Bung
Pram
Anton Kurnia ;
Penulis Esai dan Cerpen
|
TEMPO.CO,
02 Mei 2014
Lewat
tengah malam itu, berkemeja batik lengan panjang, tampak berbinar-binar di
antara anak-anak muda penuh semangat, lelaki tua itu menyanyikan Internationale dengan berapi-api.
Setelahnya dia berorasi.
Salah
satu pokok gagasannya ialah agar anak-anak muda berani percaya akan kekuatan
individu, bukan hanya larut dalam kerumunan seperti binatang ternak. Dia juga
mengakui bahwa generasinya adalah generasi yang gagal, karena tidak berhasil
mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yakni keadilan dan kemakmuran untuk semua.
Itulah
salah satu kenangan saya dari sejumlah perjumpaan pribadi dengan Bung
Pram-begitu kami memanggilnya. Peristiwa itu terjadi pada malam tahun baru
2002 di rumahnya yang megah dan berlahan luas di pinggiran Bogor. Dia
menyebut hacienda-nya itu tonggak perlawanan terhadap rezim Soeharto yang
telah menindas hak-haknya, bukan monumen seorang pemuja harta. Sebab, kendati
dihalangi berkarya, dia tetap sanggup bertahan hidup, bahkan berhasil meraih
perhatian dunia. Dan, melalui royalti karya-karyanya yang diterjemahkan ke
lebih dari 40 bahasa, ia dan keluarganya mampu membangun tempat tinggal yang
nyaman dan bermanfaat bagi banyak orang.
Pramoedya
Ananta Toer (1925-2006), yang dikenang sebagai salah seorang sastrawan
terdepan kita sepanjang sejarah, disemangati oleh gagasan-gagasan
nasionalisme sejak belia. Tumbuh dalam bayang-bayang ayahnya, Imam Mastoer,
seorang pendidik berhaluan nasionalis kiri yang mengajarinya sikap gandrung
akan kemerdekaan, Pramoedya menjelma anak muda patriotis yang ikut andil
dalam revolusi kemerdekaan negerinya sekitar 1945.
Pramoedya
ikut bertempur sebagai perwira militer nasionalis melawan pasukan Belanda di
pinggiran Jakarta. Ia bahkan sempat dipenjarakan selama 2 tahun pada
1947-1949 karena kedapatan membawa pamflet perlawanan terhadap agresi militer
Belanda. Namun di penjara itulah Pramoedya menemukan momen yang tepat untuk
menulis karya-karya awalnya.
Buku-buku
Pram-novel, kumpulan cerpen, dan beragam karya nonfiksinya-tak bisa
dipisahkan dari Indonesia. "Setiap
orang yang hendak memahami Indonesia, negara dengan jumlah penduduk terbesar
keempat di dunia, harus membaca buku-bukunya," tulis Jamie James (The New Yorker, 27 Mei 1996).
Tak beda
jauh, menanggapi wafatnya Pramoedya, novelis Inggris asal Pakistan yang juga editor
jurnal New Left Review, Tariq Ali,
menulis dalam Counter Punch, "Wafatnya Pramoedya adalah kehilangan
besar bagi kesusasteraan dunia. Dialah intelektual Indonesia terkemuka,
sekaligus penulis fiksi yang jenius..."
Sampai
akhir hayatnya, Pramoedya terus memikirkan Indonesia yang amat dicintainya.
Namun ia kecewa terhadap realitas yang disaksikannya. Ia muak melihat
maraknya pembusukan, pembodohan, keterbelakangan, dan korupsi di negeri ini.
Bung
Pram kini telah pergi meninggalkan pusaka yang tak ternilai: buah pikiran dan
karya-karyanya, termasuk Tetralogi
Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak
Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah
Kaca) yang dianggap sebagai adikaryanya, serta karya-karya terjemahan
semacam Tikus dan Manusia (dari
novel John Steinbeck). Selebihnya, berpulang kepada kita untuk memaknai
perjuangannya, terutama angkatan muda yang selalu diharapkannya sebagai
pelopor perubahan, aktor revolusi total
yang disebutnya sebagai jalan tunggal untuk menyelamatkan bangsa ini dari
kehancuran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar