Senin, 05 Mei 2014

Membuat Ujian Mencekam

Membuat Ujian Mencekam

Joko Dwi Hastanto  ;   Wartawan Suara Merdeka di Solo
SUARA MERDEKA,  05 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Soal ujian nasional (UN) dijaga ketat aparat kepolisian. Ruangan penyimpanan dikunci ganda. Peranti CCTV dipasang untuk mengawasi ruang itu. Siswa melakukan istighotsah, dan beberapa terlihat menangis ketika mencium tangan guru atau orang tua mereka. Senin ini hingga Kamis mendatang siswa SLTP mengikuti ujian nasional.

Intinya, ujian nasional masih saja dibuat mencekam. Siswa dibuat ketakutan, bukan saja karena standar nilai yang dianggap masih tinggi, meski rata-rata ’’hanya’’ 5,5 melainkan karena situasi psikologis yang ’’diciptakan’’ banyak pihak. Secara keseluruhan ujian tersebut masih saja dikesankan mencekam.

Polisi bersenjata lengkap dikerahkan menjaga soal yang disimpan di ruang tertutup, dilengkapi CCTV dan kunci ganda. Sepertinya sewaktu-waktu muncul teroris yang mencuri soal, kemudian menyerahkan kepada ahli yang dalam semalam bisa mengerjakan seluruh soal, lalu jawaban digandakan dan dijual kepada peserta ujian dengan harga mahal.

Pengerahan polisi seperti akan berperang melawan musuh atau penjahat besar, menjadikan suasana menjelang ujian itu makin mencekam. Anak-anak ’’dibuat’’ menangis terisak, menyerahkan diri kepada Allah Swt dalam istigasah, doa bersama. Siswa diminta memohon ampun kepada orang tua dan guru, layaknya pendosa.

Betapa ngeri ujian itu. Betapa rapuhnya kepercayaan diri siswa, sehingga waktu belajar tiga tahun belum cukup untuk menghadapi sebuah ujian akhir bernama ujian nasional. Lalu, buat apa pemerintah menngeluarkan duit triliunan rupiah untuk menambah kesejahteraan guru, dalam bentuk tunjangan sertifikasi.

Di sisi lain masyarakat melihat tidak ada pengaruhnya bagi peningkatan kecerdasan siswa. Buat apa guru tiap bulan menerima tunjangan profesi, yang sebetulnya diberikan untuk meningkatkan semangat mengajarnya, menciptakan kreativitas sehingga anak didik makin mudah mencerna pelajaran apa pun.

Betapa banyak siswa yang masih harus mencari tambahan les seusai pelajaran sekolah, baik privat maupun bersama-sama di lembaga bimbingan belajar, yang menjanjikan kelulusan ujian dan sebagainya. Melihat suasana seperti itu, wajar jika semua orang meragukan keabsahan ujian nasional sebagai tolok ukur kemajuan pendidikan.

Dicekam Ketakutan

Kenyataannya, bukan kualitas yang makin bagus, namun kebalikannya, menjadikan siswa tidak lagi muncul dengan kepercayaan diri yang utuh sebagai generasi penerus yang andal dalam pikir dan tindak. Bagaimana mungkin ketika sekolah saja, bekal yang diterima hancur secara psikis dalam waktu singkat karena dicekam ketakutan luar biasa.

Pekerjaan rumah besar bagi pengelola pendidikan untuk menjadikan ujian nasional sebagai sesuatu yang biasa. Semestinya bisa mengirim soal ujian tanpa harus mengerahkan polisi bersenjata lengkap. Seharusnya juga mudah membuat suasana biasa-biasa saja, seperti ujian semesteran. Terlebih ujian yang menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan panjang pendidikan selama 3 tahun di SMP.

Semestinya bisa memercayakan kepada pihak sekolah bahwa ketika sekolah menyatakan siswa ini layak dinyatakan lulus, memang mereka benar-benar layak diluluskan. Mestinya, gugatan penyelenggaraan ujian nasional karena tidak rela proses belajar tiga tahun ’’dihukumi’’ ujian selama tiga hari, dengan alternatif mengikuti ujian kesetaraan andai tidak lulus.

Atau semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan ujian, mulai pemerintah pusat, daerah, petugas keamanan, percetakan, hingga biro jasa transportasi, tidak rela jika proyek besar berbiaya mahal harus ditiadakan. Ada semacam kekhawatiran mengurangi pendapatan bagi sekian banyak orang.

Tidakkah mereka sadar, dengan meneruskan proyek ujian seperti dikesankan selama ini yang dibuat mencekam, maka sekian juta generasi muda menjadi generasi rapuh secara mental?

Sudah waktunya semua introspeksi tidak lagi mengorbankan bangsa ini menjadikan generasi mudanya makin rapuh, melalui ujian nasional yang dibuat mencekam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar