di beberapa kantong pemilih wilayah Indonesia bagian timur.
Prabowo punya nilai lebih dalam
citra ketegasan saat memimpin. Bahkan poin itu yang kerap menjadi jualan
utama ke pemilih. Ia memiliki jejaring memadai dalam menyinergikan kekuatan
politik, ekonomi, militer, dan kemasyarakatan. Prabowo memiliki otoritas
penuh dalam mengendalikan partai Gerindra sehingga bisa lebih taktis dan
cepat dalam membuat keputusan yang harus diambil dan melibatkan pihak lain.
Kelemahannya, ia masih lekat
dengan stigma kasus HAM, terutama kasus 1998. Masih diidentifikasi sebagai
capres dengan karakter temperamental sehingga komunikasinya dianggap
berjarak. Tercitrakan sebagai calon pemimpin yang dominan menuntut kepastian
dan mengurangi dialektika, terlihat dari proses dialog-dialog yang dibangunnya.
Posisi Hatta di beberapa hal
dianggap bisa melengkapi Prabowo. Hatta merupakan sosok teknokratik yang
punya pengalaman dalam kerja-kerja birokrasi. Ia merupakan sosok yang bisa
diterima banyak kalangan, terutama khalayak kunci kekuatan politik Islam.
Hatta dianggap punya hubungan baik dan intens dengan negara-negara dan
komunitas internasional. Kelemahan Hatta elektabilitas dia rendah dan kerap
diidentikkan dengan rezim kekuasaan SBY.
Konvergensi simbolis
Jika kita perhatikan sejak
deklarasi tiap kandidat, pola berbeda diperlihatkan Jokowi-JK dan
Prabowo-Hatta. Meskipun mereka sama-sama memakai baju putih sebagai identitas
politik, kesan yang ingin mereka bangun berbeda. Jokowi-JK lebih menekankan
konsep pure publicity dengan
menonjolkan latar alamiah dari konstruksi reputasi kandidat. Hampir
keseluruhan identitas pemasaran politik dan gaya Jokowi-JK menekankan unsur
kesederhanaan yang me reka lakukan dalam keseharian.
Kesederhanaan itu pula yang
dicoba ditonjolkan Jokowi-JK dalam mencitrakan bangunan koalisi mereka dengan
PKB, NasDem, dan Hanura. Koalisi tanpa syarat yang didengungkan di panggung
depan (front stage) menjadi penguat
positioning berbeda dari pola-pola
koalisi yang lazimnya dilakukan para elite. Hal lain yang menarik dari Jokwi
ialah konsep pemasaran politik yang mencoba mengidentifikasi Jokowi dalam
semangat kekitaan. Itu tecermin dari tagline
`Jokowi adalah Kita'.
Sebaliknya, Prabowo-Hatta
mencoba mengidentikkan semangat bertarung mereka dengan dwitunggal
Soekarno-Hatta. Pakaian mereka di tautkan dengan identitas Bung Karno. Bahkan
pernak-pernik Soekarno kerap kali mewarnai manajemen kesan Prabowo sejak
kampanye terbuka pemilu legislatif. Konsep umum Prabowo-Hatta dapat kita
kategorikan sebagai free ride publicity
dan menautkan konstruksi citra politiknya dengan kekuatan rujukan (referent power), dalam hal ini
Soekarno.
Pemolaan yang dilakukan kedua
pasang kandidat itu yang dikenal sebagai konvergensi simbolis. Jhon F Cragan
dalam Understanding Communication
Theories (1998) mendefinisikan, konvergensi simbolis menjelaskan kekuatan
komunikasi di balik penciptaan kesadaran umum. Biasanya melalui tiga tahapan,
yakni bagaimana seseorang datang berbagi realitas simbolis, dilanjutkan
dengan penyediaan makna, emosi serta motivasi bertindak di antara mereka,
terakhir pembentukan kesadaran bersama. Siapa petarung yang berpotensi
menang?
Keduanya tentu masih memiliki peluang. Namun, siapa pun kandidat yang
memiliki semangat, gaya, dan kesederhanaan dalam membangun kekitaan lebih
kuat, akan memiliki peluang menang lebih besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar