Membumikan
Politik LN
Darmansjah
Djumala ; Diplomat, Saat ini bertugas
di Polandia
|
KOMPAS,
28 Mei 2014
MENJELANG
Pemilihan Presiden 9 Juli 2014, hawa politik Indonesia dipenuhi oleh manuver
parpol untuk membangun koalisi. Lobi dan silaturahim politik lintas partai
bergulir kencang. Program dibincangkan, visi-misi disama-persepsikan agar
nanti solid dalam pelaksanaannya lima tahun ke depan. Namun, coba periksa
program partai politik itu, nyaris hanya menyentuh isu-isu domestik, seperti
ekonomi, lapangan kerja, pendidikan, dan kesehatan.
Bisa
dimengerti karena isu ini dianggap seksi untuk mendulang suara konstituen.
Memang, tak ada yang salah dengan gejala ini. Hanya masalahnya kemudian
adalah bagaimana menempatkan semua program domestik ini dalam bingkai hubungan ekonomi luar
negeri? Galibnya penganut ekonomi terbuka, Indonesia tidak bisa menafikan
tarikan arus globalisasi dalam perekonomiannya. Oleh karena itu, kebijakan
domestik yang diunggulkan tersebut harus dikait-laraskan dengan politik luar
negeri.
Inilah
tugas berat pelaksana diplomasi dan politik luar negeri: menciptakan
koneksitas antara program domestik dan politik luar negeri. Bagaimana
caranya? Mari tengok program calon-calon presiden yang ada. Dengan
pertimbangan idealisme dan garis politik partai atau alasan taktis untuk
mendulang suara, program calon-calon presiden berorientasi kepada rakyat dan
ekonomi kerakyatan.
Diplomasi kerakyatan
Untuk
menjamin koneksitas antara politik luar negeri dan program pro rakyat, tak
ada cara lain kecuali ”membumikan” politik luar negeri agar memberikan
manfaat nyata bagi rakyat. Setidaknya ada dua tataran yang dapat dijadikan basis untuk membuat
politik luar negeri membumi dan bermanfaat bagi rakyat.
Pertama,
tataran orientasi kebijakan. Tantangan bagi pelaku diplomasi dan politik luar
negeri lima tahun ke depan adalah menerjemahkan komitmen politik yang pro
rakyat tadi. Kata kunci dalam konteks ini adalah ”ekonomi kerakyatan”, yang
per definisi diartikan sebagai kebijakan yang berorientasi pada
sebanyak-banyaknya kepentingan rakyat.
Akan
tetapi, dalam banyak kasus, ekonomi kerakyatan kerap dimispersepsikan sebagai
kebijakan yang tidak pro bisnis, tidak ramah terhadap modal asing, dan bahkan
anti kapitalisme. Sejatinya ekonomi kerakyatan tak perlu diperlawankan dengan
ekonomi kapitalis (yang dengan demikian dianggap anti modal dan tak pro
bisnis) karena keduanya memang dua hal yang berbeda.
Kapitalisme
adalah paham, sementara ekonomi kerakyatan adalah orientasi kebijakan.
Keduanya tak perlu didikotomikan. Ekonomi
kapitalis juga dapat berorientasi kerakyatan, seperti menggelontorkan
modal secara masif untuk mengembangkan potensi petani dan nelayan.
Industrialisasi pertanian dan perikanan adalah sedikit dari banyak contoh
bagaimana modal tak memusuhi ekonomi kerakyatan dan bagaimana ekonomi
kerakyatan tidak anti modal.
Bagaimana
tafsir diplomasi dan politik luar negeri atas ekonomi kerakyatan? Ajaran
dasar hubungan internasional mengatakan: politik luar negeri adalah cerminan
politik dalam negeri. Seturut itu, politik luar negeri adalah subordinasi
dari politik nasional. Jika politik nasional pro rakyat, diplomasi dan
politik luar negeri juga harus berorientasi rakyat dan ekonomi kerakyatan.
Dalam
bingkai pikir semacam ini tak salah jika pelaksanaan politik luar negeri
harus mengedepankan diplomasi ekonomi yang memberikan manfaat langsung bagi
rakyat: diplomasi ekonomi kerakyatan. Diplomasi semacam ini harus mempromosikan hubungan ekonomi perdagangan
dan investasi yang menyentuh langsung potensi rakyat dan yang membuka
lapangan kerja. Menarik investasi asing dan mengarahkannya untuk sektor
pertanian, perikanan, peternakan,
infrastruktur, industri manufaktur berbasis desa, dan menggenjot
ekspor produk yang dihasilkan kalangan
bawah dapat dirujuk sebagai model diplomasi ekonomi yang membumi dan memberi
manfaat bagi rakyat.
Imbas kerakyatan
Kedua,
pilihan isu dalam diplomasi juga dapat menentukan apakah politik luar negeri
memberikan manfaat langsung bagi rakyat. Secara umum ada kesan di kalangan
rakyat bawah bahwa politik luar negeri dan diplomasi itu elitis dan mendunia.
Mungkin rakyat bertanya apa manfaat isu nuklir, G-20 atau perubahan iklim
bagi peningkatan harkat hidup mereka. Dalam perspektif rakyat, isu itu ”jauh tinggi di awan”, tak tergapai. Untuk
ikut terlibat di dalamnya dalam kehidupan sehari-hari, mereka pun tak mampu
karena tak berpijak.
Alhasil,
dalam situasi seperti ini posisi rakyat bagaikan ”menggapai awan tak sampai,
menginjak bumi pun tak menjejak”. Di sinilah, sekali lagi, terasa ada
keperluan untuk menciptakan koneksitas antara apa yang diperjuangkan diplomat
dan kebutuhan rakyat. Harus diakui bahwa keterlibatan Indonesia dalam
deliberasi isu-isu global dapat mendongkrak citra sebagai negara yang
memikirkan kemaslahatan umat manusia.
Namun,
dalam upaya membumikan diplomasi dan politik luar negeri baik, kiranya jika
segala komitmen dan kepemimpinan Indonesia di forum perubahan iklim,
misalnya, dapat berimbas pada kehidupan rakyat. Komitmen dan target
pengurangan emisi karbon yang signifikan yang sudah dideklarasikan dapat
menjadi credentials bagi Indonesia untuk mendapat dukungan internasional,
baik dalam bentuk dana, teknologi, maupun peningkatan kapasitas dalam program
adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim bagi petani dan nelayan. Dengan
cara ini komitmen global Indonesia mampu menciptakan imbas kerakyatan bagi
golongan menengah bawah.
Peran
aktif di forum pembangunan sosial dunia harus berimbas pada pemberdayaan
perempuan di pedesaan dan remaja putus sekolah. Kepedulian terhadap nasib TKI
bermasalah di luar negeri mungkin bisa dirujuk juga sebagai pelaksanaan
diplomasi dan politik luar negeri yang membumi dan berdampak langsung
terhadap kepentingan rakyat kecil. Untuk menjamin agar program pro rakyat
benar-benar dapat dilaksanakan dalam tataran operasional diperlukan diplomasi
berjemaah yang melibatkan semua pemangku kepentingan politik luar negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar