Senin, 05 Mei 2014

Pemulihan Pulau Kecil Pascatambang

Pemulihan Pulau Kecil Pascatambang

Muhamad Karim  ;   Dosen Universitas Trilogi,
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
SINAR HARAPAN,  05 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Isu pulau kecil kian seksi sejak pascarevisi UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) menjadi UU Nomor 1/2014. Salah satu pasal hasil revisinya membolehkan asing berinvestasi di pulau kecil.

Namun, bukan itu saja yang abai. Pulau kecil pascatambang (PKPT) hingga kini kurang mendapat perhatian serius dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Dalam BNPP juga ada bidang yang mengurusi pulau kecil, khususnya pulau terluar. Imbasnya, PKPT bak hidup enggan mati tak mau.

Simaklah PKPT di Kepulauan Riau, Bangka Belitung dan Maluku yang gersang dan gundul, hingga nasib sumber daya sekitarnya yang tercemar. Bencana ekologi semacam ini seolah dipandang sebelah mata hingga pemerintah abai mengurusinya.

Kementerian/lembaga kerap lepas tangan dan saling lempar tanggung jawab. Padahal, di pulau kecil itu masih ada penduduk yang bermukim. Hidup mereka terancam bak di ujung tanjung. Sewaktu-waktu mereka mesti angkat kaki akibat sudah tak ada lagi sandaran hidup. Bukankah Pulau Wetar—eks tambang emas—hingga kini tak jelas nasib pemulihannya? Bagaimana pula nasib penduduknya sekarang? Kita tentu tak mau kejadian ini berulang di pulau lain di Indonesia.

Pemulihan

Pertambangan mineral di pulau-pulau kecil (PPK) Indonesia telah berlangsung sejak masa kolonial. Di Bangka Belitung dan Singkep (Kepulauan Riau), penambangan timah dimulai abad ke-17 hingga Indonesia merdeka.

Setelah Indonesia merdeka, di Maluku beroperasi tambang emas (Pulau Wetar), nikel, dan pasir besi (Pulau Gag dan Gebe). Sayangnya, pasca-operasi pertambangan menyisahkan cerita miris. Pulaunya jadi gersang, gundul, dan menyisakan lubang-lubang besar dengan kedalaman melebihi 1.000 meter.

Kendati semua lubang itu berisi air dan hidup beragam jenis ikan di dalamnya, penduduknya belum mampu memanfaatkannya secara ekonomis. Mungkin, bila ada inovasi teknologi dan pengelolaan yang tepat, itu akan bermanfaat bagi masyarakat sekitar? Umpamanya membudidayakan ikan jaring apung jenis nila, mas, dan patin.

Memulihkan pulau kecil pascatambang tidak hanya sumber dayanya, tetapi juga masyarakatnya. Separuh dari mereka terjebak dalam impitan kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan.

Imbasnya, mereka jauh panggang dari api kemakmuran. Kala sumber daya alam kian hancur dan kualitas hidup merosot, pilihannya meninggalkan pulau. Separuh dari mereka bermigrasi ke pulau lain. Ada juga yang merantau. Pulau kecil yang ditinggalkan bak pulau hantu tak bertuan.

Mengapa demikian? Sumber kehidupan habis. Hendak menanam tanaman, lahannya gersang dan gundul. Menangkap ikan pun kian sulit akibat limbah kimia mencemari pesisir pulau kecil. Sumber limbah dari proses pengolahan timah, emas, maupun bauksit.

Pertanyaannya, mengapa pemerintah mengabaikannya? Padahal, Indonesia telah memiliki UU Nomor 27/2007 dan revisinya UU Nomor 1/2014.

Inilah pekerjaan rumah yang mesti KKP tuntaskan. Sebetulnya pemulihan dan pemanfaatan pascatambang nonpulau kecil sudah ada yang sukses. Pascatambang batu bara masa kolonial di Sawalunto disulap jadi ekowisata.

Pemerintah daerah mendapatkan manfaat ekonomi. Ada juga pemulihan pascatambang pulau kecil di Kepulauan Riau yang ditanami karet dan jenjeng. Kedua contoh ini memberi pelajaran, pulau kecil pascatambang dapat setidaknya dipulihkan dan dimanfaatkan.

Aktivitas

Memulihkan dan memanfaatkan pulau kecil pascatambang tak semudah membalikkan tangan. Untuk itu dibutuhkan pemetaan dan analisis kesesuaian lahan yang tepat, juga menghitung kapasitas daya dukung pulau dan ekosistemnya. Setidaknya, terdapat aktivitas yang jadi pilihan memulihkan dan memanfaatkan pulau kecil pascatambang.

Pertama, pertanian agroekologi/agroekosistem. Model pertanian ini adalah memulihkan lahan pertanian pascatambang yang berpotensi ditanami sayur, buah, dan umbi-umbian. Model pertaniannya bisa terpadu dengan peternakan dan perikanan. Limbah ternak otomatis dapat diolah jadi pupuk organik. Dalam jangka panjang, lahan pulau kecil kian subur.

Kedua, perkebunan tanaman keras berupa karet, kelapa, dan jenjeng. Pemanfaatan tanaman perkebunan untuk memulihkan pascatambang sudah berlangsung di Kepulauan Riau, khususnya di Kabupaten Lingga. Contohnya pulau kecil pascatambang bauksit ditanami karet. Kegiatan serupa juga berlangsung di Kabupaten Belitung Timur untuk memulihkan lahan pascatambang timah. Ini cukup berhasil. Bahkan, separuh tanaman karet sudah berproduksi.

Ketiga, mengembangkan perikanan jaring apung untuk lubang-lubang bekas tambang. Di Pulau Singkep pemanfaatannya belum ada kendati berbagai jenis ikan hidup di dalamnya. Problemnya, penduduk setempat belum punya kapasitas membudidayakan perikanan jaring apung.

Padahal, lubang bekas tambang timah itu berumur puluhan hingga ratusan tahun. Jadi, kekhawatiran masih ada kandungan sisa bahan beracun dari masa silam kemungkinan kecil. Secara kimiawi, proses peluruhannya mencapai ratusan tahun otomatis habis. Meski demikian, penting merisetnya secara mendalam guna memastikan keamanannya.

Keempat, merehabilitsi ekosistem pesisir pulau kecil melalui penanaman jenis-jenis mangrove yang cocok dan adaptif. Setiap jenis mangrove memiliki tipe habitat hidup yang cocok secara ekologis. Ada jenis mangrove yang membutuhkan empasan ombak, seperti avicenia. Ada jenis mangrove yang tak membutuhkan lahan basah. Jenis mangrove bukan hanya bakau, ada jenis ketapang dan waru. Keduanya juga tak butuh lahan basah.

Kelima, memanfaatkan potensi yang masih tersisa di PKPT. Umpamanya, mengolah bekas kulit kerang jadi kerajinan tangan. Pohon kelapa yang dari akar, batang, dan buahnya bermanfaat dikembangkan sebagai industri rumah tangga (home industry).

Hal ini mendorong masyarakatnya mengembangkan ekonomi kreatif. Masalahnya, bagaimana memasarkannya? Inilah pekerjaan rumah yang mesti difasilitasi pemerintah agar pemulihan dan pemanfaatan PKPT komprehensif juga terpadu dari hulu hingga hilirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar