Jejak
Soeharto di Kancah Politik
Endang
Suryadinata ; Salah satu
penulis dalam buku Warisan Daripada Soeharto (2008)
|
JAWA
POS, 21 Mei 2014
HARI -
HARI ini, di saat hidup susah, sebagian orang jadi merindukan Pak Harto. Di
berbagai kota seperti Jogjakarta dan media sosial, kerap muncul poster Pak
Harto dengan tulisan Masih enak zamanku
to.
Memang,
Pak Harto selalu kontroversial, sebagaimana tokoh besar dalam sejarah. Tanpa
kontroversi yang membelah publik, kebesaran seorang tokoh patut
dipertanyakan.
Kita
masih ingat, pada 21 Mei 1998, pukul 09.00, di credentials room Istana
Merdeka, Jakarta, Soeharto menyatakan: "Saya memutuskan berhenti dari
jabatan saya sebagai presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini
pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998". Lengsernya Soeharto mengakhiri
kekuasaannya yang diraih pada awalnya lewat Supersemar 1966.
Kalau
menyimak 32 tahun pemerintahan Soeharto, sisi positifnya sama besar dengan
sisi negatifnya. Sisi positif bisa dilihat pada stabilitas politik dan
pembangunan ekonomi. Ada program terencana lewat Repelita tiap lima tahun
sekali. Sektor pertanian, khususnya swasembada beras, sampai diapresiasi oleh
dunia, yakni oleh FAO atau Badan Pangan Dunia pada 1984 di Roma. Pertumbuhan
penduduk juga bisa dikendalikan lewat program KB yang keberhasilannya juga
diakui dunia.
Harus
diakui ada pendapat di kalangan rakyat bahwa Soeharto telah berjasa membangun
perekonomian dan stabilitas di negeri ini. Robert Edward Elson, profesor di Griffith University dan penulis buku
Soeharto, Political Biography
(2001), mengungkapkan bahwa Soeharto telah membangun Indonesia yang sama
sekali baru. Tidak heran, dia pernah digelari sebagai Bapak Pembangunan
Indonesia. Setelah 21 Mei 1998 dia lengser, kadang muncul kerinduan sebagian
rakyat pada sosoknya yang penuh senyum. Bahkan, pasca wafatnya pada 27
Januari 2008, Astana Giri Bangun
tidak pernah sepi oleh peziarah yang mengidolakannya.
Sisi Negatif
Meski
demikian, juga ada sisi negatif yang jumlahnya tidak sedikit. Menurut Adnan
Buyung Nasution yang pernah menyingkir di Belanda pada dasawarsa 80-an,
Soeharto harus dicatat sebagai presiden yang bertanggung jawab terhadap hancurnya
cita-cita negara hukum yang demokratis dengan segala sikap, ucapan, dan
tindakan-tindakannya selama berkuasa. Dia bukan hanya sewenang-wenang (abuse of power), melanggar hukum dan
konstitusi, tapi secara perlahan-lahan namun pasti selama 30 tahun berkuasa
telah merusak dan menjungkirbalikkan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan
yang etis dan bermoral. Soalnya, dia telah membiarkan dan bahkan membenarkan
korupsi terus merajalela di segala tingkatan dan lapisan.
Pada
eranya, politik hanya berorientasi pada kekuasaan dan cara mempertahankan
kekuasaan lewat berbagai cara, termasuk melanggar HAM. Lamanya Soeharto
berkuasa menunjukkan bahwa dia seorang diktator yang tidak rela berbagi
kekuasaan. Memang, ada pemilu tiap lima tahun sekali, tapi itu bukan pemilu
demokratis karena pemenangnya sudah bisa diketahui.
Bagaimana
kondisi perpolitikan nasional pasca-Soeharto? Meski sudah wafat 27 Januari
2008, pengaruh Soeharto tidak otomatis hilang. Simak, dua jendral mantan
ajudan pribadi Soeharto, yakni Prabowo dan Wiranto, kini saling bersaing.
Yang satu, Prabowo maju sebagai capres. Yang lain (Wiranto) berada di kubu
capres Jokowi. Partai Golkar, dalam pileg 9 April lalu, juga kerap menjual
nama Soeharto dan menjelang pilpres, Golkar mendukung Prabowo. Titik Soeharto,
mantan istri Prabowo, pun lolos sebagai anggota DPR.
Yang
mencemaskan bukan pengaruh positif Soeharto yang menonjol di kancah
perpolitikan kita saat ini. Sebaliknya, justru pengaruh negatifnya yang bisa
kita saksikan dari sepak terjang para elite politik. Buktinya, simak saja
para mantan menteri, gubernur, anggota DPR, bupati, wali kota dan pengelola
negara yang kini menghuni penjara karena KKN. Mereka jelas sudah
menyalahgunakan kekuasaan dan merugikan rakyat banyak.
Dengan
demikian, rakyat hingga kini masih menjadi figuran dalam politik guna
mendongkrak suara penguasa ke kursi kekuasaan. Setelah kursi diraih, suara
rakyat tidak digubris. Persetan wong cilik korban busung lapar atau gizi
buruk. Persetan upah rendah buruh. Kemiskinan malah jadi jualan politik demi
kekuasaan, termasuk menjelang pilpres 2014.
Tak
heran, wong cilik terus menjerit karena mahalnya harga sembako, minyak tanah,
atau listrik. Hidup makin berat bagi "wong
cilik" sehingga sebagian memilih bunuh diri karena beratnya beban
hidup.
Itulah
buah dari pengaruh Soeharto yang secara sadar atau tidak masih dipraktikkan
oleh para penguasa saat ini. Tak heran, Syafi'i Ma'arif sampai melontarkan
kritik pedas bahwa pengkhianat paling berdosa besar adalah para pemimpin
formal yang haus kekuasaan daripada menyejahterakan rakyat.
Kita
layak prihatin, menjelang pilpres 2014, terlihat bahwa fokus utama
perpolitikan nasional masih kekuasaan, posisi, atau jabatan. Politik dagang
sapi atau demi kursi menteri, demi jabatan, demi ego, baik ego partai atau
kelompok sendiri, masih tampak menonjol. Jadi, ternyata pola-pola lama yang
dipakai Soeharto masih tampak kental dalam perpolitikan kita saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar