Logika
dalam PBM Sains
L
Wilardjo ; Guru
Besar Fisika
|
KOMPAS,
21 Mei 2014
DALAM artikelnya, ”Mengkhawatirkan Masa Depan” (Kompas, 9/3/2014), M Abduhzen
mengatakan, ”Ketika belajar sains...,
murid dituntun berpikir (dengan) pola induktif, sementara saat (sic)
mendalami matematika ... dibawa ke alam berpikir deduktif.” Apabila benar
itu terjadi dalam proses belajar mengajar di sekolah ataupun perguruan
tinggi, perlu ada perbaikan mendasar.
Di sisi logika, dalam proses
belajar mengajar (PBM) sains, induksi memang perlu, demikian pula deduksi.
Bahkan, analogi juga! Induksi bertolak dari kasus-kasus khusus yang jumlahnya
memadai, menuju ke simpulan yang umum.
Sebaliknya, deduksi berangkat
dari teori atau asas yang umum menukik ke konklusi yang berlaku secara khusus
di tempat, waktu, dan situasi tertentu.
Analogi didasarkan pada
pembandingan antara dua gejala, peristiwa, atau peri-keadaan yang berbeda,
tetapi mirip. Satu dari kedua peristiwa itu sudah kita akrabi, sedangkan yang
satu lagi masih asing bagi kita. Lalu, kita cari kebersesuaian satu lawan
satu (one-to-one correspondence)
antara sifat-sifat di peristiwa yang satu dan di peristiwa yang satunya lagi.
Tiga macam
Ada analogi antisipatif, analogi
retrosipatif, dan analogi sesegi-ragam. Dalam analogi antisipatif, kita
menarik simpulan tentang peristiwa di segi ragam (modal aspect) yang lebih kompleks berdasarkan analoginya dengan
peristiwa yang sudah kita ketahui, di segi ragam di bawahnya.
Sebaliknya, dalam analogi
retrosipatif kita menoleh ke belakang, ke segi ragam yang lebih sederhana
untuk mengetahui peristiwa yang sedang kita telaah. Analogi sesegi-ragam
membandingkan dua peristiwa yang serupa yang sama-sama berada di segi ragam
tertentu.
Misalnya, untuk memahami arus
elektrik, kita dapat menarik analoginya dengan arus air. Ini analogi
sesegi-ragam sebab kedua peristiwa itu (arus elektrik dan arus air) berada di
segi ragam yang sama, yakni segi ragam fisis.
Muatan elektrik kita padankan
dengan air, arus elektrik dengan debit air, dan tegangan (voltage) dengan
tekanan air.
Kita akrab dengan aliran air,
yang dapat kita lihat dan dapat kita rasakan seberapa deras arusnya. Berbeda
dengan aliran muatan elektrik. Aliran ini tidak dapat kita lihat dan kalau
kita sentuh, kita akan tersengat.
Teori Relativitas Umum berada di
segi ragam fisis. Ketika Einstein membangun, ia melakukan retrosipasi ke segi
ragam keruangan (spatial) yang dua tingkat di bawahnya, dengan menggarapnya
sebagai persoalan geometri Riemann.
Ia diilhami oleh Hermann
Minkowski, dosennya di ETH (Sekolah Tinggi Teknik Swiss), Zuerich, yang
mendeskripsikan Teori Relativitas Khusus Einstein dengan geometri Euklidesan
(Euclidean geometry), yakni
ruang-waktu caturnatra (four-dimensional
space-time) yang disebut dunia Minkowski (Minkowski world).
Kita tahu bahwa sistem mekanis
akan berada dalam keseimbangan yang mantap (in stable equilibrium) kalau titik beratnya di bawah, tetapi
keseimbangannya akan goyah atau labil (unstable) jika titik beratnya di atas,
seperti telur di ujung tanduk.
Dengan pengetahuan ini, kita
dapat memperkirakan apa yang akan terjadi jika perhatian pemerintah
(penguasa) dicurahkan kepa-da mayoritas rakyat di lapisan bawah masyarakat,
dan apa pula yang akan terjadi jika pemerintah hanya memperhatikan
kepentingan minoritas elite di lapisan atas masyarakat.
Deduksi sains
Karl R Popper adalah filsuf ilmu
(philosopher of science) yang lebih
berbasis sains daripada matematika. Albert Einstein seorang fisikawan.
Ia tidak suka matematika
meskipun terpaksa memakainya dari Marcel Grossmann dan David Hilbert.
Grossmann teman sekelas Einstein, jago matematika, sedangkan Hilbert adalah
ahli matematika peneliti gravitasi.
Akan tetapi, keduanya (Popper
dan Einstein) menyepelekan induksi. Popper menyatakan bahwa teori dalam sains
dibangun melalui ”proses psikologis” yang berintikan serangkaian konjektur (conjectures) dan refutasinya. Sejalan
dengan Popper, Einstein menafikan lintasan logis (logical path) yang menuju ke asas semesta.
Prinsip universal itu (menurut
yang ”pro” induksi dicapai melalui logika induktif) kata Einstein hanya dapat
dicapai dengan mencurahkan kecintaan mendalam kepada obyek penelitian. Itulah
yang disebutnya ”Einfuehlung”,
semacam empati atau tepa-salira.
Dalam PBM sains, deduksi dapat
diajarkan, misalnya, untuk membuktikan kemuhalan (kemustahilan) swacala abadi
(perpetuum mobile atau perpetual motion), baik yang jenis
pertama (berkaitan dengan hukum termodinamika I) maupun yang jenis kedua
(terkait dengan hukum termodinamika II).
Dengan bertolak dari argumen
lawan (counter argument), dilakukan deduksi yang berujung pada konklusi yang
absurd; dengan kata lain, muhal (mustahil). Itulah yang dalam logika
dinamakan ”reductio ad absurdum” atau ”reductio
ad impossibile”.
Deduksi juga dapat dipakai untuk
menunjukkan muhalnya efek foto-elektrik jika elektron yang sedianya akan
diemisikan dari permukaan logam yang disinari ialah elektron bebas.
Dengan logika deduktif dapat
dibuktikan bahwa hanya asas kekekalan tenaga (prinsip konservasi energi) atau
asas kekekalan pusa (prinsip konservasi momentum) saja yang dipenuhi dan
tidak kedua-duanya. Konklusi deduktifnya ialah bahwa efek foto-elektrik itu
mustahil terjadi.
Pada hemat saya, ”metode
penemuan” (the discovery method)
yang juga disebut ”metode bertanya” (the
inquiry method) lebih serupa dengan anamnesis yang dilakukan dokter
terhadap pasiennya di kamar periksa.
Dengan serangkai pertanyaan ala
Sokrates (Socratic questions),
murid digiring untuk menemukan sendiri apa yang dicari. Cara itu dipakai
Sokrates kepada seorang bocah yang tidak bersekolah hingga mampu membuktikan
sendiri dalil Pythagoras. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar