Kamis, 22 Mei 2014

Mengakhiri Kekejian

Mengakhiri Kekejian

Broto Wardoyo ;   Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional,
Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  21 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Lakhdar Brahimi akhirnya mengikuti jejak pendahulunya, Kofi Annan. Brahimi memutuskan mundur dari tugasnya sebagai utusan khusus PBB untuk Suriah.
Brahimi menyebut ketidakmampuannya untuk menciptakan respon internasional yang lebih koheren dalam penyelesaian konflik di Suriah sebagai alasan pengunduran dirinya. Sebelumnya, Annan juga menyampaikan hal yang kurang lebih sama bahwa penyelesaian masalah Suriah tidak akan mungkin dilakukan tanpa adanya tekanan internasional yang solid dan serius. Apa yang disampaikan oleh Brahimi dan Annan tidaklah berlebihan. Nyaris tidak ada tekanan internasional yang solid dan nyata bagi penghentian kekerasan di Suriah.

Terpecahnya Dewan Keamanan ke dalam dua kubu menjadi bukti yang paling jelas bahwa unsur kepentingan politik masih menjadi pertimbangan utama bagi masyarakat internasional. Logika kepentingan politik tersebut membuat anggota-anggota Dewan Keamanan, dan juga negara-negara lain yang memiliki kesamaan cara pandang dengan Dewan Keamanan, mengabaikan fakta- fakta kekejian dalam konflik di Suriah. Syrian Observatory for Human Rights mencatat bahwa per akhir April 2014 jumlah korban jiwa dalam konflik di Suriah telah melewati angka 150.000.

UNHCR mencatat bahwa 2,5 juta jiwa telah mengungsi keluar dari Suriah ke negara-negara tetangganya dan 4 juta lainnya menjadi pengungsi internal. Angka-angka tersebut, sayangnya, sepertinya tidak menjadi bahan pertimbangan pihak-pihak yang bertikai, atau mereka yang menyokong pihakpihak tersebut, untuk menghentikan kekerasan. Indikasi kekejian juga dapat dilihat dari pertarungan atas kota Homs. Homs, sejak tahun 2011, menjadi salah satu ajang pertempuran paling sengit antara kubu oposisi dan rezim Bashar al-Asad.

Rezim akhirnya menjadi pemenang setelah menguasai kota Homs pada akhir April 2014. Perebutan atas kota ini memunculkan berbagai statistik mengerikan. Syrian Observatory mencatat jatuhnya 17.812 korban jiwa dari awal kekerasan merebak di Homs hingga penguasaan kota ini oleh rezim. Dari jumlah tersebut, 2.047 merupakan korban anak-anak dan 1.861 merupakan korban perempuan. Sebanyak 746 korban meninggal di dalam tahanan akibat penyiksaan. Homs juga menjadi lokasi pemerkosaan yang dilakukan baik oleh pasukan rezim maupun koalisi.

Data-data tersebut menunjukkan bahwa Stephen Hawkings tidak salah ketika menggunakan kata kekejian untuk merujuk pada konflik di Suriah. Jatuhnya korban jiwa anakanak dan perempuan, penyiksaan tahanan, dan tingginya angka pemerkosaan menunjukkan hal tersebut. Hanya saja, masyarakat internasional, mengutip Hawkings, “nampaknya hanya memandangnya dengan dingin di kejauhan.”

Hingga saat ini, upaya-upaya dialog memang tidak sepenuhnya absen. Usaha untuk mempertemukan kedua pihak yang bertikai, dengan pihak-pihak lain yang dipandang terkait dengan konflik di Suriah, telah beberapa kali dilakukan. Baik Annan maupun Brahimi berhasil mempertemukan pihak-pihak yang bertikai dan para suporternya tersebut dalam berbagai pertemuan.

Annan berhasil menelorkan Annan Plan yang berisi butir-butir rekonsiliasi damai namun realisasinya gagal terwujud. Perundingan Jenewa yang digagas oleh Brahimi bahkan gagal mencapai kata sepakat mengenai bagaimana konflik ini harus diakhiri. Operasi kemanusiaan juga terus dijalankan oleh berbagai pihak, terutama lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, di Suriah.

Hanya saja, keberadaan mereka tidak membuat kekerasan berhenti. Harus ada intervensi internasional yang dilakukan oleh negara-negara untuk menghentikan kekerasan tersebut. Apalagi, karakter konflik di Suriah mulai bergeser dari awalnya merupakan konflik karena ketidakpuasan terhadap pemerintah menjadi kombinasi atas perebutan kekuasaan dan akses terhadap sumber ekonomi dengan konflik sektarian yang bercampur dengan jejaring terorisme internasional.

Pergeseran tersebut akan memiliki implikasi yang luar biasa dalam jumlah korban tak berdosa dan penanangan konflik. Apa yang berlangsung di Homs memperlihatkan bagaimana konflik di Suriah bergeser menjadi semakin menguat karakter sektariannya. Pertarungan antara kelompok oposisi melawan rezim di kota Homs ditandai dengan keterlibatan milisi pro-rezim yang justru memainkan peran lebih besar dalam bentrokan bersenjata jika dibandingkan dengan militer Suriah.

Keberhasilan pasukan pemerintah dalam menguasai Homs, menurut catatan Carnegie Endowment , merupakan kombinasi antara taktik perang yang jitu dan keterlibatan milisi lokal yang pro terhadap pemerintah. Peran pasukan pemerintah terbatas pada membatasi lokasi konflik dan melakukan blokade agar bantuan logistik bagi kubu oposisi tidak masuk ke Homs. Kejatuhan Homs tidak dapat dilepaskan dari peran sentral National Defense Forces sayap Homs, kelompok milisi yang beranggotakan sukarelawan pro-pemerintah dan dibentuk tahun 2013 yang bertarung di dalam kota melawan kubu oposisi.

Nuansa sektarian dari National Defense Forces menjadi dominan karena wilayah operasi dan rekrutmen mereka. Laporan Carter Center pada akhir 2013 menunjukkan bahwa kelompok ini beroperasi di beberapa wilayah secara otonom dan mandiri, seperti di Allepo, Tartus, Hama, Homs, Damascus, Sweida, dan Latakia. Anggota milisi ini didominasi oleh kelompok minoritas seperti Alawite, Maronite, Druze, dan Syiah. Sebagian besar anggota milisi ini memiliki intensi balas dendam pada kelompok oposisi akibat kehilangan anggota keluarga mereka di tangan kelompok oposisi.

Strategi yang dijalankan oleh rezim dengan menjadikan National Defense Forces sebagai pilar utama perlawanan terhadap kelompok oposisi juga akan memiliki implikasi pada bertambahnya jumlah korban yang tidak berdosa. Anggota milisi ini bukan saja menerima gaji dari pemerintah namun juga diijinkan untuk mengambil pampasan konflik. Hal kedua ini yang membedakan mereka dari militer Suriah. Akibatnya, perilaku mereka di medan konflik akan cenderung mengabaikan aturan- aturan yang ada. Kelonggaran tersebut akan membuat mereka tidak membatasi korban demi keuntungan material.

Pergeseran lain juga dapat dilihat dengan semakin menguatnya kelompok-kelompok yang terkait dengan jejaring terorisme internasional. Selama ini setidaknya ada dua kelompok yang diidentifikasi terkait dengan jejaring terorisme internasional, yaitu Jabhat al-Nusra dan Islamic State of Iraq and the Sham (ISIS). Kelompok kedua belakangan disebut telah memutuskan hubungan dengan al- Qaeda karena adanya perbedaan visi.

Pergeseran tersebut memunculkan masalah baru dalam konflik ini terkait dengan meningkatnya jumlah kombatan eksternal yang berafiliasi dengan kelompok-kelompok yang memiliki afiliasi dengan jejaring terorisme internasional tersebut. Washington Institute melakukan survei terhadap sekitar 1,500 sumber, media, lembaga pemerintah, hingga lembaga swadaya masyarakat, memperkirakan bahwa jumlah kombatan eksternal tersebut berkisar antara 3.400 hingga 11.000 orang.

Homs kembali menjadi salah satu tujuan utama dari para kombatan eksternal tersebut. Penguatan kelompok-kelompok yang terkait dengan jejaring terorisme internasional dapat dilihat dari pemetaan konflik di Suriah. Laporan terbaru International Crisis Group menunjukkan bahwa wilayahwilayah yang dikuasai oleh kelompok oposisi sebagian besar dikuasai oleh al-Nusra maupun ISIS. Jika ditambahkan dengan wilayah yang dikuasai oleh milisi- milisi Kurdi, luas wilayah yang dikuasai oleh kubu oposisi akan semakin mengecil. Praktis, kubu oposisi hanya menguasai Allepo dan sekitarnya serta Deir ez-Zor.

Pilihan taktik kelompok-kelompok yang terkait dengan jejaring terorisme internasional tentunya akan memiliki perbedaan yang signifikan dengan kubu oposisi. Penggunaan taktik- taktik yang tidak terlalu mempertimbangkan collateral damage hanya akan membawa jatuhnya korban lebih banyak. Perpaduan antara dua pergeseran tersebut membuat kekejian di Suriah nampaknya akan bertambah buruk.

Dan untuk itu, perlu keseriusan masyarakat internasional untuk tidak lagi meletakkan kepentingan politik sebagai pijakan utama. Atas nama kemanusiaan, harus ada upaya nyata menghentikan konflik ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar