Menaikkan
Cukai Rokok
Tulus
Abadi ; Anggota Pengurus
Harian YLKI
|
TEMPO.CO,
26 Mei 2014
Cukai
dilekatkan pada tembakau, selain karena menimbulkan ketergantungan, juga
lantaran tembakau mengakibatkan dampak eksternal negatif. Bukan hanya
terhadap penggunanya, tapi juga terhadap non-perokok. Secara filosofis, cukai
pada rokok dijadikan instrumen untuk menekan konsumen agar lebih waspada
dalam mengkonsumsi rokok, bahkan kalau perlu meninggalkannya. Secara
universal, cukai adalah sin tax,
alias pajak dosa.
Relevan
dengan itu, di seluruh dunia setiap 31 Mei diperingati sebagai Hari Tanpa
Tembakau Sedunia (HTTS). Kali ini, tema yang diusung oleh Badan Kesehatan
Dunia (WHO) adalah "Raise Tax on
Tobacco: Naikkan Cukai Rokok!". Pada konteks keindonesiaan, tema
peringatan itu sangat tepat karena masih rendahnya cukai rokok di Indonesia,
yang saat ini hanya berkisar 38 persen dari harga jual. Untuk industri rokok
besar, memang sudah mencapai 40 persenan.
Rendahnya
cukai rokok mengakibatkan masyarakat makin mudah mengakses rokok, termasuk
masyarakat miskin serta anak-anak dan remaja. Pertumbuhan konsumsi rokok di
kalangan remaja di Indonesia juga tertinggi di dunia, 14 persen per tahun.
Saat ini total perokok di Indonesia tidak kurang dari 75 juta orang (30
persen dari total populasi), peringkat ketiga di dunia, setelah Cina dan
India.
Selanjutnya,
cukai rokok di Indonesia sangat mendesak dinaikkan, karena Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai mengamanatkan bahwa cukai rokok maksimum
mencapai 57 persen. Dengan demikian, saat ini masih ada ruang untuk menaikkan
cukai rokok sekitar 17 persen lagi. Itu pun sejatinya belum ideal kalau
dijadikan basis pengendalian (pembatasan) konsumsi rokok. Bandingkan dengan
cukai minuman keras, yang mencapai 100 persen. Bandingkan juga di berbagai
negara, cukai rokoknya rata-rata mencapai 75-80 persen. Di Thailand, cukai
rokok mencapai 80 persen. Cukai rokok di Indonesia masih tergolong terendah
di dunia.
Memang,
pada konteks pengendalian tembakau yang komprehensif, instrumen pengendalinya
bukan hanya cukai, tapi juga larangan total iklan rokok (total ban advertising), penerapan kawasan tanpa rokok, larangan
penjualan eceran, peringatan kesehatan bergambar (pictorial health warning), plus larangan menjual kepada
anak-anak.
Meski
demikian, cukai merupakan instrumen paling ampuh untuk menekan konsumsi
rokok. Menurut kajian Lembaga Demografi UI (2009), menaikkan cukai justru
berdampak positif terhadap makroekonomi dan kesehatan masyarakat. Pasalnya,
menaikkan cukai tidak akan mematikan industri rokok, bahkan pendapatan
pemerintah akan meningkat tajam. Pemerintah bisa mengantongi cukai lebih dari
Rp 200 triliun jika cukai rokok mencapai 57 persen.
Masih
terlalu kecil pendapatan yang diperoleh pemerintah dari cukai rokok
dibandingkan dengan pendapatan bersih pengusaha rokok. Lihatlah, orang-orang
terkaya di Indonesia adalah pengusaha rokok (Djarum, Gudang Garam). Dan masih
terlalu kecil pula pendapatan cukai rokok jika dikomparasikan dengan dampak
kesehatan dan sosial-ekonomi yang diderita masyarakat dari dampak buruk
rokok, yang menurut kajian Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan
(Soewarta Kosen, 2008) bisa
mencapai empat kali lipatnya. Cukai naik, pendapatan pemerintah naik,
masyarakat Indonesia pun semakin sehat dan sejahtera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar