Mengelola
“Imperium yang Diundang”
Rene
L Pattiradjawane ; Wartawan Semior Kompas
|
KOMPAS,
05 Mei 2014
KUNJUNGAN
Presiden AS Barack Obama ke kawasan Asia, pekan lalu, memaksa pemahaman ulang
geopolitik kita tentang Asia Tenggara dan Asia secara umum dalam ”papan
catur” kepentingan politik, stabilitas, serta keamanan kawasan yang terancam
persaingan hegemoni negara-negara adidaya. Persoalan geopolitik yang dihadapi
tak lagi pada masalah AS-Tiongkok, tetapi juga melibatkan India dan Jepang.
Penegasan
perjanjian keamanan AS dengan Jepang dan Filipina, seperti diduga, tidak
memberikan pengejawantahan nyata kebijakan poros (pivot) yang didengungkan AS
selama ini dan condong memacu perlombaan senjata di antara negara-negara
Asia. Tidak disangkal, kehadiran kekuatan militer AS itu terkait dengan klaim
tumpang tindih kedaulatan negara-negara Asia yang berhadapan dengan Tiongkok.
Di sisi
lain, aliansi kerja sama militer yang digalang AS adalah sisa Perang Dunia II
ketika mengalahkan Jepang dan kunjungan Obama menjadi dilema. Sebab,
penegasan aliansi ala NATO bukan model bagi Asia dalam membentuk rasa saling
percaya melalui penempatan kekuatan militer AS di sekitar Asia Pasifik.
Kekuatan
adidaya seperti Tiongkok tak memiliki aliansi militer, berbeda dengan AS yang
memiliki kemitraan militer dengan lebih dari 60 negara di dunia.
Pertanyaannya, apakah aliansi AS-Jepang-Filipina-Korea Selatan menjadi
platform regional dalam memproyeksikan kekuatan militernya untuk berhadapan
dengan RRT? Atau mendistribusikan penyediaan ”payung keamanan” di tengah
”kebangkitan Tiongkok”?
Kita
memahami sepenuhnya ”kebijakan poros” AS di kawasan Asia adalah ”imperium”
yang diundang, seperti gambaran sejarawan Geir Lundestad dalam bukunya, The
United States and Western Europe since 1945: From ”Empire” by Invitation to
Transatlantic Drift (2003). Namun, kita khawatir ”imperium yang diundang” ini
memicu percaya diri berlebihan di Jepang yang tengah berusaha mengubah posisi
pasifisnya dan mendorong pengejawantahan konsep ”pertahanan kolektif” atas
nama perdamaian.
Kawasan
Asia bukanlah tabula rasa yang bisa ditulis seenaknya oleh kekuatan luar
regional, apalagi atas nama ”ancaman Tiongkok”. Geopolitik di kawasan Asia
sedang mengalami modernisasi secara ekstensif melalui pembentukan Komunitas
ASEAN 2015, termasuk perluasan mekanisme kerja sama saling menguntungkan
dalam ASEAN+3, ARF, ataupun KTT Asia Timur (EAS).
Bagi
Indonesia, ASEAN dan wilayah Asia secara keseluruhan menjadi sangat penting
dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kepentingan nasional sejak dulu kala
sampai masa yang akan datang. Dengan demikian, format aliansi kerja sama
militer ala NATO dalam kebijakan perimbangan ulang yang digelar Washington tak
bisa mengikuti diktum Sekjen pertama NATO, Lord Ismay, dengan pernyataan, ”to keep the Russians out, the Americans
in, and the Germans down”.
Kita dan
ASEAN mengetahui, tak mungkin mencegah ”kebangkitan Tiongkok” apa pun bentuk
proyeksi politik regionalnya di kawasan. Kita dan ASEAN juga tak berupaya
menyingkirkan AS sebagai kekuatan tetap kawasan Asia Pasifik. Namun, kita
harus mencegah Jepang kembali menjadi militeristis dan mempertahankan
pasifismenya guna menjaga perimbangan mekanisme kerja sama ASEAN+3.
Dengan
demikian, interferensi urusan nasional serta dominasi kekuatan dalam dan luar
kawasan tetap terjaga melalui mekanisme musyawarah dan mufakat demi
kepentingan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar