Jalan
Menuju Perubahan
Makmur
Keliat ; Pengajar FISIP Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
31 Mei 2014
MASIH
adakah jalan menuju perubahan? Perubahan untuk apa? Perubahan untuk siapa?
Dan, tak kalah pentingnya pula, bagaimanakah kita akan melakukannya?
Perubahan,
karena itu, memuat pedoman nilai dan keharusan untuk keberpihakan. Dalam
pemahaman seperti ini, proses politik pemilu presiden kerap disebut menjadi
momen menentukan untuk menjawab pertanyaan besar terkait jalan menuju
perubahan itu. Melalui pemilu, semua partai, gabungan koalisi partai, dan
setiap calon presiden dan wakil presiden tengah berusaha keras meyakinkan dan
menjanjikan kepada publik adanya perubahan di masa depan.
Kerja politik untuk perubahan
Namun,
dalam banyak kasus di negeri berkembang, jalan perubahan melalui kerja
politik demokratik tidak semudah membalik tangan. Kehadiran figur besar dan
niat baik juga sepertinya tidaklah cukup. Lihat misalnya kasus Afrika
Selatan. Negeri ini melahirkan Nelson Mandela. Namun, kemerdekaan pada 1994
dan penghapusan apartheid serta proses pemilu demokratik yang kemudian
terbentang tidak lalu serta-merta menghilangkan berbagai masalah sosial dan
kemiskinan.
Hal
mirip terjadi di India, negeri tempat kelahiran Mahatma Gandhi. Siapakah yang
dapat membantah keagungan integritas pribadi Gandhi sebagai pemberi inspirasi
bagi bangsa India? Ia pemimpin besar dan immortal, bukan hanya bagi India.
Nilai-nilai pengorbanan dan integritas moralnya telah memberi pengaruh besar
melintasi batas geografis India. Namun, berbagai masalah sosial dan ekonomi
yang serius hingga kini masih membelit negeri berpenduduk 1,2 miliar ini.
Kini
Indonesia juga tengah melakukan kerja politik untuk perubahan itu. Tebaran
janji dilakukan beberapa bulan terakhir. Janji untuk melakukan perubahan
pasti semakin intensif dalam beberapa bulan ke depan. Melalui liputan media,
kita seperti melihat lahirnya ”figur-figur” besar dalam diri sosok capres dan
cawapres dalam pentas politik kita. Tentu saja dengan janji dan komitmen
melakukan perubahan. Suka atau tidak suka, konstruksi yang tengah dibangun
sangat nyata. Setiap pasangan capres/cawapres adalah sama dengan jalan
perubahan itu sendiri.
Tentu
saja tak ada yang salah dengan keseluruhan proses ini. Penyelenggaraan pemilu
di mana pun pasti menjadi arena kompetisi gagasan untuk melakukan perubahan.
Kampanye hanya akan jadi masalah jika gagasan perubahan itu tidak memijak
bumi dan tidak menyentuh substansi pemutusan dengan hal-hal buruk dan negatif
dari masa pemerintahan sebelumnya. Dalam konteks Indonesia, jalan menuju
perubahan ini kemungkinan akan menjadi jalan berbatu dan tak berujung ketika
dihadapkan dengan tiga isu strategis. Ketiga isu ini kesemuanya lahir dari
kebutuhan untuk penguatan negara.
Tiga isu perubahan
Pertama,
terkait isu penegakan hukum. Negara adalah kumpulan aturan hukum. Negara
disebut lemah jika kumpulan aturan hukum hanya dipahami sekadar dokumen
belaka. Negara juga disebut tak berdaya jika aturan hukum tunduk pada
mekanisme jual-beli transaksional. Dalam sistem presidensial, peran kepala
negara seharusnya sangat vital dalam penegakan hukum. Secara konstitusional,
jabatan presiden dalam sistem presidensial harus dikonstruksi dalam gagasan sebagai
penegak hukum utama (chief law enforcer).
Presiden sebagai penegak hukum utama itu tersirat dari adanya wewenang
memberikan rehabilitasi, grasi, amnesti, dan abolisi. Wewenang seperti ini
adalah operasionalisasi dari otoritas dirinya sebagai penegak hukum utama
itu. Ringkasnya presiden bukan sekadar kepala pemerintahan, melainkan
sekaligus kepala negara.
Karena
itu, tidak benar sepenuhnya jika seorang presiden tak diizinkan melakukan
intervensi dalam proses penegakan hukum. Dalam makna yang sangat substansial,
presiden sebagai penegak hukum utama tak boleh ragu-ragu menjalankan
perannya. Jika memang dibutuhkan, ia harus dapat mendorong negara menjadi
aktif, terutama dengan menggerakkan institusi Kejaksaan Agung, Polri, dan
Komisi Pemberantasan Korupsi. Dilihat dari sudut pandang ini, penilaian
terhadap prestasi dan pengalaman setiap capres dan cawapres dalam penegakan
hukum tentu saja akan sangat membantu dalam merekonstitusikan peran kepala
negara sebagai penegak hukum utama itu di masa depan. Ringkasnya agenda
penegakan hukum pada dasarnya agenda penguatan kedaulatan negara di sisi
domestik.
Kedua,
terkait kebutuhan membangun budaya politik. Asumsinya, penguatan negara sukar
dilakukan jika masih mengandalkan budaya politik lama. Dua karakter utama
budaya politik lama adalah terkait proses bangunan karier politik dan mata
rantai kekuatan modal dari setiap pasangan capres/cawapres dalam pemilu.
Indikatornya misalnya apakah sosok capres/cawapres menyandarkan basis
dukungan politik atas dari garis keluarga di partai. Apakah pasangan
capres/cawapres telah membangun karier politiknya dari tataran lokal hingga
tataran nasional? Apakah pasangan capres dan cawapres itu akan menjadi
tawanan kalangan pemodal untuk mendanai kampanye pemilunya?
Pertanyaan-pertanyaan
seperti ini penting untuk dijawab. Tujuannya menciptakan harapan bahwa masih
ada jalan luas keluar dari apa yang
disebut ”hukum besi oligarki” di institusi kepartaian Indonesia. Proses
demokrasi yang telah berlangsung lebih dari 15 tahun seharusnya masih
memberikan ruang bagi proses seleksi dan sirkulasi elite yang egaliter.
Idealnya pasangan capres/cawapres dapat jadi ”bukti hidup” untuk membantah
pandangan sebagian pengamat politik yang menyatakan demokrasi kita hanya
memberikan manfaat bagi oligarki elite di tingkat partai dan pemodal besar di
kalangan bisnis.
Ketiga,
terkait isu pemerataan dan kesejahteraan. Tak ada yang meragukan ekonomi
Indonesia masih akan tumbuh di tahun-tahun mendatang. ADB memproyeksikan
pertumbuhan tahun ini masih akan mencapai 6 persen. Bank Dunia dan IMF
memproyeksikan angka 5,3 persen.
Namun,
di tengah-tengah optimisme pertumbuhan itu terdapat fakta menyedihkan yang
harus dijawab tiap capres/cawapres. Misalnya, rasio gini yang terus meningkat
10 tahun terakhir, melewati angka 0,4, sehingga sangat rawan memicu konflik
sosial. Pada saat yang sama, kapasitas dan struktur anggaran negara sangat
terbatas untuk mengatasi melebarnya ketimpangan itu. Struktur anggaran
tersedot untuk subsidi energi yang pada 2014 diperkirakan mencapai lebih dari
Rp 328,7 triliun. Ini berarti hampir 25 persen dari total APBN Rp 1.849,8
triliun.
Asumsi
harga minyak yang ditetapkan dalam APBN 2014 adalah 105 dollar AS per barrel.
Mengingat penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar dan kesulitan besar
Indonesia meningkatkan produksi minyak dalam jangka pendek, subsidi energi
kemungkinan jauh lebih besar dihitung dalam rupiah. Hitungan Menkeu sendiri
menyebutkan setiap pelemahan seribu rupiah per dollar akan mengakibatkan
subsidi BBM naik Rp 20 triliun.
Kebijakan
penghapusan subsidi energi mungkin dapat jadi solusi untuk konsolidasi
fiskal. Tetapi, liberalisasi harga satuan energi pasti akan meningkatkan
inflasi dan membawa dampak berat bagi masyarakat bawah. Memperkuat rasio
pajak terhadap PDB juga tidak mudah untuk mengatasi keterbatasan kemampuan
APBN ini. Sepuluh tahun terakhir rasio itu tak pernah melebihi angka 12
persen. Keseluruhan isu strategis ini harus diperhatikan dan dikawal para
pemilih. Tujuannya sederhana: untuk membuat ”jalan perubahan” tak menjadi ”perubahan
jalan” setelah pemilu berakhir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar