Senin, 05 Mei 2014

Perlindungan terhadap Anak

Perlindungan terhadap Anak

Ahmad Sofian  ;   Staf Pengajar Departemen Hukum, Universitas Bina Nusantara
REPUBLIKA,  28 April 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Belakangan, media tidak henti memberitakan tentang kekerasan seksual anak yang berlangsung di JIS maupun eksploitasi seksual anak online melibatkan seorang tersangka berinisial TAG. Di dalam laptop TAG, polisi menemukan lebih dari 10 ribu gambar porno anak. Pemberitaan kasus ini bisa menjadi alternatif untuk menghilangkan kejenuhan atas berita-berita politik yang menghiasi ragam pemberitaan di media cetak dan elektronik. Pertanyaannya adalah patutkah media memborbardir pelaku kejahatan seksual? Lalu, di mana letak tanggung jawab negara yang membiarkan terjadinya eskalasi kekerasan seksual anak yang masif di berbagai daerah di Indonesia?

Dalam perspektif viktimologi, anak adalah salah satu kelompok rentan yang wajib mendapatkan perindungan dari negara. Anak-anak berada dalam posisi yang secara fisik dan psikis tidak mampu melindungi dirinya sendiri, karena itu negara wajib memberikan perlindungan. Bentuk perlindungan yang seharusnya diberikan oleh negara adalah memastikan anak-anak terbebas dari praktik-praktik diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

Kasus JIS dan TAG menunjukkan bahwa betapa lemahnya sistem perlindungan anak di Indonesia. Kasus ini bukanlah satu-satunya yang terjadi di negeri ini. Laporan ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes), misalnya, mencatat ditemukannya lebih dari 365 korban kekerasan seksual dalam kurun waktu lima tahun terakhir yang berlangsung di Bali.

Umumnya pelaku adalah pedofil yang menyaru sebagai wisatawan. Sebagian pelaku sudah dihukum, namun sebagian lagi masih berkeliaran.
Tanggung jawab negara Indonesia termasuk salah satu negara yang sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak. Ratifikasi ini dilakukan melalui Keppres 36/1990. 

Lalu, Indonesia juga te lah meratifikasi Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak, dan Pornografi Anak melalui UU No 10/2012. Kedua konvensi internasional itu memandatkan Indonesia untuk segera melakukan langkah-langkah pencegahan, perlindungan, dan pemulihan serta rehabilitasi terhadap anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi seksual anak. Indonesia juga diminta melaporkan atas upaya sunggu-sungguh yang sudah dilaksanakan dalam melindungi anak-anak dari bahaya tersebut.

Pertanyaannya adalah, apakah Pemerintah Indonesia sudah sungguh-sungguh melaksanakan kedua konvensi tersebut? Apakah hukum nasional sudah sangat efektif dalam menanggulangi masalah tersebut? Lalu, apa kebijakan nasional yang kongkret dalam mengeliminasi masalah kekerasan dan eksploitasi seksual anak? 

Pertanyaan-pertanyaan kritis seperti inilah yang harus diajukan oleh publik termasuk media kepada negara. Negara gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai negara kesejahteraan atau negara yang memberikan kebahagiaan kepada sebagian besar warganya termasuk anak-anak.

Kegagalan negara dalam melindungi anak-anak dari kekerasan dan eksploitasi seksual anak dapat diartikan sebagai salah satu bentuk pembiaran (omission)
yang dilakukan oleh negara. Persoalan kekerasan seksual yang menimpa anak- anak bukanlah kriminal murni, tetapi di dalamnya sudah melingkupi elemen kejahatan yang lintas negara, terstruktur, dan sistemik.

Harmonisasi undang-undang Bila dikaji konten perundang-undangan yang melindungi anak maka dapat disimpulkan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut masih amburadul. Undang-undang kita saling bertubrukan antara yang satu dengan yang lain. Tidak ditemukan konsistensi dan mekanisme kebijakan perlindungan anak di Indonesia.

Sebagai contoh, Indonesia telah memiliki beberapa produk perundang- undangan tentang perlindungan anak, seperti UU No 23/2002. UU Perlindungan Anak ini memberikan arah terhadap penyelenggaran perlindungan anak serta memberikan kriminalisasi terhadap pelaku kejahatan anak. Namun, sayang sekali undang-undang ini tidak memberikan jaminan tanggung jawab negara terhadap korban kejahatan. Negara hanya mengadili dan menghukum pelaku, tetapi menelantarkan hak-hak korban untuk mendapat jaminan perlindungan berupa pemulihan dan rehabilitasi serta kompensasi atas kegagalan negara melindungi anak-anak ini sehingga menjadi korban para predator. UU ini juga sudah tidak sejalan lagi dengan ratifikasi protokol tambahan (UU No 11/2012). Bahkan, lebih jauh lagi, UU ini masih belum selaras dengan mandat Pasal 28 B UUD 45 hasil amendemen keempat.

Situasi yang digambarkan di atas menunjukkan perlu dilakukan langkah- langkah harmonisasi perundang-undangan. Langkah harmonisasi ini akan memperbaiki sejumlah perundang-undangan sehingga peran negara dalam menjamin dan melindungi anak-anak dilaksanakan sungguh-sungguh. Harmonisasi ini harus dilakukan secara menyeluruh terhadap sejumlah perundang-undangan dan kebijakan. Memperbaiki undang-undang yang salah dan melengkapi aturan yang masih kosong. Dengan langkah harmonisasi ini maka Indonesia akan memiliki kebijakan perlindungan anak yang komprehensif dan meletakkan tanggung jawab negara yang seharusnya. Tanggung jawab negara tidak dipotong-potong seperti yang berlangsung saat ini, tetapi harus komprehensif dan total.

Indonesia tentu punya impian agar anak-anaknya tidak mengalami gangguan, tidak mengalami kekerasan sehingga semua hak-hak anak seperti yang diamanatkan konstitusi terpenuhi. Dan, ketika negara berhasil memenuhi hak anak dan menjamin tumbuh kembangnya secara wajar maka Indonesia akan menjadi negara yang kuat yang sejajar dengan bangsa-bangasa beradab lainnya. Mantan Sekjen PBB yang tersohor, yaitu Kofi Annann, pernah mengatakan, negara yang beradab adalah negara yang mampu menjamin dan melindungi anak-anaknya dari segala bentuk praktik kekerasan. Kasus JIS dan TAG serta kasus-kasus kekerasan anak lainnya menunjukkan negara Indonesia masih jauh dari ungkapan bijak tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar