Perlindungan
terhadap Anak
Ahmad Sofian ;
Staf Pengajar Departemen Hukum, Universitas Bina Nusantara
|
REPUBLIKA,
28 April 2014
Belakangan, media tidak henti
memberitakan tentang kekerasan seksual anak yang berlangsung di JIS maupun
eksploitasi seksual anak online melibatkan seorang tersangka berinisial TAG.
Di dalam laptop TAG, polisi menemukan lebih dari 10 ribu gambar porno anak. Pemberitaan
kasus ini bisa menjadi alternatif untuk menghilangkan kejenuhan atas
berita-berita politik yang menghiasi ragam pemberitaan di media cetak dan
elektronik. Pertanyaannya adalah patutkah media memborbardir pelaku kejahatan
seksual? Lalu, di mana letak tanggung jawab negara yang membiarkan terjadinya
eskalasi kekerasan seksual anak yang masif di berbagai daerah di Indonesia?
Dalam perspektif viktimologi,
anak adalah salah satu kelompok rentan yang wajib mendapatkan perindungan
dari negara. Anak-anak berada dalam posisi yang secara fisik dan psikis tidak
mampu melindungi dirinya sendiri, karena itu negara wajib memberikan perlindungan.
Bentuk perlindungan yang seharusnya diberikan oleh negara adalah memastikan
anak-anak terbebas dari praktik-praktik diskriminasi, eksploitasi, dan
kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Kasus JIS dan TAG menunjukkan
bahwa betapa lemahnya sistem perlindungan anak di Indonesia. Kasus ini bukanlah
satu-satunya yang terjadi di negeri ini. Laporan ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children
for Sexual Purposes), misalnya, mencatat ditemukannya lebih dari 365
korban kekerasan seksual dalam kurun waktu lima tahun terakhir yang
berlangsung di Bali.
Umumnya pelaku adalah pedofil
yang menyaru sebagai wisatawan. Sebagian pelaku sudah dihukum, namun sebagian
lagi masih berkeliaran.
Tanggung jawab negara Indonesia
termasuk salah satu negara yang sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak.
Ratifikasi ini dilakukan melalui Keppres 36/1990.
Lalu, Indonesia juga te lah
meratifikasi Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak,
Pelacuran Anak, dan Pornografi Anak melalui UU No 10/2012. Kedua konvensi
internasional itu memandatkan Indonesia untuk segera melakukan
langkah-langkah pencegahan, perlindungan, dan pemulihan serta rehabilitasi
terhadap anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi seksual
anak. Indonesia juga diminta melaporkan atas upaya sunggu-sungguh yang sudah
dilaksanakan dalam melindungi anak-anak dari bahaya tersebut.
Pertanyaannya adalah, apakah Pemerintah
Indonesia sudah sungguh-sungguh melaksanakan kedua konvensi tersebut? Apakah
hukum nasional sudah sangat efektif dalam menanggulangi masalah tersebut?
Lalu, apa kebijakan nasional yang kongkret dalam mengeliminasi masalah
kekerasan dan eksploitasi seksual anak?
Pertanyaan-pertanyaan kritis seperti
inilah yang harus diajukan oleh publik termasuk media kepada negara. Negara
gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai negara kesejahteraan atau negara
yang memberikan kebahagiaan kepada sebagian besar warganya termasuk
anak-anak.
Kegagalan negara dalam
melindungi anak-anak dari kekerasan dan eksploitasi seksual anak dapat
diartikan sebagai salah satu bentuk pembiaran (omission)
yang dilakukan oleh negara.
Persoalan kekerasan seksual yang menimpa anak- anak bukanlah kriminal murni,
tetapi di dalamnya sudah melingkupi elemen kejahatan yang lintas negara,
terstruktur, dan sistemik.
Harmonisasi undang-undang Bila
dikaji konten perundang-undangan yang melindungi anak maka dapat disimpulkan
berbagai peraturan perundang-undangan tersebut masih amburadul. Undang-undang
kita saling bertubrukan antara yang satu dengan yang lain. Tidak ditemukan
konsistensi dan mekanisme kebijakan perlindungan anak di Indonesia.
Sebagai contoh, Indonesia telah
memiliki beberapa produk perundang- undangan tentang perlindungan anak,
seperti UU No 23/2002. UU Perlindungan Anak ini memberikan arah terhadap penyelenggaran
perlindungan anak serta memberikan kriminalisasi terhadap pelaku kejahatan
anak. Namun, sayang sekali undang-undang ini tidak memberikan jaminan
tanggung jawab negara terhadap korban kejahatan. Negara hanya mengadili dan
menghukum pelaku, tetapi menelantarkan hak-hak korban untuk mendapat jaminan
perlindungan berupa pemulihan dan rehabilitasi serta kompensasi atas
kegagalan negara melindungi anak-anak ini sehingga menjadi korban para
predator. UU ini juga sudah tidak sejalan lagi dengan ratifikasi protokol tambahan
(UU No 11/2012). Bahkan, lebih jauh lagi, UU ini masih belum selaras dengan
mandat Pasal 28 B UUD 45 hasil amendemen keempat.
Situasi yang digambarkan di atas
menunjukkan perlu dilakukan langkah- langkah harmonisasi perundang-undangan.
Langkah harmonisasi ini akan memperbaiki sejumlah perundang-undangan sehingga
peran negara dalam menjamin dan melindungi anak-anak dilaksanakan
sungguh-sungguh. Harmonisasi ini harus dilakukan secara menyeluruh terhadap
sejumlah perundang-undangan dan kebijakan. Memperbaiki undang-undang yang
salah dan melengkapi aturan yang masih kosong. Dengan langkah harmonisasi ini
maka Indonesia akan memiliki kebijakan perlindungan anak yang komprehensif
dan meletakkan tanggung jawab negara yang seharusnya. Tanggung jawab negara
tidak dipotong-potong seperti yang berlangsung saat ini, tetapi harus
komprehensif dan total.
Indonesia
tentu punya impian agar anak-anaknya tidak mengalami gangguan, tidak
mengalami kekerasan sehingga semua hak-hak anak seperti yang diamanatkan
konstitusi terpenuhi. Dan, ketika negara berhasil memenuhi hak anak dan
menjamin tumbuh kembangnya secara wajar maka Indonesia akan menjadi negara
yang kuat yang sejajar dengan bangsa-bangasa beradab lainnya. Mantan Sekjen
PBB yang tersohor, yaitu Kofi Annann, pernah mengatakan, negara yang beradab
adalah negara yang mampu menjamin dan melindungi anak-anaknya dari segala
bentuk praktik kekerasan. Kasus JIS dan TAG serta kasus-kasus kekerasan anak
lainnya menunjukkan negara Indonesia masih jauh dari ungkapan bijak tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar