Mendorong
Kabinet Profesional
A
Prasetyantoko ; Pengajar di Unika
Atma Jaya Jakarta
|
KOMPAS,
26 Mei 2014
SAAT Eropa dilanda krisis berat tahun 2008,
muncul Lucas Papademos sebagai Perdana Menteri Yunani dan Mario Monti sebagai
Perdana Menteri Italia dalam periode lebih kurang sama. Keduanya secara
kebetulan berlatar belakang sama sebagai doktor bidang ekonomi. Betulkah
krisis membutuhkan teknokrat ketimbang politisi sebagai pemimpin tertinggi?
Dan, apa yang bisa dilakukan seorang teknokrat, tetapi tidak oleh politisi,
dan sebaliknya? Disimpulkan, teknokrat mahir merancang kebijakan, sedangkan
politisi berkompeten menjalankannya. Apa relevansinya bagi kita?
Ketegangan
antara dimensi politis dan teknokratis mengemuka juga dalam pemerintahan lima
tahun ke depan. Setelah kedua pasangan calon presiden dan calon wakil
presiden menyerahkan dokumen visi, misi, dan program aksi kepada Komisi
Pemilihan Umum, pertanyaannya adalah bagaimana menjalankannya. Joko
Widodo-Jusuf Kalla mengusung tiga tema besar, yaitu kedaulatan dalam politik,
berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa mencanangkan program aksi dalam rangka menyelamatkan
Indonesia, di antaranya membangun ekonomi yang kuat; mewujudkan ekonomi
rakyat; dan membangun kembali kedaulatan pangan, energi, dan sumber daya
alam.
Dari
sisi rumusan, tak ada perbedaan mencolok. Kedua pasangan memberikan perhatian
pada kepentingan nasional guna memajukan kemakmuran rakyat. Pendekatannya
juga tak jauh berbeda, seperti pembangunan berbasis pedesaan, fokus pada
penciptaan lapangan kerja, dan mempercepat pembangunan infrastruktur. Soal
infrastruktur, Prabowo-Hatta menargetkan pembangunan 3.000 kilometer jalan
raya nasional dan 4.000 kilometer rel kereta api sebagai prioritas baru.
Selain itu, basis pengembangan juga mengikuti pola enam koridor dalam Rencana
Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang
digagas Hatta.
Jokowi-Kalla,
dalam rangka meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing pasar
internasional, menargetkan penambahan jalan baru 2.000 kilometer, 10
pelabuhan, 10 bandara, dan membangun 10 kawasan industri. Sebanyak 5.000
pasar tradisional di seluruh Indonesia akan dibangun, selain juga
memodernisasi pasar lama. Untuk mendorong investasi, efisiensi perizinan
bisnis maksimal 15 hari. Selain itu, secara khusus juga akan mendirikan bank
pembangunan dan infrastruktur. Aspek akses keuangan juga dipikirkan melalui
target inklusi keuangan 50 persen penduduk. Adapun target tax ratio sebesar
16 persen terhadap produk domestik bruto.
Kini
kedua pasangan fokus memenangi suara. Setelah itu, masalahnya adalah
bagaimana mewujudkan mimpi tersebut. Di situlah aspek teknokrasi dibutuhkan.
Legitimasi harus dibangun dengan menggabungkan dimensi teknokratis dan
politis. Apalagi, siapa pun yang menang dalam pemilu presiden nanti harus
berhadapan dengan dinamika ekonomi yang begitu menantang.
Pertama,
ketegangan antara pertumbuhan dan defisit neraca transaksi berjalan (NTB)
masih akan terus terjadi. Dalam rangka menekan defisit NTB menjadi sekitar
2,5 persen, pertumbuhan perekonomian harus dikorbankan hanya 5,1 persen
hingga 5,5 persen. Kedua, ketegangan antara pertumbuhan dan penyerapan tenaga
kerja. Pada satu dekade lalu, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu
menyerap 350.000-400.000 tenaga kerja, kini hanya 250.000-300.000 tenaga
kerja. Dengan demikian, untuk menciptakan lapangan kerja 2 juta orang,
misalnya, perlu peningkatan pertumbuhan sekaligus kualitasnya. Padahal,
antara laju dan kualitas pertumbuhan ekonomi sering tak sejalan.
Ketiga,
jebakan fiskal terkait rendahnya tax ratio dan besaran subsidi. Meningkatkan
pendapatan pajak tidak mungkin dilakukan jika laju pertumbuhan ekonomi
rendah. Sementara kemampuan fiskal untuk melakukan stimulus ekonomi akan
terbatas jika beban subsidi begitu tinggi. Belum lagi faktor fluktuasi nilai
tukar yang sering menggerus sisi penerimaan serta meningkatkan beban
pengeluaran. Akibat depresiasi nilai tukar, beban subsidi 2014 bakal naik Rp
100 triliun. Adapun dengan perlambatan pertumbuhan, penerimaan pajak akan
turun.
Pada
sisi regional dan global, tahun 2015 kita berada dalam posisi kritis.
Pertama, kemungkinan kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika Serikat (the Fed Fund Rate) berpotensi
menimbulkan pembalikan tiba-tiba pasar keuangan kita. Itu sangat berbahaya
mengingat selama ini kita mengandalkan pembiayaan asing untuk menutup
defisit, baik fiskal maupun neraca pembayaran. Semakin kita bergantung pada
modal asing, kian besar potensi gejolak.
Kedua,
berlakunya pasar tunggal ASEAN akhir 2015 sangat mungkin menggerus neraca
transaksi pembayaran kita. Kalaupun neraca barang kita aman, masalah bisa
mengancam dari neraca jasa dan pendapatan. Liberalisasi lalu lintas barang,
jasa, investasi, dan tenaga kerja terampil bisa menggerogoti daya saing kita.
Semakin banyak tenaga ahli asing bekerja di pasar domestik, semakin besar
potensi kerugian pada neraca pendapatan kita. Sejak akhir 2011, besaran
defisit pendapatan kita 6 miliar dollar AS-7 miliar dollar AS setiap
triwulan. Padahal, pada periode 2004-2007, besaran defisit pendapatan hanya 2
miliar dollar AS-3 miliar dollar AS. Sejak dulu, besaran defisit neraca jasa
kita konsisten pada kisaran 2 miliar dollar AS-3 miliar dollar AS.
Dari
kompleksitas itu, hal paling dinantikan hari-hari ini adalah komposisi
kabinet. Pasar sempat kecewa terhadap konfigurasi pemilu yang tidak
menghadirkan kekuatan politik dominan. Mereka khawatir kemampuan pemerintah
nanti menjalankan kebijakan terganggu oleh dukungan politik yang rendah.
Sentimen ini bisa makin buruk jika komposisi kabinet yang akan segera keluar
tak menunjukkan dimensi teknokrasi. Sudah lemah secara politis, tak kompeten
pula.
Kita
merindukan sebuah pemerintahan yang kompeten, profesional, dan menjunjung
tinggi transparansi serta berpihak pada kepentingan rakyat. Semua tuntutan
itu membutuhkan kemampuan teknokrasi tinggi dan kepiawaian para politisi
melakukan advokasi. Mari kita dorong
kabinet profesional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar