Membangun
Visi Kemaritiman Capres 2014
Sunarsip
; Ekonom The Indonesia
Economic Intelligence (IEI)
|
REPUBLIKA,
26 Mei 2014
Berdasarkan dokumen visi dan
misi para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang
diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) terlihat bahwa kedua pasangan
capres dan cawapres kita memiliki perhatian yang cukup tinggi terhadap pembangunan
sektor kemaritiman Indonesia ke depan.
Pemerintah RI memang tidak boleh
mengabaikan sektor kemaritiman kita. Dilihat dari sudut pandang manapun,
sektor kelautan kita memiliki posisi yang strategis. Wilayah perairan laut
Indonesia mencapai sekitar dua per tiga dari seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Dilihat dari kepentingan strategis pertahanan dan
keamanan, wilayah kelautan kita memiliki peran penting untuk menjaga
kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Kelalaian kita dalam menjaga
batas-batas wilayah laut bisa menyebabkan hilangnya wilayah kedaulatan kita.
Secara ekonomi, perairan laut
juga memiliki potensi yang besar. Di bidang energi, laut kita (offshore, khususnya kawasan timur
Indonesia) memiliki cadangan minyak dan gas bumi (migas) yang besar di tengah
semakin berkurangnya cadangan migas di darat (onshore). Sayangnya, potensi migas di wilayah offshore ini belum dieksploitasi
maksimal karena mahalnya biaya dan tingginya risiko investasi akibat buruknya
in frastruktur.
Subsektor perikanan kelautan
kita juga memiliki potensi yang besar dalam menyumbang produk domestik bruto
(PDB). Berdasarkan data dari McKinsey (2013), Indonesia merupakan negara
penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Cina. Pada 2009, produksi ikan
kita mencapai sekitar 9,8 juta ton. Dari jumlah itu, sekitar 91 persen
digunakan untuk memenuhi konsumsi ikan di dalam negeri sedangkan sisanya,
sekitar sembilan persen, diekspor.
Dengan wilayah laut yang begitu
luas, sekitar 5,8 juta kilometer persegi, angka ekspor sebesar sembilan
persen tersebut menunjukkan bahwa pem berdayaan perikanan kelautan kita masih
jauh dari maksimal. Padahal, potensi permintaan ikan dunia saat ini sangat
tinggi seiring dengan meningkatnya kebutuhan konsumsi protein hewani yang
tidak sepenuhnya dapat dipenuhi dari daging.
Salah satu problem utama yang
menyebabkan kurang optimalnya produksi ikan laut adalah rendahnya produktivitas.
Rata-rata produktivitas kapal dalam menangkap ikan hanya sekitar 8,8 ribu ton
ikan per kapal, dengan produktivitas tertinggi terjadi di wilayah Maluku dan
Papua sebesar 13,1 ribu ton ikan per kapal dan terendah di wilayah Jawa
bagian selatan yang hanya 4,4 ribu ton ikan per kapal. Rendahnya produktivitas
ini menunjukkan bahwa kapal-kapal penangkapan kita umumnya masih kurang dalam
penggunaan teknologi penangkapan ikan.
Wilayah kelautan kita juga
memiliki potensi lainnya yang tak kalah besar. Indonesia sebenarnya memiliki
potensi sebagai tempat transit kapal-kapal dari berbagai negara. Sayangnya,
akibat buruknya kondisi infrastruktur kita, kapal-kapal tersebut tidak
melabuhkan diri ke pelabuhan di Indonesia dan lebih memilih ke Singapura.
Bahkan, kapal-kapal yang mengangkut barang-barang dari dan ke Indonesia pun
memilih pelabuhan milik negara tetangga sebagai transit (transit port). Pada akhirnya, kondisi ini menyebabkan nilai tambah
yang berasal dari sektor kemaritiman kita menjadi sangat kecil.
Rendahnya nilai yang dihasilkan
dari sektor kemaritiman kita sesungguhnya tidak lepas dari berbagai kendala
yang dimilikinya. Meskipun sektor kemaritiman kita memiliki prospek bagus,
orientasi pembangunan kita masih onshore
oriented. Orientasi pembangunan infrastruktur yang dikembangkan pemerintah
masih lebih berpihak kepada infrastruktur darat, bukan infrastruktur laut.
Rendahnya komitmen pemerintah
dalam membangun infrastruktur kemaritiman juga tercermin dalam kinerja neraca
jasa (balance of services) dalam
neraca pembayaran Indonesia (balance of
payment, NPI). Setiap tahun, neraca jasa kita selalu defisit. Pada 2012,
neraca jasa kita mengalami defisit 10,3 miliar dolar AS.
Pada 2013, defisit
tersebut meningkat menjadi 12,1 miliar dolar AS. Defisit neraca jasa ini
terutama disebabkan oleh tingginya pembayaran biaya pengangkutan (freight) terkait dengan kegiatan
ekspor dan impor kita. Faktanya, kapal-kapal yang digunakan dalam kegiatan
ekspor impor kita sebagian besar berbendera asing.
Pada era Orde Baru, Indonesia
sesungguhnya telah memiliki visi yang cukup maju dalam pengembangan sektor
kemaritiman ini. Menyadari bahwa wilayah kita sebagian besar laut, pemerintah
pun banyak mengembangkan industri penunjang sektor kemaritiman, seperti
industri perkapalan dengan banyak membangun pabrik pembuatan kapal serta
industri kemaritiman lainnya.
Sayangnya, krisis ekonomi
1997/98 merontohkan semua rencana tersebut. Pada 1999, pada era pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid dibentuk kementerian yang khusus mengurusi sektor
kelautan ini. Sayangnya, desain kebijakan fiskal tidak mendukung sektor
kemaritiman kita. Orientasi kebijakan fiskal kita masih onshore oriented. Bahkan, selama lima tahun terakhir ini,
pemerintah rela menghabiskan tidak kurang Rp100 triliun setiap tahun untuk
subsidi BBM.
Saya kira, para capres dan
cawapres kita harus memiliki paradigma baru. Dari visi misi mereka setidaknya
telah memperlihatkan keberpihakannya kepada pembangunan sektor kemaritiman.
Nah, tinggal penguatannya harus diperlihatkan antara lain dengan menunjukkan fiscal policy yang akan diusung. Saya
berharap mereka tidak kembali "setengah-setengah" merealisasikan
pembangunan sektor kemaritiman, bila telah terpilih menjadi presiden dan
wakil presiden 2014-2019. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar