Kegamangan
Politik Warga Muhammadiyah
Djoko
Susilo ; Mantan Ketua PP
Pemuda Muhammadiyah (1998-2002)
|
JAWA
POS, 27 Mei 2014
AKHIR
pekan lalu, antara 23-25 Mei, Muhammadiyah menggelar sidang tanwir (rapat
kerja nasional) di Samarinda, Kaltim. Sebenarnya, sidang tanwir itu merupakan
acara tahunan, tetapi kali ini menjadi istimewa karena merupakan tahun
politik yang penting. Dua calon presiden (capres), yakni Joko Widodo dan Prabowo
Subianto, hadir dalam acara yang didatangi elite pimpinan Muhammadiyah
se-Indonesia tersebut.
Menurut Prof Dr M. Amien Rais,
mantan ketua umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, dalam wawancaranya dengan
sebuah TV nasional, sambutan terhadap kehadiran capres Jokowi hanya
"suam-suam kuku". Sebaliknya, sambutan atas kehadiran capres
Prabowo sangat gegap gempita, bahkan diselingi gema takbir segala. Salah satu
keberhasilan Prabowo memikat peserta tanwir adalah ceramahnya yang selaras
dengan tema yang sedang digandrungi kalangan Muhammadiyah saat ini: Indonesia yang Berkemajuan.
Namun,
sebagaimana sudah diduga, pernyataan resmi sidang tanwir yang dibacakan Agung
Danarto, sekretaris umum PP Muhammadiyah, organisasi Islam modernis ini
menyatakan netral dalam pilpres nanti. Warga Muhammadiyah dipersilakan
memberikan suara sesuai dengan keputusan dan pilihan hati nurani
masing-masing. Namun, dalam konferensi pers penutupan acara tanwir
tersebut, ada pernyataan yang unik dari Din Syamsuddin, ketua umum, yang menegaskan
bahwa Muhammadiyah tidak berafiliasi dengan parpol mana pun dan koalisi apa
pun. Meski tidak tersurat, sudah jelas pernyataan Din ini ditujukan kepada
PAN yang aktivisnya banyak dari kalangan Muhammadiyah.
Pernyataan
resmi sidang tanwir ataupun keterangan pers Din ini sekali lagi menunjukkan
kegamangan sikap politik kalangan elite Muhammadiyah. Sebab, ketika tanwir
memutuskan netral, pada waktu yang sama Saleh P. Daulay (ketua umum PP Pemuda
Muhammadiyah) tegas menyatakan bahwa Pemuda Muhammadiyah memberikan dukungan
kepada Prabowo-Hatta Rajasa. Sikap "mbalelo" kalangan muda
Muhammadiyah terhadap induknya ini bukan tanpa sebab. Sudah lama sikap
politik Muhammadiyah di bawah Din sering konfrontatif terhadap pemerintahan
Presiden SBY dan kepada Ketua Umum PAN Hatta Rajasa yang kebetulan adalah
besan presiden. Ini tidak selaras dengan konsep netralitas yang selama ini
dianut ormas Islam terbesar kedua di Indonesia tersebut.
Netralitas
Muhammadiyah bukanlah hal yang baru. Di masa yang sulit pada zaman Orde Baru,
KH A.R. Fachruddin pun selalu menyatakan netral politik. Presiden Soeharto
menghargai pilihan politik itu dan tetap menjaga hubungan harmonis antara
pemerintah dan Muhammadiyah. Ketika sekolah-sekolah Muhammadiyah digencet
Mendikbud Daoed Joesoef, Pak AR -sapaan KH A.R. Fachruddin- tidak melawan
dengan konfrontasi, tetapi memilih sowan ke Pak Harto dan membicarakan
masalahnya dengan tuntas. Dengan pendekatan yang "luwes" dan
"njawani" ini, Muhammadiyah tetap mendapat tempat di kalangan
pemerintah.
Din
Syamsuddin memang bukan orang Jawa. Jadi, kita tidak bisa berharap banyak dia
punya sikap yang "njawani" seperti Pak AR. Namun, sesungguhnya ada
nostalgia di sebagian kalangan warga Muhammadiyah agar ketua umum punya sikap
yang luwes. Pak AR hendaknya menjadi teladan bagi PP Muhammadiyah. Wajar jika
saat ini sudah muncul gerakan "jangan salah pilih" ketua umum
Muhammadiyah dalam muktamar tahun depan. Warga sangat merindukan sosok yang
teduh dan kalem seperti Pak AR. Semua warga Muhammadiyah juga tahu bahwa Pak
AR hidup sederhana, ke mana-mana naik sepeda motor Yamaha butut. Untuk
menambah penghasilan pensiunnya, Pak AR terpaksa berjualan bensin secara
eceran di depan rumah dinas Muhammadiyah di Jl Cik Di Tiro. Saat ini rasanya
sudah tidak ada anggota PP Muhammadiyah yang naik motor butut seperti Pak AR.
Meski
hidup sederhana, dalam hal memimpin Muhammadiyah, Pak AR sangat tegas, tapi
fleksibel. Ketegasan sikap Pak AR itu yang membuat warga Muhammadiyah tidak
pernah galau dan gamang dalam berpolitik. Sebaliknya kondisi saat ini, meski
resminya netral, ada pimpinan Muhammadiyah yang bersikap anti-PAN, tetapi
dalam waktu yang sama ikut membidani berdirinya Baitul Muslimin (Bamus),
sayap Islam PDIP. Dengan demikian, layak seruan netral itu dipertanyakan. Yang
kita harapkan adalah Muhammadiyah menerapkan semacam "politik bebas dan
aktif" mirip politik luar negeri RI.
Dengan
politik Muhammadiyah yang bebas dan aktif, warga persyarikatan akan terbebas
dari kegamangan dan kegalauan sikap. PP Muhammadiyah juga tidak perlu
menghadapi "pemberontakan" dari kalangan muda seperti sikap Pemuda
Muhammadiyah yang mendukung Prabowo-Hatta. Sebab, mereka juga melihat
ketidakadilan sikap dari sebagian pimpinan Muhammadiyah. Oleh karena itu, PP
Muhammadiyah juga tidak perlu reaktif, misalnya, dengan menjatuhkan hukuman
represif kepada PP Pemuda Muhammadiyah. Justru yang harus dipertanyakan
adalah apakah pernyataan dukungan Pemuda Muhammadiyah itu merupakan sikap
resmi organisasi atau sikap pribadi Saleh Daulay yang terpilih sebagai caleg
DPR dari PAN. Jika bukan keputusan resmi hasil sidang pleno PP Pemuda
Muhammadiyah, hal itu hanya layak disebut dukungan perorangan.
Sangat
disayangkan jika warga Muhammadiyah sekarang ini, khususnya di kalangan
pimpinan di semua jajaran, sudah mulai melupakan teladan para sesepuh yang
telah mendahului. Sangat banyak pelajaran yang bisa diambil dari proses
politik di masa lalu. Misalnya bagaimana R Moejadi Djojonegoro diangkat
sebagai menteri sosial zaman Bung Karno tanpa mengusik Muhammadiyah.
Bagaimana kisah KH Ahmad Badawi menahan godaan tawaran Soeharto untuk
menjadikan Muhammadiyah ormaspol setelah geger 1965. Bagaimana pula Buya
Hamka menghadapi geger "fatwa Natal" ataupun KH A.R. Fachruddin
yang menyelesaikan masalah "asas tunggal" untuk Muhammadiyah.
Muhammadiyah yang sudah berusia
satu abad lebih semestinya bisa memberikan pelajaran yang baik bagi
kader-kadernya yang hidup di zaman sekarang. Tidak usah galau dan gamang
dalam memilih dua pasangan capres-cawapres sekarang ini. Pilihlah pasangan
yang akan memberikan kemaslahatan bagi umat, persyarikatan, bangsa, dan
negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar