Karna,
Kresna, Pilpres
Sujiwo Tejo ; Dalang
|
TEMPO.CO,
30 April 2014
Siapa
"Kresna" dalam Pilpres tahun ini? Siapa "Karna"?
Bharatayuda,
yang dimenangi Pandawa, pecah setidaknya atas dua hal. Pertama, Prabu Kresna
sebagai penasihat Pandawa harus mengemban skenario dewata. Perang
Pandawa-Kurawa di Kuru Setra itu, suka atau tidak, harus terjadi seperti
tertulis dalam Jitapsara. Kedua, Adipati Karna, pembelot Pandawa ke pihak
Kurawa, terus-menerus membakar semangat Kurawa agar berani bertempur melawan
Pandawa.
Tapi
misi ilahiah Jitapsara itu disamarkan dalam bahasa manusia agar mudah
dimengerti. Berkatalah Kresna dalam bahasa awam, bahwa Bharatayuda harus
terjadi karena di situlah kancah pelunasan segala kaul. Ibu Puntadewa, Kunti,
dulu bersumpah tak akan menyanggul rambutnya sebelum berkeramas darah
Dursasana. Istrinya, Drupadi, dulu bersumpah tak akan mengenakan kemben
sebelum berstagen kulit Sengkuni.
Tapi,
menjelang pilpres, eh, menjelang Bharatayuda, Puntadewa selaku pemimpin
Pandawa tiba-tiba seolah lupa pada seluruh kaul tersebut. Ia ingin mengalah
dan membatalkan Bharatayuda. Puntadewa tak berminat lagi menagih pengembalian
negeri Astina dan Indraprasta yang dikukuhi Kurawa. Di sinilah Kresna
menandaskan kata-katanya yang tadi.
"Sekilas niatmu terpandang mulia, Dinda
Puntadewa," ujarnya, "namun
sejatinya itu pandangan yang mengecoh. Coba kamu ingat-ingat lakon Pandawa Dadu,
lelakon ketika Pandawa kalah judi oleh Kurawa dan harus kehilangan negeri
kalian. Kala itu Kurawa yang dipelopori Dursasana dan Sengkuni menjambaki
rambut Kunti dan menelanjangi tubuh Drupadi. Masih juga kalian harus menebus
kekalahan taruhan dengan bersembunyi selama 13 tahun. Kini tahun-tahun
pengucilan dan mendiamkan segala peristiwa mutakhir itu sudah tuntas kalian
jalani. Terus? Astina dan Indraprasta akan tetap kalian ikhlaskan pada
Kurawa?"
Demikianlah
salah satu versi yang tumbuh di Nusantara dari babon Mahabharata India. Siapa
"Kresna" dalam pilpres tahun ini? Siapa tokoh yang demi memelihara
harmoni di Nusantara sampai-sampai harus menyederhanakan bahasanya agar mudah
dipahami manusia, yaitu bahasa yang mengungkit dan membarukan kembali luka-luka
lama dari kalangan yang selama ini menahan diri, kalangan yang sesungguhnya
akan lebih baik bila bersedia tampil memimpin?
Dalam
salah satu versi yang juga tumbuh di Nusantara dari babon Mahabharata India,
Karna adalah kesatria yang ingin betul agar kepemimpinan tak lagi berada di
tampuk Kurawa, yang menurutnya korup. Ia mendambakan Pandawa yang gantian
memimpin. Satu-satunya cara mencapai angan-angannya adalah menghancurkan
Kurawa melalui perang dengan Pandawa. Agar mudah diterima oleh awam, alasan politik
Karna adalah bahwa right or wrong is my
country. Ia memang Pandawa, tapi sejak kecil dibuang oleh Kunti, ibu
Pandawa, dan dibesarkan oleh Kurawa.
Lalu,
siapakah "Karna" dalam pemilu tahun ini, tahun ketika semakin
diyakini bakal muncul Sabdo Palon-Noyo
Genggong sebagai perlambang datangnya keadilan? Dalam tahun yang diyakini
bakal kembali muncul spirit abdi batin Majapahit itu, siapakah singa yang
rela dan sengaja mengembikkan dirinya di kandang kambing sehingga kambing
bangkit lalu berani melawan singa lain?
Luka
Kunti dan Drupadi bisa menganga dalam wujud lain di era sekarang. Ia, di
antaranya, bisa tampil dalam wujud dendam tak sudah dari para keturunan
korban ataupun keturunan saksi orang-orang PKI atau terduga PKI yang dulu
dibantai. Luka itu pun bisa tampil bagai bara dalam sekam dari
kelompok-kelompok agama yang dipinggirkan ataupun setidaknya penganut 200-an
lebih "aliran kepercayaan" yang didiskriminasikan dari pemeluk
agama. Belum lagi, luka itu bisa tampil dalam wujud rasa tak diperlakukan adil
dalam distribusi hasil pengelolaan sumber daya alam.
Bila
puisi bisa dijadikan salah satu tolok ukur, cukup mengagetkan bahwa tema-tema
luka kini hingga luka lama itu masih terus berdenyut dalam napas puisi-esai
kita belakangan, walau penulisnya sudah merupakan generasi ketiga dari korban
maupun saksi sejarah.
Dalam konteks itulah kita perlu tahu persis siapa "Kresna"
kini. Kita perlu tahu persis mana tokoh yang mengungkit-ungkit luka lama
sekadar untuk memancing perseteruan dan popularitas murahan dan mana pula
tokoh yang terpaksa harus menggunakan bahasa yang mudah menyentuh emosi
khalayak namun demi tujuan yang agung.
Ciri
tokoh terakhir itu tahu persis aib Karna tapi tidak membeberkannya kepada
siapa pun. Ia tahu persis bahwa sesungguhnya, sesaat menjelang Bharatayuda,
pusaka andalan Karna, yakni Anting-anting
Sesotya Maniking Toya dan Kotang
Kawaca Kusuma, sudah diambil kembali oleh para dewa melalui utusannya,
Dewa Indra, yang menyamar sebagai Pengemis
Agung dari Asia.
Blakblakan
Karna mengakui itu kepada Kresna. Ia yakin Kresna tak bakal menceritakannya kepada
Duryudana, sehingga Duryudana miris kepada Pandawa lalu membatalkan
Bharatayuda. Bahkan Karna yakin Kresna tak akan membabarkan itu kepada
Pandawa sehingga Pandawa telah merasa unggul sebelum Pilpres, eh, sebelum
pertempuran Kuru Setra. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar