Kamis, 22 Mei 2014

Gamelan dan Harmoni

Gamelan dan Harmoni

Bandung Mawardi ;  Penulis
TEMPO.CO,  21 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Kita terus mengingat episode sejarah pengharapan bagi bumiputra untuk mengubah nasib melalui organisasi bernama Boedi Oetomo, 20 Mei 1908. Pembentukan organisasi modern membuktikan kaum elite terpelajar melek situasi zaman. Mereka berkeinginan mengalami "kemadjoean" berbekal pendidikan modern bersesuaian latar adab-kultural dan angan-kebangsaan.

Hari bersejarah tentu memiliki tokoh dan tema. Kita pun ingat Wahidin Soedirohoesodo, penganjur pembentukan Boedi Oetomo. Akira Nagazumi (1989) menganggap Wahidin Soedirohoesodo adalah tokoh berpekerti halus, pribadi dengan anutan tradisi Jawa tapi berpendidikan modern. Penggambaran sifat digenapi tata laku keseharian  sebagai representasi tokoh beridentitas jamak: tradisionalis dan modern. Wahidin Soedirohoesodo sering tampil berdaster dan berjas dari kain tenun buatan pribumi, berjalan tanpa alas kaki. Beliau adalah pemain gamelan dan dalang.

Kemampuan seni menimbulkan gagasan harmoni. Wahidin Soedirohoesodo tampil dengan sikap "mendua", memiliki ketaatan atas tradisi Jawa dan lihai mengafirmasi kebijakan politik kolonial. Perbedaan atau pertentangan diusahakan tak menimbulkan konflik dan kekacauan. Harmoni mengandung misi pembentukan mentalitas kaum bumiputra berorientasi tradisionalitas dan modernitas. Gagasan harmoni dijadikan pijakan propaganda bagi kaum terpelajar di STOVIA. Pendirian Boedi Oetomo berarti perwujudan ikhtiar harmoni.

Soetomo "mewarisi" gagasan Wahidin Soedirohoesodo dalam mengurusi Boedi Oetomo. Harmoni dijelaskan melalui tulisan kecil berjudul "Gamelan dan Kewajiban", dimuat di buku berjudul Puspa Rinontje. Agenda gerakan kebangsaan ibarat keharmonisan para seniman dalam menabuh gamelan. Soetomo mengingatkan: "Jika setiap penabuh berdisiplin dan bekerja sama, tentu menghasilkan pekerjaan serba harmonis dan dapat memperdengarkan lagu gamelan dengan merdu, menggembirakan semua orang." Peringatan ini diarahkan ke kaum pergerakan di pelbagai organisasi dan partai politik.

Sekarang, kita mengartikan "gamelan" dan "harmoni" berlatar kesibukan para tokoh politik membentuk persekutuan untuk meraih kekuasaan. Mereka sedang bermain politik tanpa bermaksud menggarap harmoni agar gamelan politik bersuara merdu bagi publik. Urusan politik tak memerlukan keinsafan dan mawas diri. Perhitungan laba ditentukan jumlah suara, popularitas, modal. Mereka tak bisa memainkan gamelan demi pemenuhan harapan-harapan publik. Berpolitik pun mengumbar muslihat berdalih harmoni. Mereka membuat pengakuan memiliki kesamaan visi dan misi dalam berkoalisi. Ah, harmoni ditampilkan secara picik.

Gerakan perubahan memerlukan "pekerti halus". Wahidin Soedirohoesodo dan Soetomo telah mengawali agenda-agenda perubahan berpijak adab dan ilmu. Tata krama, tata bahasa, dan tata pikiran diperlukan untuk mengajak publik mengubah nasib tanpa berhitung laba: kekuasaan atau jabatan. Penggunaan bahasa dan simbol bereferensi ke alam pikir populis. Perubahan dengan tamsil gamelan dan harmoni memang mengesankan ikhtiar tak revolusioner.

Kita mengingat tokoh dan tema dari masa silam untuk memberi peringatan. Ambisi pembentukan koalisi dan pemunculan tokoh sebagai capres-cawapres tampak abai pekerti halus dalam berpolitik. Harmoni tak muncul. Permainan "gamelan politik" justru menimbulkan suara-suara mblero alias sumbang. Indonesia menjadi negeri berisik tak harmonis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar