Mengeksploitasi
Proletariat Media
Triyono Lukmantoro ; Dosen Sosiologi
Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro Semarang
|
SINAR
HARAPAN, 30 April 2014
Kamis, 1
Mei 2014, negara secara resmi menerapkan kebijakan libur nasional untuk
memperingati Hari Buruh Internasional. Tiap kali ada momentum peringatan Hari
Buruh, ingatan yang muncul adalah kaum buruh tekstil, sepatu, dan sejenisnya
sedang berarak-arakan menjalankan demonstrasi. Mereka berteriak-teriak
menuntut kenaikan upah dan kelayakan tempat kerja.
Ada
buruh di sektor lain yang terabaikan ketika demonstrasi digulirkan. Mereka
ialah kaum buruh yang bekerja dan mengalami eksploitasi dalam industri media
massa. Benar. Mereka adalah buruh media.
Buruh
bukanlah entitas yang bersifat tunggal. Apa yang tunggal dalam hidup kaum
buruh adalah nasib mereka yang sekadar menjadi suruhan para majikan. Merujuk
gagasan Karl Marx (1818-1883), buruh adalah mereka yang harus menjalani hidup
dengan menjual tenaga untuk mendapat upah. Mereka tidak punya
perangkat-perangkat produksi, seperti modal, tanah, mesin, pabrik, dan
seterusnya. Marx menyebut mereka sebagai proletariat.
Sosok
proletariat juga hadir dalam jumlah besar dalam industri media. Mereka tidak
hanya menjual tenaga, tetapi juga gagasan serta kreativitas. Mereka pun tidak
memiliki perkakas-perkakas produksi dalam pusaran industri media, seperti
gedung, mesin cetak, pabrik, atau studio-studio penyiaran. Proletariat media
inilah yang jarang diungkapkan kehidupannya.
Tiga Alasan
Setidaknya,
ada tiga alasan yang mengakibatkan proletariat media amat jarang mendapatkan
ekspos. Pertama, proletariat media dipandang sebagai kaum terpelajar yang
menduduki jenis pekerjaan yang nyaman. Persyaratan untuk menjadi proletariat
media terhitung berkualifikasi tinggi, yakni minimal lulusan diploma tiga
atau sarjana strata satu.
Cara
berpikir yang mapan adalah pendidikan tinggi otomatis meraih upah tinggi
pula. Tidak mungkin orang-orang berpendidikan lebih dari sekolah menengah
sudi diberi upah di bawah standar. Itulah cara berpikir yang telah menjadi
mitos menyesatkan dalam industri media. Kenyataannya, masih banyak dan
terlalu dominan proletariat media yang tidak bisa mendapat upah layak.
Kedua,
proletariat media merupakan orang-orang pintar yang bekerja dalam industri
kreatif. Pada wilayah perburuhan ini, industri kreatif dibandingkan secara
oposisional dengan industri manufaktur.
Industri kreatif tidak menyedot tenaga
berlebihan. Sebaliknya, industri manufaktur sangat menyita tenaga.
Konsekuensinya adalah industri kreatif selalu dianggap menyenangkan bagi para
pekerja yang berada di dalamnya. Industri manufaktur menciptakan berbagai
kesusahan bagi kalangan buruh yang bekerja di sana.
Itulah
mitos berikutnya yang keliru besar. Kerja kreatif melibatkan aspek
kebertubuhan manusia juga. Rasa letih secara psikologis akan berimbas pula
pada kemerosotan kemampuan-kemampuan fisik.
Ketiga,
proletariat media merupakan subjek-subjek sosial yang berkemampuan
menyuarakan aspirasi rakyat dan pihak lain yang tertindas. Jika pihak di luar
proletariat media saja bisa digemakan suaranya, apalagi kepentingan
proletariat media sendiri.
Itu merupakan
mitos paling besar yang sedemikian salah. Proletariat media ternyata
terbungkam (dan memang benar-benar dibungkam!) serta tidak mampu mengemukakan
keluh kesahnya sendiri. Jika mereka bisa bersuara, nada-nada yang terdengar
pun demikian lirih.
Terlalu
banyak proletariat media yang tidak mampu berserikat membentuk organisasi
perburuhan. Bahkan, lembaga-lembaga profesi yang menaungi kaum proletariat
media kurang mampu dan bahkan tidak maksimal memperjuangkan nasib para
proletariat media.
Proletariat
media mengalami nasib yang semakin buruk ketika pihak pemilik media, yang
selain memiliki bisnis nonmedia, juga terlibat aktif dalam kompetisi politik.
Fenomena itu tergambar jelas dalam kasus pengunduran diri (ada yang kerap
menyebutnya sebagai “aksi bedhol desa”) beberapa awak redaksi Viva.co.id.
Masalah
utamanya adalah iklan Jokowi, yang mempromosikan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) dalam Pemilihan Legislatif 2014, diposisikan di tempat yang
dianggap “paling keramat” di portal berita itu. Sang Presiden Direktur
Viva.co.id,
Anindra
Ardiansyah Bakrie, murka karena peristiwa itu. Beberapa redaktur yang
dianggap bertanggung jawab, dan dituding sebagai penyusup, diminta mundur
dari jabatannya. Kuasa represif pemilik modal yang begitu besar diperlihatkan
di sana.
Peristiwa
permintaan mundur terhadap jajaran redaksi yang berlangsung di Viva.co.id
dapat disebut sebagai puncak gunung es dari kejadian-kejadian serupa. Tentu
saja, banyak kejadian sejenis pada level lain yang tidak terungkap atau memang
sengaja diredam. Kasus lain ialah mobilisasi karyawan Media Nusantara Citra
(MNC) Group dalam kampanye putaran terakhir Pemilu 2014.
Eksploitasi Ganda
Berbagai
mitos yang menyelimuti proletariat media menjadikan kaum buruh di sektor
informasi ini kurang terungkap dengan baik. Padahal, proletariat media sangat
mungkin mengalami eksploitasi ganda. Sebagaimana dijelaskan Vincent Mosco (The Political Economy of Communication:
2nd Edition, 2009), ada dua jenis eksploitasi yang dialami proletariat
media, eksploitasi absolut dan relatif.
Hal yang
pertama terjadi dengan memperpanjang hari kerja. Misalnya saja, proletariat
media dibebani hari dan jam kerja yang sangat panjang sehingga tidak ada
waktu untuk beristirahat sejenak. Hak yang kedua berlangsung dengan
mengintensifkan proses-proses kerja. Contohnya adalah jenis-jenis pekerjaan
yang harus diselesaikan proletariat media tidak hanya satu bidang.
Dalam
banyak kasus, misalnya, ada jurnalis yang harus menjalankan liputan untuk
tugas utamanya sebagai proletariat media. Namun, selain itu, sang jurnalis
diwajibkan mencari iklan untuk pemasukan finansial medianya.
Segala
bentuk jenis eksploitasi, baik berkarakter absolut maupun bersifat relatif,
hanya membuktikan terjadinya ketimpangan dalam industri media. Eksploitasi,
sebagaimana dikemukakan kalangan Marxis, adalah semua bentuk kerja yang
menghasilkan surplus (kelebihan) bagi pihak pemilik modal, dengan mengontrol
secara ketat ruang gerak kehidupan kaum buruh. Dalam eksploitasi itu,
proletariat media mengalami keterasingan.
Keterasingan
yang diakibatkan eksploitasi itu semakin dialami kalangan proletariat media,
ketika kalangan majikan juga melibatkan diri dalam dunia politik dan secara
eksesif memakai medianya untuk berpropaganda. Mereka dieksploitasi dalam
jumlah hari kerja. Mereka dieksploitasi untuk menjalankan kerja yang semakin
membebani. Puncaknya, proletariat media dijadikan mesin-mesin yang
meneriakkan kepalsuan politik dari pemiliknya.
Jika
politik dianggap sebagai wilayah tertinggi kehidupan modern untuk menampilkan
ekspresi diri terhadap pilihan-pilihan ideologis yang tersedia, yang dialami
proletariat media adalah suatu realitas yang menyakitkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar