Kamis, 22 Mei 2014

Logika dalam PBM Sains

Logika dalam PBM Sains

L Wilardjo ;  Guru Besar Fisika
KOMPAS,  21 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
DALAM artikelnya, ”Mengkhawatirkan Masa Depan” (Kompas, 9/3/2014), M Abduhzen mengatakan, ”Ketika belajar sains..., murid dituntun berpikir (dengan) pola induktif, sementara saat (sic) mendalami matematika ... dibawa ke alam berpikir deduktif.” Apabila benar itu terjadi dalam proses belajar mengajar di sekolah ataupun perguruan tinggi, perlu ada perbaikan mendasar.

Di sisi logika, dalam proses belajar mengajar (PBM) sains, induksi memang perlu, demikian pula deduksi. Bahkan, analogi juga! Induksi bertolak dari kasus-kasus khusus yang jumlahnya memadai, menuju ke simpulan yang umum.

Sebaliknya, deduksi berangkat dari teori atau asas yang umum menukik ke konklusi yang berlaku secara khusus di tempat, waktu, dan situasi tertentu.
Analogi didasarkan pada pembandingan antara dua gejala, peristiwa, atau peri-keadaan yang berbeda, tetapi mirip. Satu dari kedua peristiwa itu sudah kita akrabi, sedangkan yang satu lagi masih asing bagi kita. Lalu, kita cari kebersesuaian satu lawan satu (one-to-one correspondence) antara sifat-sifat di peristiwa yang satu dan di peristiwa yang satunya lagi.

Tiga macam

Ada analogi antisipatif, analogi retrosipatif, dan analogi sesegi-ragam. Dalam analogi antisipatif, kita menarik simpulan tentang peristiwa di segi ragam (modal aspect) yang lebih kompleks berdasarkan analoginya dengan peristiwa yang sudah kita ketahui, di segi ragam di bawahnya.

Sebaliknya, dalam analogi retrosipatif kita menoleh ke belakang, ke segi ragam yang lebih sederhana untuk mengetahui peristiwa yang sedang kita telaah. Analogi sesegi-ragam membandingkan dua peristiwa yang serupa yang sama-sama berada di segi ragam tertentu.

Misalnya, untuk memahami arus elektrik, kita dapat menarik analoginya dengan arus air. Ini analogi sesegi-ragam sebab kedua peristiwa itu (arus elektrik dan arus air) berada di segi ragam yang sama, yakni segi ragam fisis.
Muatan elektrik kita padankan dengan air, arus elektrik dengan debit air, dan tegangan (voltage) dengan tekanan air.

Kita akrab dengan aliran air, yang dapat kita lihat dan dapat kita rasakan seberapa deras arusnya. Berbeda dengan aliran muatan elektrik. Aliran ini tidak dapat kita lihat dan kalau kita sentuh, kita akan tersengat.

Teori Relativitas Umum berada di segi ragam fisis. Ketika Einstein membangun, ia melakukan retrosipasi ke segi ragam keruangan (spatial) yang dua tingkat di bawahnya, dengan menggarapnya sebagai persoalan geometri Riemann.
Ia diilhami oleh Hermann Minkowski, dosennya di ETH (Sekolah Tinggi Teknik Swiss), Zuerich, yang mendeskripsikan Teori Relativitas Khusus Einstein dengan geometri Euklidesan (Euclidean geometry), yakni ruang-waktu caturnatra (four-dimensional space-time) yang disebut dunia Minkowski (Minkowski world).

Kita tahu bahwa sistem mekanis akan berada dalam keseimbangan yang mantap (in stable equilibrium) kalau titik beratnya di bawah, tetapi keseimbangannya akan goyah atau labil (unstable) jika titik beratnya di atas, seperti telur di ujung tanduk.
Dengan pengetahuan ini, kita dapat memperkirakan apa yang akan terjadi jika perhatian pemerintah (penguasa) dicurahkan kepa-da mayoritas rakyat di lapisan bawah masyarakat, dan apa pula yang akan terjadi jika pemerintah hanya memperhatikan kepentingan minoritas elite di lapisan atas masyarakat.

Deduksi sains

Karl R Popper adalah filsuf ilmu (philosopher of science) yang lebih berbasis sains daripada matematika. Albert Einstein seorang fisikawan.
Ia tidak suka matematika meskipun terpaksa memakainya dari Marcel Grossmann dan David Hilbert. Grossmann teman sekelas Einstein, jago matematika, sedangkan Hilbert adalah ahli matematika peneliti gravitasi.

Akan tetapi, keduanya (Popper dan Einstein) menyepelekan induksi. Popper menyatakan bahwa teori dalam sains dibangun melalui ”proses psikologis” yang berintikan serangkaian konjektur (conjectures) dan refutasinya. Sejalan dengan Popper, Einstein menafikan lintasan logis (logical path) yang menuju ke asas semesta.

Prinsip universal itu (menurut yang ”pro” induksi dicapai melalui logika induktif) kata Einstein hanya dapat dicapai dengan mencurahkan kecintaan mendalam kepada obyek penelitian. Itulah yang disebutnya ”Einfuehlung”, semacam empati atau tepa-salira.

Dalam PBM sains, deduksi dapat diajarkan, misalnya, untuk membuktikan kemuhalan (kemustahilan) swacala abadi (perpetuum mobile atau perpetual motion), baik yang jenis pertama (berkaitan dengan hukum termodinamika I) maupun yang jenis kedua (terkait dengan hukum termodinamika II).

Dengan bertolak dari argumen lawan (counter argument), dilakukan deduksi yang berujung pada konklusi yang absurd; dengan kata lain, muhal (mustahil). Itulah yang dalam logika dinamakan ”reductio ad absurdum” atau ”reductio ad impossibile”.

Deduksi juga dapat dipakai untuk menunjukkan muhalnya efek foto-elektrik jika elektron yang sedianya akan diemisikan dari permukaan logam yang disinari ialah elektron bebas.

Dengan logika deduktif dapat dibuktikan bahwa hanya asas kekekalan tenaga (prinsip konservasi energi) atau asas kekekalan pusa (prinsip konservasi momentum) saja yang dipenuhi dan tidak kedua-duanya. Konklusi deduktifnya ialah bahwa efek foto-elektrik itu mustahil terjadi.

Pada hemat saya, ”metode penemuan” (the discovery method) yang juga disebut ”metode bertanya” (the inquiry method) lebih serupa dengan anamnesis yang dilakukan dokter terhadap pasiennya di kamar periksa.

Dengan serangkai pertanyaan ala Sokrates (Socratic questions), murid digiring untuk menemukan sendiri apa yang dicari. Cara itu dipakai Sokrates kepada seorang bocah yang tidak bersekolah hingga mampu membuktikan sendiri dalil Pythagoras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar