Selasa, 20 Mei 2014

Ikhtiar yang Indah

Ikhtiar yang Indah

M Lukman Hakim ;   Pendidik di Malang, Mahasiswa S-3 di IIS Unair
JAWA POS,  20 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
JUDUL tulisan ini diilhami nama lain Budi Utomo (BU) yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan ''Het Schoone Striven'' yang berarti Ikhtiar yang Indah. Menurut para perintis, konotasi itu lebih mendekati arti sebenarnya, yang dalam bahasa Jawa bermakna ''cendekiawan, watak, atau kebudayaan yang mulia''. Ya, begitulah BU. Sebagai organisasi modern pertama, keberadaannya menjadi simbol sebuah perjuangan, kesadaran, serta kebangkitan nasional. Karena itu, setiap 20 Mei, kali pertama organisasi tersebut dideklarasikan pada 1908, Indonesia memperingatinya sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Namun, benarkah kebangkitan nasional bermula dari berdirinya BU? Atau, jangan-jangan ada proses kultural panjang yang mendahului dan luput dari pengamatan publik sehingga generasi penerus bangsa ini gagap dalam meneladaninya?

Proses Kultural

Sejak didirikan pada 1908, BU memang dimaksudkan sebagai organisasi pelajar bagi kalangan priayi rendahan di Pulau Jawa. Jauh sebelum Clifford Geertz (1926-2006) mengenalkan struktur masyarakat Jawa (santri, abangan, dan priayi) dalam The Religion of Java, stratifikasi sosial saat itu memang telah mengkristal dalam tiga bentuk kelas sosial tersebut. Sebagaimana lazimnya pertentangan kelas, para elite di masing-masing kelas selalu mendominasi.

Karena itu, Dr Wahidin Soedirohoesodo (1857-1917), sang inisiator BU, memulainya dari apa yang dikenal publik dengan ''priayi rendahan''. Sekalipun bermula dari Jawa, menggunakan nama dengan bahasa Jawa, dalam perkembangannya, anggota organisasi tersebut meluas hingga ke Madura dan Sunda. Bahkan, Sunda-lah yang menjadi pendukung inti organisasi itu dengan berkecambahnya kantor cabang BU di Bandung.

Pada tahun pertama, organisasi tersebut beranggota 10 ribu orang. Karena itu, para priayi atas yang terdiri atas para bupati dan pejabat-pejabat tinggi kadipaten merasa terancam. Mereka takut pengaruhnya di mata Hindia Belanda digantikan kalangan priayi rendahan.

Antusiasme Gubernur Jenderal Van Heutsz yang ditunjukkan dengan menerima BU secara sah pada Desember 1908 membuat para bupati semakin ketir-ketir (pada 1913 mereka membentuk Serikat Para Bupati ''Regentenbond''). Meski, antusiasme itu sesungguhnya merupakan refleksi sebuah kepuasan atas klaim bahwa berdirinya BU adalah bukti keberhasilan ''Politik Etis'' Hindia Belanda.

Sejak dibentuk, BU merupakan organisasi pelajar yang konsisten. Misi utamanya adalah mencerdaskan rakyat, bukan sebagai organisasi politik. Percobaan untuk membawa BU ke arah politik pernah dilakukan pada Kongres I di Jogjakarta pada Oktober 1908 oleh Dr Tjipto Mangunkusumo (1885-1943), seorang dokter yang radikal (belakangan dia bergabung dengan Indische Partij). Dia menginginkan BU menjadi partai politik yang membebaskan seluruh rakyat, tidak terbatas Jawa dan Madura saja.

Usaha lain dilakukan Dr Radjiman Wediodiningrat (1879-1951), seorang dokter Jawa yang dipengaruhi dialektika Hegel, subjektivisme Kant, dan antirasionalisme Bergson. Tetapi, Tjipto maupun Radjiman tidak berhasil memperoleh kemenangan. Kongres tetap mengamanatkan jalan pendidikan bagi BU.

Dalam perkembangannya, organisasi itu mandek, terutama disebabkan sulitnya pendanaan dan kaderisasi pemimpin yang dinamis, sebelum akhirnya dibubarkan pada 1935.

Sebagai sebuah organisasi modern, BU menjadi inspirasi bagi bersemainya benih-benih organisasi agama serta ke­masyarakatan. Setidaknya, pasca-1908, tercatat sejumlah organisasi berdiri. Mulai Muhammadiyah, Indische Partij, Serikat Islam, dan Serikat Dagang Islam. Namun, bagi sebuah kebangkitan nasional, proses kulturalnya telah berlangsung jauh sebelum 1908.

Gagasan kebangkitan nasional melalui pendidikan ini kali pertama didorong Jurnal Bintang Hindia yang diterbitkan pertama di Belanda pada 1902. Jurnal tersebut dipimpin orang Minangkabau, sarjana keluaran dokter Jawa, yang bernama Abdul Rivai. Jurnal tersebut pada tahun-tahun berikutnya diedarkan di Indonesia dan sebelum akhirnya penerbitannya berhenti pada 1906.

Alasan-alasan lain yang mendorong kepeloporan kum terdidik Jawa dan Minangkabau adalah tingkat kekacauan dan perubahan di Jawa yang begitu masif. Juga, pembaruan Islam besar-besaran di Minangkabau oleh kaum padri telah mendorong rakyat Minang untuk berinteraksi dengan dunia internasional.

Ketika raja-raja Bali dan kaum ulama Aceh masih berjuang untuk mempertahankan tatanan yang lama (kerajaan/kasultanan) dari upaya menaklukkan penjajah, orang-orang Minangkabau dan rakyat Jawa telah meletakkan dasar-dasar bagi tatanan baru.

Perkembangan-perkembangan selanjutnya pada masa itu adalah munculnya ide-ide baru mengenai organisasi dan dikenalnya definisi-definisi baru tentang identitas yang meliputi analisis yang lebih dalam mengenai agama, sosial, politik, dan ekonomi.

Usaha kultural tersebut mencapai puncak pada 1927 dengan lahirnya jenis kepemimpinan yang baru dan satu kesadaran diri yang baru, tetapi harus dibayar dengan harga mahal: Para pemimpin baru terlibat dalam pertentangan yang sengit satu sama lain.

Upaya penyelamatan sebenarnya telah dilakukan anak-anak muda yang mengadakan kongres di Jogjakarta dan mengikrarkan tiga sumpah pada 1928. Namun, hal itu juga tidak bisa berbuat banyak. Pasca kemerdekaan, pertikaian antarparpol dan golongan justru semakin runcing, bahkan berujung pembubaran sejumlah parpol dan ormas.

Karena itu, pada Hari Kebangkitan Nasional yang jatuh bersamaan dengan hari terakhir pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu 2014 ini, marilah kita sama-sama merenung dan berdoa semoga istilah ''kerja sama - bukan koalisi-'' yang dikenalkan salah satu calon presiden, konvensi yang digelar salah satu parpol, atau semangat anti imprialisme yang digaungkan calon ini dan calon itu benar-benar bisa melahirkan sebuah budaya politik yang semakin dewasa serta membangkitkan semangat perjuangan ''yang sungguh-sungguh'' bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar