Gamelan
dan Harmoni
Bandung
Mawardi ; Penulis
|
TEMPO.CO,
21 Mei 2014
Kita
terus mengingat episode sejarah pengharapan bagi bumiputra untuk mengubah
nasib melalui organisasi bernama Boedi Oetomo, 20 Mei 1908. Pembentukan
organisasi modern membuktikan kaum elite terpelajar melek situasi zaman.
Mereka berkeinginan mengalami "kemadjoean" berbekal pendidikan
modern bersesuaian latar adab-kultural dan angan-kebangsaan.
Hari
bersejarah tentu memiliki tokoh dan tema. Kita pun ingat Wahidin
Soedirohoesodo, penganjur pembentukan Boedi Oetomo. Akira Nagazumi (1989)
menganggap Wahidin Soedirohoesodo adalah tokoh berpekerti halus, pribadi
dengan anutan tradisi Jawa tapi berpendidikan modern. Penggambaran sifat
digenapi tata laku keseharian sebagai
representasi tokoh beridentitas jamak: tradisionalis dan modern. Wahidin
Soedirohoesodo sering tampil berdaster dan berjas dari kain tenun buatan
pribumi, berjalan tanpa alas kaki. Beliau adalah pemain gamelan dan dalang.
Kemampuan
seni menimbulkan gagasan harmoni. Wahidin Soedirohoesodo tampil dengan sikap
"mendua", memiliki ketaatan atas tradisi Jawa dan lihai
mengafirmasi kebijakan politik kolonial. Perbedaan atau pertentangan
diusahakan tak menimbulkan konflik dan kekacauan. Harmoni mengandung misi
pembentukan mentalitas kaum bumiputra berorientasi tradisionalitas dan
modernitas. Gagasan harmoni dijadikan pijakan propaganda bagi kaum terpelajar
di STOVIA. Pendirian Boedi Oetomo berarti perwujudan ikhtiar harmoni.
Soetomo
"mewarisi" gagasan Wahidin Soedirohoesodo dalam mengurusi Boedi
Oetomo. Harmoni dijelaskan melalui tulisan kecil berjudul "Gamelan dan
Kewajiban", dimuat di buku berjudul Puspa Rinontje. Agenda gerakan
kebangsaan ibarat keharmonisan para seniman dalam menabuh gamelan. Soetomo
mengingatkan: "Jika setiap penabuh berdisiplin dan bekerja sama, tentu
menghasilkan pekerjaan serba harmonis dan dapat memperdengarkan lagu gamelan
dengan merdu, menggembirakan semua orang." Peringatan ini diarahkan ke
kaum pergerakan di pelbagai organisasi dan partai politik.
Sekarang,
kita mengartikan "gamelan" dan "harmoni" berlatar
kesibukan para tokoh politik membentuk persekutuan untuk meraih kekuasaan.
Mereka sedang bermain politik tanpa bermaksud menggarap harmoni agar gamelan
politik bersuara merdu bagi publik. Urusan politik tak memerlukan keinsafan
dan mawas diri. Perhitungan laba ditentukan jumlah suara, popularitas, modal.
Mereka tak bisa memainkan gamelan demi pemenuhan harapan-harapan publik.
Berpolitik pun mengumbar muslihat berdalih harmoni. Mereka membuat pengakuan
memiliki kesamaan visi dan misi dalam berkoalisi. Ah, harmoni ditampilkan
secara picik.
Gerakan
perubahan memerlukan "pekerti halus". Wahidin Soedirohoesodo dan
Soetomo telah mengawali agenda-agenda perubahan berpijak adab dan ilmu. Tata
krama, tata bahasa, dan tata pikiran diperlukan untuk mengajak publik
mengubah nasib tanpa berhitung laba: kekuasaan atau jabatan. Penggunaan
bahasa dan simbol bereferensi ke alam pikir populis. Perubahan dengan tamsil
gamelan dan harmoni memang mengesankan ikhtiar tak revolusioner.
Kita
mengingat tokoh dan tema dari masa silam untuk memberi peringatan. Ambisi
pembentukan koalisi dan pemunculan tokoh sebagai capres-cawapres tampak abai
pekerti halus dalam berpolitik. Harmoni tak muncul. Permainan "gamelan
politik" justru menimbulkan suara-suara mblero alias sumbang. Indonesia
menjadi negeri berisik tak harmonis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar