Selasa, 20 Mei 2014

Pertarungan di Ruang Berita

Pertarungan di Ruang Berita

Triyono Lukmantoro ;   Dosen Sosiologi Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro Semarang
SUARA MERDEKA,  20 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
MEI adalah bulan istimewa bagi jurnalis, media massa, dan ruang berita (newsroom). Pada 1 Mei dilakukan peringatan Hari Buruh Sedunia. Pada hari itu tanpa segan para jurnalis mengidentifikasi diri sebagai kaum buruh, pekerja yang diupah sebagaimana karyawan sektor industrial lainnya.

Pada 3 Mei, kalangan jurnalis merayakan Hari Kebebasan Pers Internasional. Dalam peristiwa itu, wartawan menyatakan keprihatinan tentang independensi media yang belum diraih secara baik. Jika kedua hari peringatan itu digabungkan maka terungkap bagaimana buruh media menyuarakan pentingnya otonomi jurnalis dalam pemberitaan.

Pada Mei 1998, 16 tahun lalu, bertepatan peristiwa reformasi, jurnalis memperlihatkan keberanian melawan rezim Orde Baru yang berwatak represif. Media yang selama kekuasaan Soeharto  digunakan sebagai instrumen propaganda pemerintah justru berbalik arah menggulirkan perlawanan. Daya resistensi itu digulirkan secara gradual, sedikit demi sedikit, untuk menunjukkan kritik terhadap pihak yang sedang berkuasa.

Ketika perlawanan mahasiswa dan rakyat terus menguat maka media pun membuktikan sikap oposisionalnya bagi kalangan elite politik yang represif. Media memihak dan menggelorakan pula spirit reformasi. Kunci bagi kalangan jurnalis dalam menampilkan gagasan-gagasan kritisnya sebagai pekerja media terletak dalam ruang berita. Dengan demikian, ruang berita juga menjadi penanda bagi dijalankannya prinsip-prinsip kebebasan pers.

Pada titik akhirnya, ruang berita jadi pertarungan untuk membuktikan apakah media mampu menunjukkan independensinya. Atau, justru sebaliknya, sekadar menjadi tempat yang permisif bagi jurnalis untuk berkompromi dan menerima nasib sebagai  pekerja yang pasrah terhadap  desakan ekonomi dan politik dari luar dirinya. Ruang berita adalah wilayah pembuktian tentang kemerdekaan  jurnalis.

Dalam kajian media, ruang berita menduduki posisi  sentral pada tiap organisasi atau perusahaan pers. Ruang berita adalah situs penyaringan (gatekeeping) yang menunjukkan bagaimana jurnalis membingkai (framing) dan mengutamakan (priming) kejadian tertentu untuk dihadirkan kepada publik. Ruang berita menjadi domain merealisasikan politik representasi, yakni bagaimana suatu peristiwa kembali dihadirkan  sebagai realitas yang sesuai dengan kebijakan pemberitaan  jurnalis.

Ada bagian-bagian yang sengaja ditampilkan mencolok dan ada pula yang sengaja disembunyikan dalam isu tertentu. Ruang berita merupakan cerminan kebijakan media dalam situasi sosiologis dan historis tertentu, termasuk reformasi. Tidak gampang untuk menjalankan studi terhadap ruang berita, terlebih lagi pada stasiun televisi. Epstein, sebagaimana dikutip Ishadi SK (Media & Kekuasaan: Televisi di Hari-Hari Terakhir Presiden Soeharto, 2014), menyatakan bahwa ruang berita dianggap steril karena empat alasan.

Pertama; pekerja ruang berita biasanya merupakan orang-orang yang mewawancarai para narasumber, dan bukan pihak yang diwawancarai. Kedua; persaingan ketat terjadi di antara kantor berita, redaksi, dan  ruang berita. Menempatkan ruang berita sebagai objek kajian adalah kenistaan. Ketiga; awak pemberitaan televisi berkarya kontinu waktu 24 jam, tidak mengenal  libur. Mereka bekerja dalam suasana penuh tekanan.

Keempat; ruang berita selalu diliputi tarik-menarik kepentingan antara para jurnalis dan penguasa media. Pihak-pihak yang menjalankan intervensi dalam ruang berita adalah pemerintah (pada sistem politik yang otoriter) atau pemilik modal media (pada sistem politik yang bebas). Dengan demikian, apakah ruang berita yang dipandang steril itu masih mampu dipertahankan? Jangan-jangan pernyataan bahwa ruang berita adalah bagian steril itu sekadar mitos yang terlalu dibesar-besarkan?

Menampilkan Agenda

Jawabannya memang tidak bercorak hitam putih, ya atau tidak. Ruang berita adalah bagian yang selalu diliputi suasana tug of war, yakni dua atau lebih pihak saling berupaya  menampilkan agenda yang dimiliki. Masing-masing  berupaya menghadirkan kepentingannya yang dianggap ideal. Oportunisme pun bisa berlangsung dalam pertarungan itu.

Pada sistem politik yang otoriter misalnya, siapa saja oknum yang melakukan intervensi sangat gampang ditelusuri. Pemerintah merupakan pihak yang demikian menonjol mengatur ruang gerak media. Apalagi jika pemerintah diberikan otoritas untuk menyensor sebelum suatu berita diterbitkan. Atau, pemerintah memiliki kewenangan mencabut izin siaran dan penerbitan.

Berbeda dari suasana ketika otoriterianisme negara berkurang. Situasi yang berlangsung adalah totaliterianisme pasar. Kalangan pemilik modal justru berkemungkinan besar melakukan campur tangan terhadap pemberitaan. Agenda yang dimiliki pemilik modal media kerap disisipkan dalam ruang berita, sehingga apa yang disebut independensi ruang berita pun sulit diwujudkan.

Bagaimana dengan ruang berita pascareformasi? Merujuk peristiwa pada saat-saat kritis Pemilu 2014, publik bisa melihat ruang berita mengalami pertarungan  makin sengit. Ada kejadian misalnya, Ardiansyah Bakrie meminta redaksi viva.co.id mengundurkan diri karena pada kampanye Pileg 2014 portal berita itu menampilkan iklan Jokowi dan PDIP. Peristiwa itu menunjukkan campur tangan pemilik media tak hanya pada ruang pemberitaan, tapi juga pada iklan yang ditampilkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar