Kampung!
Heri
Priyatmoko ; Alumnus Pascasarjana Sejarah FIB UGM
|
TEMPO.CO,
20 Mei 2014
Tanpa
terasa dua windu telah lewat. Peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang dibarengi
aksi kekerasan meninggalkan kenangan mendalam, barangkali kekal bagi mereka
yang menjadi korban.
Kala
itu, kota dan banyak pertokoan besar terbakar. Tapi, eloknya, ruang kampung
utuh. Tiada yang berani menyentuhnya, apalagi membakar. Kampung malah
menjelma menjadi tempat berlindung yang aman bagi korban (rata-rata sahabat
Tionghoa) dari amukan massa yang kalap dan kelompok penjarah yang tak lagi
punya hati nurani.
Kampung
dan kota merupakan dua entitas yang sulit diceraikan lantaran punya relasi
yang bersifat komplementer. Kota terdiri atas banyak kampung. Secara
teoretis, kampung semula merupakan kumpulan rumah, sebagai kesatuan unit
administrasi yang meliputi suatu area yang terdiri atas permukiman inti dan
beberapa permukiman yang lebih kecil. Adapun istilah kampung pada zaman
kolonial menunjukkan suatu wilayah hunian yang sering kali kumuh dan
mengepung kota-kota besar, yang tumbuh hampir tidak terkontrol, serta sering
dianggap tak sesuai dengan perencanaan kota, atau tak terencana (Amos
Setiadi, 2010). Warisan pemikiran kolonial itu mengakar, dan tampaknya
mengakibatkan keberadaan kampung acap diremehkan oleh pemerintah kota, baik
segi penataan ruang maupun pemberdayaan komunitas.
Bila
berkaca dari realitas sejarah kelam kerusuhan Mei 1998 ini, sebenarnya kita
disadarkan bahwa kota adalah ruang yang rapuh. Miskin paseduluran (kerukunan)
di sana, dan seolah warga tak merasa handarbeni (memiliki) akan kota. Berbeda
dengan kampung, kendati perkembangannya dipengaruhi kota bertolak dari dampak
globalisasi, lingkungan sosial kampung tetap mampu mewadahi kerukunan warga
yang terikat dalam hubungan kekerabatan ataupun aneka kegiatan sosial semacam
arisan, kerja bakti, dan ronda.
Selain
memiliki kesatuan administrasi yang lebih kecil (rukun tetangga dan rukun
warga), kampung yang relatif bersifat tradisional ini masih mengamalkan
ungkapan lokal. Misalnya, warga percaya "pager
mangkok luwih kuat tinimbang pager tembok". Terjemahan bebasnya,
dengan gemar memberi makanan kepada tetangga, mereka akan ikut menjaga harta
dan keamanan rumah kita. Dengan demikian, kampung bisa mempertahankan pola
kehidupan sosial dalam bentuk yang lebih fleksibel, atas dasar kerukunan dan
saling menghargai. Kenyataan inilah yang turut menjadi alasan mengapa kampung
tak tersentuh kerusuhan.
Mulut
gang kampung dijaga ketat. Orang lain yang bukan komunitasnya sulit masuk
jika tak sanggup memberi alasan jelas dan menunjukkan kartu identitasnya.
Tiba-tiba rasa tepa selira (toleransi) yang biasa ditemukan di jalan kampung
menguap. Seketika yang muncul ialah rasa waswas ketimbang tepa selira. Jalan
kampung, yang sehari-hari bersifat publik dan menjadi ruang ampuh untuk
mempersatukan warga serta memelihara kerekatan sosial di kampung, berubah
menjadi privat bagi pengunjung. Dalihnya adalah demi menjaga keamanan
kampung, karena kota dinilai sudah tidak lagi aman.
Dari
kilas balik ini, kita paham bahwa kampung bukan sekadar tempat bermukim dan
bersosialisasi. Pada saat genting, kampung merupakan benteng keamanan
terakhir masyarakat yang sebelumnya diikat oleh rasa solidaritas dan
kerukunan yang dipupuk dalam kehidupan sehari-hari. Kota bukanlah
segala-galanya, bukan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar