Senin, 26 Mei 2014

Ormas dan Partai Islam Vital dalam Pilpres 2014

Ormas dan Partai Islam Vital dalam Pilpres 2014

Ardi Winangun  ;   Pengamat Politik
OKEZONENEWS,  23 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Meski partai-partai yang disebut berbasis dan berhaluan Islam dalam Pemilu Legislatif 2014 tidak masuk 4 besar, di bawah PDIP, Golkar, Gerindra, dan Demokrat namun keberadaan partai-partai Islam sangat menentukan bentuk dan susunan koalisi dalam mengusung pasangan capres dan cawapres dalam Pemilu Presiden 2014.

Meski PDIP dan Nasdem sudah merasa cukup untuk mengusung pasangan capres dan cawapres sendiri namun gereget mereka terasa kurang bila PKB tidak ikut dalam koalisi yang akan mendorong Jokowi sebagai capres.

Pun demikian ketika Ketua Umum PPP Surya Dharma Ali digoyang-goyang oleh pengurus partai berlambang Kabah ketika secara sorangan mendukung Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto, menjadi capres dan membuat PPP untuk sementara mengurungkan niatnya mendukung Prabowo, kondisi yang demikian membuat kubu Prabowo ketar-ketir sebab Gerindra masih sendiri dan belum ada partai yang 100 persen berkoalisi dengannya. Bila Gerindra terus sendiri, tamatlah riwayat Prabowo dalam Pilpres tahun ini.

Untunglah masalah internal di PPP bisa diselesaikan secara adat hingga akhirnya PPP mendukung Prabowo kembali. Dukungan ini memberi nafas segar bagi Gerindra sebab membuka peluang untuk bisa mengusung Prabowo menjadi capres. Dukungan PPP juga  akan memancing PAN dan PKS untuk segera merapat ke koalisi partai yang dipimpin Gerindra itu.

Ketika PDIP dan Gerindra sibuk lobby sana-sini, lain halnya dengan Partai Golkar, Demokrat, dan Hanura. Ketiga partai itu cenderung pasif. Golkar dan Demokrat yang berkeinginan membentuk poros ketiga terbentur tak adanya figur yang memiliki elektabilitas dan popularitas yang tinggi. Prabowo pun sepertinya enggan ketika Ketua Golkar Aburizal Bakrie menawarkan diri menjadi cawapres.

Tak ada figur yang kuat di Golkar dan Demokrat bertambah parah ketika partai-partai Islam emoh merapat kepada mereka. Partai Islam melihat bila berkoalisi dengan mereka seperti menembak di ruang hampa, tak memperoleh apa-apa. Akhirnya ketiga partai yang berhaluan non agama itu memilih bergabung ke Prabowo dan Jokowi.

Uraian di atas menunjukkan partai-partai Islam meski bukan sebagai pemenang pemilu namun keberadaannya sangat signifikans untuk memperkuat koalisi. Partai-partai berhaluan non agama merasa koalisi sehaluan, contohnya PDIP dan Nasdem saja, terasa hambar. Meski mereka merasa sudah cukup untuk memenuhi syarat pendaftaran pasangan capres dan cawapres namun pesimis bila partai Islam tidak ikut berkoalisi. Dasar pemikiran mereka bahwa partai Islam memiliki basis massa yang sangat berpengaruh untuk memenangkan Pilpres.

Setelah menggaet partai Islam untuk memenuhi syarat pendaftaran, para capres menggarap kantong-kantong berbasis Islam seperti NU, Muhammadiyah, LDII, dan lain sebagainya. Para capres serius menggarap kantong berbasis Islam, buktinya Jokowi dan Prabowo, susul menyusul mendatangi tokoh-tokoh Muhammadiyah, NU, pesantren, dan LDII.

Mereka datang ke para tokoh Islam itu bukan sekadar minta restu dan doa namun juga berharap agar dukungan mereka nyata adanya. Para capres berpikiran bahwa masyarakat kita masih berpatron sehingga ketika tokoh panutan bila A maka jamaahnya akan mengamini dan mengikuti. Hal inilah yang diharapkan para capres agar tokoh Islam itu mendukungnya dan secara serentak jamaahnya akan mengikuti.

Jamaah yang berbasis Islam ini jumlahnya jutaan dan wilayahnya berpusat di Jawa sehingga cara mendekatinya sangat efisien dalam waktu dan perjalanan. Istilahnya sekali merengkuh dayung, satu, dua, tiga pulau terlampaui.

Menjadi pertanyaan mengapa basis-basis yang lain tidak didekati? Ada kemungkinan basis-basis yang lain tanpa didekati pun sudah merapat dan mendukung para capres namun ada kemungkinan yang lain, basis-basis lain suaranya tidak signifikans sehingga secara strategi tak perlu didekati. Kalaupun didekati dengan cara ala kadarnya.

Dalam paparan di atas menunjukkan bahwa ummat Islam yang terhimpun dalam partai dan ormas meski disebut-sebut tidak pernah memenangi pemilu dari masa ke masa namun keberadaannya sangat berpengaruh besar. Bila mereka bersatu sebenarnya mampu menjadi pemenang, lihat Poros Tengah, himpunan partai-partai berbasis Islam seperti PKB, PAN, PK(S), PBB, PPP, ketika mengusung Gus Dur menjadi Presiden dalam pemilihan yang diadakan di MPR tahun 1999 mampu mengalahkan PDI yang mengusung Megawati jadi capres padahal PDIP sebagai pemenang Pemilu Legislatif.

Sayangnya saat ini partai berbasis Islam lebih memilih jalannya sendiri-sendiri, entah dilandasi masalah pragmatis atau idealis. Ketidakbersatunya partai-partai Islam sangat menguntungkan partai lainnya. Mereka selain mendapat tambahan suara dari partai dan ormas Islam untuk memenangi pemilu, juga membuka peluang lebih besar menang ketika partai Islam tidak mengusung pasangan capres dan cawapres sendiri.

Dengan paparan di atas perlunya optimis bagi partai Islam untuk terus hidup dan berkiprah. Analisa para akademisi dan peneliti politik yang menyebutkan partai-partai Islam akan terus terpuruk dan tak lolos dari parlement threshold bahkan ada yang berani menyimpulkan partai berhaluan Islam tak perlu lagi membuat para aktivis partai Islam menjadi minder dan kalah sebelum bertarung dalam pemilu.

Rupanya analisa para akademisi dan peneliti politik tadi, entah karena pesanan atau research yang teledor, tidak terbukti dan salah. Buktinya, partai Islam tetap eksis dan mempunyai peran yang sangat signifikans. Untuk itu partai Islam harus terus bergiat dalam berpolitik yang amanah agar tetap dipilih dan melekat di hati rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar