Kurikulum
Sejarah dalam Dua Ranah
Susanto
Zuhdi ; Guru Besar Ilmu Sejarah FIB UI
|
KOMPAS,
06 Mei 2014
TULISAN
Budi Darma (Kompas, 24/4/2014) dan L Wilardjo (30/4/2014) mengemukakan ide yang sama. Bahwa sejarah nasional
dalam kurikulum harus diajarkan dengan materi dari perspektif Indonesia untuk
pembentukan karakter dan identitas bangsa yang diberikan secara kritis.
Artikel
ini hendak menggeser isu ke masalah
konkret yang muncul dari Kurikulum 2013, khususnya bagi guru. Guru
menghadapi masalah bagaimana mengajarkan Sejarah
Indonesia sebagai mata pelajaran wajib (2 jam) untuk siswa SLTA
(SMA/MAN/SMK) dan Sejarah (dalam) Peminatan (jurusan) Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS), 3 jam di kelas X dan
masing-masing 4 jam di kelas XI dan XII.
”Negeri asing”
Selain
”sejarah wajib”, siswa dalam peminatan IPS mengambil lagi mata pelajaran
Sejarah dalam kelompok IPS (Ekonomi,
Sosiologi, Geografi, dan Antropologi). Pertanyaannya apakah materinya sama
dengan yang didapat dari Sejarah Indonesia sebagai mata pelajaran wajib?
Bukankah itu akan terjadi pengulangan. Di mana letak perbedaannya? Memang ada
hal menarik. Siswa dari peminatan IPA dan
Ilmu Budaya boleh mengambil Sejarah Peminatan sebagai pilihan. Ini
kelebihan Kurikulum 2013, memungkinkan mobilitas siswa melakukan lintas
peminatan.
Untuk
ini, perlu dirumuskan secara tepat mengenai konsep Sejarah Indonesia dan
Sejarah (dalam) Peminatan IPS ditinjau dengan kompetensi dan materinya. Jadi,
dalam Kurikulum 2013 dapat dikatakan ada dua ranah pembelajaran sejarah. Mata
pelajaran Sejarah Indonesia lebih pada tujuan pembentukan karakter dan
identitas bangsa. Adapun Sejarah Peminatan lebih pada sejarah sebagai ilmu.
Untuk diketahui, salah satu tujuan ini adalah mempersiapkan siswa ke
perguruan tinggi yang menawarkan bidang studi sejarah.
Untuk
menggambarkan betapa penting sejarah bagi bangsa, Sartono Kartodirdjo—guru
utama sejarah Indonesia—pernah mengatakan, ”Jika ada Ikrar Keempat dari Sumpah Pemuda 1928, maka akan berbunyi
’Menjunjung Tinggi Sejarah yang Satu, Sejarah Indonesia’.”
Sayangnya,
modul Sejarah Peminatan kelas X
(Direktorat Sejarah Kemdikbud, 2013)
kurang menjelaskan konsep dan lingkup materinya. Sementara itu, modul
ditulis buruk. Modul tidak bisa membedakan ”analisis peristiwa” dengan
”interpretasi fakta”. Referensi yang digunakan pun banyak yang lemah ditinjau
dari otoritasnya. Kesalahan fatal dalam ontologis dan epistemologis tampak
ketika penulis membedakan begitu saja sejarah dari antropologi. Padahal,
”tradisi lisan” sebagai ranah antropologi dapat dimasuki sejarawan. Bahkan,
Jan Vansina menyebut ”tradisi lisan sebagai sejarah”.
Meskipun
banyak sarjana berdebat apakah sejarah adalah ”ilmu”, John B Bury mengatakan,
”History is science no less no more.”
Namun, di sinilah keunikan sejarah. Dengan istilah history, umumnya sudah
dipahami sebagai masa lampau dan ilmu. Maka, ketika GJ Renier mengenalkan Historiology (biar keren?) toh tidak dipakai.
Sejarah
sebagai ilmu memberi kompetensi siswa berpikir kritis, terampil, dan mampu
menanggapi isu-isu sejarah yang muncul di kekinian. Ini seperti hendak
mengamalkan anjuran RG Collingwood bahwa masa lampau sengaja dihadirkan
kembali (to re-enactment of the past)
untuk merespons isu masa kini. Akan tetapi, patut diingat, kata David
Lowenthal, betapa tidak mudah ”menghadirkan” sejarah karena ”sejarah itu sebuah negeri asing” (history is a foreign country).
Kontekstual dan kritis
Sejarah
Peminatan dapat diperluas dan diperdalam dengan penerapan ilmu sejarah.
Sejarah akan lebih menarik dipelajari karena tidak lagi menghafal tahun dan
peristiwa. Sejarah dipelajari secara kontekstual dan kritis. Bukankah sejarah
dari bahasa Yunani maknanya ’pencarian’ atau ’penyelidikan’. Dalam konteks
itu, siswa ditugasi menangani sumber sejarah, menganalisis peristiwa,
”menetapkan” fakta, dan menginterpretasikan, serta merekonstruksi ke dalam
sebuah kisah sejarah (historiografi).
Lebih
dari itu, sejarah adalah gudang pengetahuan yang jika diolah dan dikemas
menarik dapat menjadi konsumsi publik. Ini yang kurang disadari bahwa ada
cara tertentu publik mengapresiasi masa lampau yang bermakna sejarah. Justru
merekalah yang tahu persis apa guna dan manfaat sejarah.
Informasi
masa lampau yang dikemas menarik dengan beragam media sosial seperti novel
sejarah, komik, program TV, film cerita/dokumenter, website, dan blog
merupakan praktik keterampilan sejarah. Bahkan, dari bungkus kopi Royal Kona
(Hawaii Coffee Co), ambil contoh,
dapat menjadikan sarana belajar sejarah karena terdapat info tentang
asal-usul kopi.
Sejarah
sudah jadi kebutuhan hidup, tulis Jerome de Groote dalam Consuming History (2009). Karena sejarah memiliki selling point,
maka berarti pula ada industri sejarah
(historical industry). Sejarah
dalam aspek praktis seperti itu sesungguhnya lahan pekerjaan bagi mereka yang
berketerampilan sejarah.
Penulisan
sejarah (historiografi) yang diterbitkan 2012 berjudul Indonesia dalam Arus
Sejarah (IDAS), meski belum sempurna, dapat menjadi salah satu sumber
penulisan baik untuk ranah karakter bangsa maupun sejarah kritis. IDAS dikerjakan bukan hanya oleh sejarawan,
melainkan juga melibatkan ilmuwan sosial, sastrawan, budayawan, bahkan
praktisi. Buku yang terdiri atas delapan jilid itu mencakup masa prasejarah
hingga reformasi, ditulis tematik, dan—walaupun belum sepenuhnya—menggunakan
pendekatan interdisipliner.
Semoga penulis buku, modul, atau pembuat Rencana Program Pembelajaran
Sejarah Indonesia dan Sejarah Peminatan dapat memberi panduan dan disampaikan
secara tepat pula. Dengan begitu, tidak membuat guru bingung seperti yang
muncul belakangan ini meski sudah mendapat pelatihan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar