Manajemen
Lame Duck
Rhenald
Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 08 Mei 2014
|
Fenomena lame duck
government biasa terjadi pascapemilu. Ini lazim terjadi di berbagai
negara demokratis yang pemerintahnya merasa mulai kehilangan power baik karena popularitasnya atau
menjelang peralihan kekuasaan.
Di Amerika Serikat (AS),
misalnya, fenomena ini dulu terjadi setelah pemilu (bulan November) hingga
pelantikan presiden yang membutuhkan waktu sekitar lima bulan.Karena waktunya
lama, wajar bila para negarawan terpanggil mencari jalan keluar. Namun, saya
tidak menyangka di negara kita, fenomena tersebut datang begitu cepat. Bahkan
majalah berpengaruh The Economist
(25 Februari 2012) mencatat gejala ini mulai mengirim sinyalnya di sini sejak
akhir 2012 ketika pemerintah dilanda beberapa skandal korupsi para elite
partai politiknya.
Namun gejala yang lebih jelas terjadi hari-hari ini setelah
Pemilu Legislatif (Pileg) 2014. Meski bagi sebagian politisi fenomena ini
sangat wajar, bagi ekonom dan dunia usaha, bila hal itu dibiarkan bisa
berakibat buruk bagi perekonomian karena menciptakan kondisi uncertainty. Maka, kita perlu
mendorong Mahkamah Konstitusi (MK), Presiden, dan parlemen untuk mengenal dan
mengelola fenomena ini. Minimal memperpendek durasinya dan menciptakan
mekanisme manajemen peralihan yang produktif.
Berawal dari Surat Edaran
Semula, bayangan saya, fenomena itu baru terjadi pasca-Pilpres 9
Juli 2014. Itulah awal presiden incumbent
memahami siapa penggantinya. Namun, ternyata, seusai Pileg 9 April 2014,
gejala-gejala terjadinya lame duck
government di sini mulai muncul. Kita bisa membaca hal itu dari keluarnya
surat edaran bernomor SE- 05/Seskab/IV/2014 yang disampaikan Sekretaris
Kabinet Dipo Alam pada Rabu, 23 April 2014.
Surat itu dikeluarkan sesuai dengan arahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) dan ditujukan kepada para menteri di jajaran Kabinet
Indonesia Bersatu jilid II serta kepala lembaga pemerintahan nonkementerian.
Ada tiga isi pokok dari surat edaran tersebut. Pertama, larangan untuk
membuat kebijakan yang berpotensi menimbulkan kontroversi, keresahan di
masyarakat atau politik.
Kedua, para menteri dan pejabat lembaga nonkementerian tidak
boleh mengambil kebijakan, keputusan atau program yang memiliki implikasi
luas, yang berpotensi mengganggu pemilihan presiden. Larangan ini berlaku
sampai akhir masa jabatan pemerintahan.
Ketiga, untuk kebijakan yang sudah telanjur diambil dan
berpotensi menimbulkan perbedaan pandangan di masyarakat, para menteri dan
pimpinan lembaga nonkementerian diminta menjelaskan ke masyarakat agar
perbedaan pandangan tidak berkembang meluas sehingga mengganggu stabilitas
sosial, ekonomi, politik, dan keamanan.
Praktis dengan tiga larangan tadi,sulit bagi kementerian dan
lembaga-lembaga nonkementerian mengeluarkan kebijakankebijakan yang bersifat
strategis. Ini tentu meresahkan bagi dunia usaha, sebab kita tahu masa
jabatan pemerintahan sekarang baru akan berakhir setelah terbentuknya
pemerintahan baru dan itu secepat-cepatnya Oktober 2014, yakni setelah
presiden dan wakil presiden terpilih secara resmi melantik kabinetnya dan
melakukan serah terima jabatan.
Jika dihitung sejak surat edaran tersebut keluar, praktis selama
sekitar tujuh bulan ke depan kinerja pemerintahan kita tidak akan optimal.
Periode pemerintahan seperti inilah yang biasa disebut sebagai pemerintahan
bebek lumpuh atau lame duck government.
Pengalaman Negara Lain
Sebetulnya ungkapan lame
duck atau bebek lumpuh pertama kali muncul di Bursa Efek London pada abad
ke-18. Istilah lame duck dipakai
untuk menyebut pialang saham yang gagal melunasi utang-utangnya. Pada tahun
1761, Horace Walpole, putra bungsu
Perdana Menteri Inggris pertama, menulis surat kepada Sir Horace Mann.
Isinya, “Anda tahu apa itu
bull dan bear dan lame duck?” Istilah bull biasanya merujuk pada kinerja
pasar saham yang sedang bullish (naik), sementara bear sebaliknya, yakni
bearish atau menurun. Ketika itu lame
duck adalah istilah baru. Pada 1791 Mary Berry melaporkan bahwa Duchess
Devonshire merugi 50.000 poundsterling dalam perdagangan saham. Namanya
kemudian menjadi bahan perbincangan seisi kota. Sang Duchess disebutsebut
sebagai bebek lumpuh.
Secara harfiah, ungkapan ini mengacu pada bebek yang tidak mampu
bersaing sehingga bisa menjadi mangsa empuk para predator. Dari dunia pasar
modal, istilah lame duck kemudian bergeser ke ranah politik. Pada 14 Januari
1863, sebuah dokumen resmi Kongres Amerika Serikat mencatat perilaku lame duck sebagai kegagalan politik
yang tidak dapat diterima. Itu sebabnya, di Amerika Serikat transisi yang
berakibat lame duck government
diperpendek menjadi 75 hari atau sekitar 2,5 bulan.
Amerika Serikat pernah mengalami masa terburuk pada tahun
1860–1861, saat terjadi transisi pemerintahan dari Presiden James Buchanan ke
Abraham Lincoln. Harap maklum, pada masa itulah orang melihat kekuatan bawah
untuk melawan pemerintah pusat yang tengah lumpuh. Presiden Buchanan
berpendapat, negara-negara bagian tidak berhak memisahkan diri.
Tapi, beberapa negara bagian berontak karena mengerti bahwa
ilegal bagi pemerintah federal mengirimkan tentara untuk menghentikan
aksi-aksi separatis. Dampaknya, selama 6 November 1860 sampai 4 Maret 1861,
tujuh negara bagian melawan untuk memisahkan diri. Lalu, konflik pun meletus
yang mengarah pada perang saudara antarnegara di bagian utara dan selatan.
Masih Banyak PR
Kita tentu tak ingin peristiwa yang terjadi di Amerika Serikat
terjadi di sini. Namun, adanya surat edaran yang berpotensi menciptakan lame duck government, menurut saya,
cukup mencemaskan bagi perekonomian dan mungkin juga bagi institusi publik
yang butuh kejelasan. Apalagi ada sejumlah menteri dari kalangan partai
politik.
Adanya surat edaran tersebut memberikan keleluasaan bagi
menteri-menteri untuk memberikan lebih banyak perhatian pada Pilpres 2014.
Padahal, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan. Masih banyak
keputusan strategis yang harus diambil. Misalnya, didepanmatapada tahun depan
kita bakal menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN, termasuk kebijakan ASEAN Open Sky.
Untuk mengantisipasi era tersebut, saya menilai, masih banyak
kebijakan yang perlu disinkronisasi. Kebijakan-kebijakan di Kementerian
Perdagangan, misalnya, belum sepenuhnya sejalan dengan kebijakan di
Kementerian Pertanian dan Perindustrian. Demikian pula dibekukannya anggaran
program TVRI melalui tangan parlemen kepada Kementerian Keuangan yang sudah
berlangsung sejak akhir tahun lalu.
Kita juga harus menyelesaikan program hilirisasi di industri
mineral yang sampai sekarang masih terus menghadapi penolakan, terutama dari
perusahaan- perusahaan pertambangan multinasional. Lalu, masih ada masalah
subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang sudah melampaui pagu APBN 2014 sehingga
bukan tidak mungkin harus direvisi.
Masih ada sejumlah kontrak kerjasama migas yang akan habis masa
berlakunya dan membutuhkan kepastian hukum dari pemerintah, apakah akan
diperpanjang atau tidak, seperti Blok Mahakam, Blok East Natuna, Blok Masela.
Investasi migas adalah investasi bernilai miliaran dolar AS. Ini
harus segera diputuskan. Saya kira, pemerintah kita masih harus merespons
banyak isu dan mengambil banyak keputusan— sesuatu yang sulit selama periode
lame duck government. Bagi saya, sikap untuk tidak mengambil keputusan juga
sebuah keputusan.
Hanya, itu keputusan yang buruk dan di situlah peranan seorang
negarawan memasuki masa ujian: dia bertindak atau sekadar bicara, dia biarkan
berlarut- larut dengan membawa panjang urusan keributan politik atau
memperpendek ketidakpastian dengan me-manage
lame duck government menjadi a bullish
government. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar