Isra
Mi’raj dan Trias Koruptika
Achmad Fauzi ;
Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara
|
REPUBLIKA,
30 Mei 2014
Bangsa Indonesia harus mampu
menerjemahkan spirit filosofis Isra Mi'raj dalam kehidupan bernegara. Isra Mi'raj
bukan saja merekam perjalanan penting Nabi Muhammad dari Masjid al-Haram ke
Masjid al-Aqsha yang dilanjutkan ke Sidrat al-Muntaha untuk menghadap Allah.
Isra Mi'raj adalah simbol meleburnya sifat Tuhan dalam kesejatian manusia
sebagai pengemban amanah di muka bumi.
Sudah terlalu lama negeri ini
digempur para koruptor dari banyak sisi. Elite politik lantang mengutuk
korupsi dan bahkan ada yang menjadi duta antikorupsi, namun semua itu
hanyalah topeng kepalsuan. Persoalannya menyangkut amanah yang diberikan
rakyat. Apabila kepercayaan tersebut tidak dijaga, sulit bagi mereka untuk
mendapatkan kembali legitimasi dari rakyat.
Tahun kesedihan Tempus laku
spiritual Isra Mi'raj terjadi pada tahun kesedihan (`amm al-huzn) Nabi Muhammad. Abu Thalib sebagai sosok yang
mendukung penuh tugas kenabian Muhammad meninggal dunia. Kemudian, tak lama
berselang disusul meninggalnya Khadijah binti Khuwailid, istri tercintanya.
Jalan dakwah Muhammad dipastikan terjal karena kehilangan orang terdekatnya.
Jumlah pengikut yang terbatas dan inisiatif hijrah ke Thaif yang menuai
penolakan dari penduduk setempat semakin melengkapi kesedihan itu.
Setali tiga uang, beberapa tahun
belakangan ini kondisi Indonesia menyerupai pemakaman. Masyarakat diliputi kesedihan
karena pemimpin di pusat maupun daerah yang diberikan kepercayaan mengemban
amanah mengelola negara mengalami kematian nurani. Menurut data dari
Kementerian Dalam Negeri sepanjang Oktober 2004 hingga Juli 2012 ada ribuan
pejabat daerah mulai dari gubernur, wali kota, bupati, hingga anggota dewan
perwakilan daerah yang terlibat kasus korupsi.
Di ranah eksekutif sudah banyak
pejabat yang terseret kasus korupsi dan mendekam di penjara. Kementerian Dalam
Negeri mencatat jika dihitung hingga bawahan kepala daerah, pejabat daerah
yang terlibat korupsi bisa mencapai 1.500-an. Belum lagi megaskandal yang
melibatkan pejabat eksekutif di pusat.
Kasus teranyar yang mengguncang
kesadaran kita adalah ditetapkannya Suryadharma Ali sebagai tersangka dalam
kasus penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama tahun 2012-2013. Publik
tak habis pikir, ranah agama yang notabene dianggap sakral tak luput dari
incaran koruptor. Bahkan, saking rakusnya urusan pengadaan Alquran juga dikorupsi.
Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Di ranah legislatif kematian
nurani tak kalah mengerikan. Wakil rakyat mengkhianati amanat rakyat dengan
merampok uang negara. Kementerian Dalam Negeri mencatat anggo ta Dewan Perwakilan
Rakyat Dae rah (DPRD) yang terlibat korupsi di tingkat provinsi setidaknya
berjumlah 431 orang. Sedangkan di tingkat kabupaten dan kota, ada 2.553 orang
yang terlibat kasus korupsi. Ironisnya, praktik korupsi acap diikuti dengan
upaya pelemahan KPK. Beberapa indikator yang mengemuka, antara lain,
pembentukan opini publik untuk tidak percaya dan membubarkan KPK, wacana
pemaafan koruptor, serta rencana merevisi KUHAP yang memperketat aturan
kewenangan penyadapan oleh KPK.
Kolaborasi korupsi semakin
sempurna ketika lembaga yudikatif turut serta meramaikan pesta pora koruptor.
Tertangkapnya beberapa hakim dalam kasus suap jual beli perkara menyuguhkan
orkestra trias koruptika di negeri ini.
Pengadilan Tipikor yang menjadi tumpuan
terakhir pemberantasan korupsi di satu sisi menunjukkan peta perubahan menggembirakan.
Namun, pada sisi lain sejumlah persoalan seperti hakim ad hoc Tipikor yang masih membuka praktik advokat, bertemu pihak
beperkara, terindikasi korupsi atas beberapa vonis mencurigakan, pembentukan
komposisi majelis favorit (diisi hakim miskin integritas) dan tidak favorit
(terdiri dari ha kim dengan rekam jejak baik) dalam penanganan korupsi
sebagaimana hasil kajian ICW (2012) hingga kini belum tuntas.
Pembangunan karakter Visi Isra
Mi'raj secara sosial untuk membangun karakter. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Muslim bahwa sebelum Isra, Malaikat Jibril membelah dada Nabi Muhammad,
menyucikan dengan air zam-zam kemudian memasukkan iman dan hikmah ke dalam
hatinya. Penyucian batin itu relevan dengan hadis Nabi bahwa sesungguhnya
dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Apabila ia baik maka baik pula
seluruh anggota tubuh. Apabila ia buruk maka buruk pulalah tubuh manusia.
Segumpal daging itu adalah hati.
Di sinilah nilai penting dari perjalanan agung Isra Mi'raj yang di dalamnya
mencakup nilai-nilai pendidikan karakter dan pembelajaran jiwa bagi diri
Muhammad.
Penyucian batin seharusnya juga
dilakukan para pemimpin kita sebelum mengemban tugas dan tanggung jawab. Sehingga,
mereka terbebas dari belenggu syahwat korupsi. Pakta integritas yang di
tandatangani harus dipatuhi dan apabila dilanggar maka harus bersedia meletakkan
jabatan tanpa menunggu desakan dari masyarakat.
Kesucian jiwa yang telah menjadi
karakter menuntun manusia mawas diri dari sifat rakus, tidak jujur, dan menghalalkan
segala cara. Sudah menjadi naluri jika manusia punya satu ceruk emas ingin
menguasai gunung dan seterusnya.
Naluri itu tumbuh tatkala
kontrol pengawasan orang terdekat longgar dan sistem memberikan peluang
terjadinya korupsi. Memberantas korupsi tidak sekadar melalui mekanisme
penegakan aturan hukum. Dibutuhkan kepatuhan moral dalam keluarga sebagai
strategi pencegahan. Korupsi berkelindan dengan kualitas amanah dalam
mengemban jabatan. Semakin orang merasa tak malu melakukan penyalahgunaan
wewenang (abuse of power), semakin
tinggi tuntutan kualitas pelaksanaan ajaran moral dalam keluarga.
Nilai-nilai pendidikan karakter dalam
keluarga bisa dijadikan tameng dalam membendung hasrat koruptif. Setiap keluarga
dapat melakukan detoksifikasi racun korupsi dalam lingkup kecil terlebih dahulu
sebelum menjadi kesadaran sosial yang masif. Detoksifikasi berarti keberdayaan
entitas keluarga untuk membunuh sifat-sifat rakus, tidak jujur, pamrih,
dorongan memperkaya diri, serta matinya rasa malu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar