Defisit
Kepercayaan
Anonim (Komaruddin Hidayat) ;
Rektor Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 02 Mei 2014
Kita
semua mudah membayangkan, bahkan mungkin pernah mengalami, betapa tidak
nyamannya ketika sebuah relasi sosial diterpa defisit kepercayaan. Energi
batin akan terkuras jika antara suami-istri sudah saling curiga.
Orang
tua dan anak tak lagi saling percaya. Begitu pun jika hal demikian terjadi
antarsesama teman atau antara atasan dan bawahan dalam sebuah perusahaan atau
perkantoran. Kehidupan akan terasa aman, nyaman, dan menjadi produktif jika
tercipta kultur saling percaya dan saling menghargai. Karena pada dasarnya
kita semua makhluk sosial. Tidak akan bisa memenuhi kebutuhan dasar tanpa
bantuan dan kerja sama dengan orang lain.
Meminjam
ungkapan Fukuyama, masyarakat yang mengalami defisit kepercayaan (low trust society) akan menelan biaya
ekonomi dan sosial amat tinggi sehingga pasti tidak akan sanggup berkompetisi
dalam panggung dunia. Ini semua kita alami dan rasakan. Kita sulit percaya
pada birokrasi dan pelayanan negara karena sering kali dikecewakan. Sejak
mengurus KTP sudah diminta uang.
Dalam
berbagai perizinan usaha banyak sekali pungutan ilegal sehingga menambah
ongkos produksi. Padahal tugas negara itu melayani, sedangkan mereka sudah
digaji. Tugas negara adalah memberikan kenyamanan kepada warganya. Sekarang
ini banyak orang tua waswas ketika melepas anaknya ke sekolah. Padahal sudah
ada penjaga keamanan di jalan maupun di sekolah. Bahkan sekolah mahal yang
bertaraf internasional, Jakarta
International School (JIS), tidak juga bisa dipercaya untuk menjaga
keamanan anak-anak didiknya.
Guru pun
tidak dipercaya menyelenggarakan ujian nasional sehingga dikerahkan polisi
untuk mengawasi. Yang ironis adalah jika rakyat tidak lagi percaya kepada
wakilnya yang duduk di lembaga DPR. Ini semua indikator nyata betapa kita
dilanda krisis kepercayaan baik vertikal maupun horizontal. Sekarang ini yang
juga menyedihkan adalah instrumen negara yang bertanggung jawab bagi
keberhasilan pileg dan pilpres ternyata di berbagai daerah sulit dipercaya
kinerjanya.
Rakyat
kecewa pada kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak amanah menjaga dan
meneruskan data dan fakta otentik suara pemilih.Beberapa caleg marah karena
hasil suaranya hilang berpindah ke caleg lain. Caleg yang tidak memiliki
saksi suaranya tidak dijamin keselamatannya. Sementara saksi akan mempertimbangkan
besar-kecilnya bayaran. Orang lebih percaya pada uang ketimbang kepada orang.
Zona
yang paling dan harus mendatangkan rasa nyaman, aman dan saling percaya tentu
saja keluarga. Tapi apa jadinya kalau lingkungan keluarga pun mengalami
defisit kepercayaan? Pemerintah ke depan mesti bekerja keras membangun
kepercayaan publik kepada negaranya. Oleh karenanya kabinet mendatang mesti
diisi orang-orang yang pantas dipercaya baik karena integritasnya maupun
kompetensi bidang keahliannya.
Tidak
hanya kabinet, sesungguhnya semua pimpinan daerah juga mesti memiliki
komitmen yang sama, bagaimana membangun pemerintahan yang bisa dipercaya dan
jadi solusi bagi rakyat, bukannya malah menciptakan masalah dan menambah
beban rakyat. Sebagai orang awam dalam bidang ekonomi, saya sulit menjelaskan
mengapa negara kita terbelit utang. Padahal sumber alam melimpah.
Banyak
orang pintar dan perguruan tinggi berdiri di mana-mana. Tapi mengapa kita
sulit melakukan pembangunan sejak dari infrastruktur, pusat-pusat industri
dan ruang publik yang indah dan nyaman dihuni? Para politikus sibuk memenangi
pileg dan bersiap memenangi pilpres, tapi seberapa peduli dan serius
memenangi hati rakyat untuk menciptakan trust
society, masyarakat yang bisa hidup bersama dengan sikap saling
menghargai dan memercayai?
Di
antara solusi yang mesti ditegakkan adalah adanya kepastian hukum, birokrasi
yang melayani dan tidak korup, keteladanan dari para pemimpin untuk hidup
sederhana, dan keberpihakan yang jelas kepada rakyat menengah ke bawah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar