Senin, 26 Mei 2014

Bahasa Figuratif Jelang Pilpres

Bahasa Figuratif Jelang Pilpres

Fanny Henry Tondo  ;   Peneliti pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI)
SINAR HARAPAN,  24 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Genderang perang menuju RI 1/RI 2 baru saja ditabuh. Deklarasi dua pasangan capres-cawapres yang akan bertarung pada (Pemilihan Presiden) Pilpres 9 Juli 2014 menjadi awalnya. Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla melakukan deklarasi di Gedung Joeang ‘45 pada 19 Mei 2014.

Sementara itu, pasangan Prabowo-Hatta melangsungkan deklarasinya di Rumah Polonia, eks kediaman Bung Karno di Jakarta Timur. Sesudah deklarasi kedua pasangan langsung mendaftarkan diri ke KPU.

Bagaimana pertarungan kedua kubu ini nanti dan bagaimana peranan bahasa figuratif yang sering digunakan para elite partai untuk kemenangan jagoan mereka? Tampaknya permainan bahasa ini akan tetap mewarnai tahapan pilpres nanti untuk menyerang pihak lawan.

Sindiran

Bentuk bahasa ini digunakan dalam semua domain komunikasi, termasuk dalam wacana politik. Produk wacana politik dapat berupa pidato, kampanye, pernyataan politik, atau laporan kegiatan politik (Sharifian, 2011).

Maksud penggunaan bentuk bahasa ini dalam wacana politik, yaitu untuk mencapai makna atau efek tertentu atau untuk menciptakan kepelikan yang dapat menyebabkan misinterpretasi atau memanipulasi pikiran. Tentunya hal ini dilakukan dengan maksud merugikan pihak lawan. Konsekuensinya mendatangkan keuntungan bagi partai atau capres-cawapresnya.

Dalam pemilihan legislatif (pileg), bahasa figuratif ini cukup mendominasi ruang publik, misalnya yang dapat disaksikan pada kampanye atau yang dapat didengarkan dan dibaca melalui media massa.

Bahasa figuratif atau kiasan yang mengandung sindiran atau ironi antara lain dapat diperhatikan pada puisi yang disampaikan Prabowo dalam kampanye di Lapangan Wagimin Jambe, Tabanan, Bali. Puisi yang sama dibacakan juga di Lapangan GBK, Senayan, Jakarta.
Puisi tersebut berbunyi: “Boleh berbohong asal santun, boleh mencuri asal santun, boleh korupsi asal santun, boleh menipu rakyat asal santun, boleh menjual negeri pada orang lain asal santun, boleh merampok asal santun”.

Secara kasatmata, puisi ini bertaburan dengan kata kerja atau verba, seperti berbohong, mencuri, menipu, dan seterusnya. Secara eksplisit tidak jelas ditujukan kepada siapa karena dalam kalimat-kalimatnya tidak mengandung subjek. Hal ini tentunya dapat menimbulkan misinterpretasi.

Namun, dalam konteks kampanye tentunya masyarakat sudah bisa memahami pihak mana yang menjadi tujuan karya sastra tersebut. Kalau diperhatikan, bahasa figuratif dalam karya sastra tersebut sebenarnya bermakna kebalikannya, yaitu “tidak boleh berbohong, tidak boleh mencuri, dan seterusnya”. Dengan demikian, jelas bentuk-bentuk bahasa tersebut merupakan sindiran.

Ada pula puisi “Air Mata Buaya” yang merupakan sajak sindiran Gerindra terhadap Jokowi dan Megawati, yang dinilai mengingkari komitmen Batu Tulis tahun 2009. Namun, PDIP memiliki perspektif lain dalam memahami pertemuan Batu Tulis tersebut.

Tidak sampai di situ, pihak Gerindra terus menyindir PDIP dengan menciptakan sebuah puisi berjudul “Raisopopo”. Puisi yang ditulis Fadli Zon, Waketum Gerindra tersebut, diharapkan memiliki efek terhadap pencalonan Jokowi sebagai capres dari PDIP.

Walaupun PDIP diharapkan tidak terpancing dengan penggunaan bahasa-bahasa figuratif dari Gerindra, pihak PDIP ternyata tidak kalah.

Sebelum deklarasi Jokowi-JK, Sekjen PDIP, Tjahjo Kumolo, sempat mengeluarkan bahasa figuratif, yaitu “Lulus jenderal dan tidak dipecat, TNI yang benar-benar TNI, menjalankan sumpah prajurit saptamarga. Tidak dipecat sampai jabatan tertinggi panglima ABRI dan menjadi menteri pertahanan”.
Rangkaian konstruksi kalimat tersebut memang ditujukan kepada Pak Wiranto, tetapi sebenarnya ini merupakan sindiran terhadap Pak Prabowo.

Apakah bentuk-bentuk bahasa tersebut cukup efektif dalam menyerang lawan dan membawa kemanfaatan bagi partai atau capres-cawapres yang dijagokan? Kalau dibandingkan hasil suara Partai Gerindra, misalnya, pada Pileg 2009 dan 2014, terjadi peningkatan sebesar 200 persen. Artinya, kalau pada Pileg 2009 hanya memperoleh 26 kursi, pada 2014 partai ini meraih 73 kursi. Sebuah peningkatan yang signifikan.

Namun, apakah peningkatan jumlah kursi tersebut berkorelasi dengan penggunaan bahasa figuratif? Bisa saja ada benarnya karena penggunaan bahasa figuratif bermaksud memberikan efek tertentu. Jadi, para pemilih terpengaruh dan memberikan suaranya kepada pihak pencetus bahasa figuratif tadi. Bisa jadi bahasa figuratif turut berkontribusi terhadap capaian itu.

Tonjolkan Program

Memainkan bahasa figuratif dalam pileg maupun pilpres nanti sah-sah saja, tetapi hendaknya jangan sampai menjurus kepada apa yang dinamakan sebagai black campaign. Barangkali, sebaiknya para pihak pendukung kedua pasangan capres-cawapres lebih mengutamakan program dalam kampanye mereka nanti.

Mengutamakan program lebih penting karena dengan menonjolkannya, masyarakat pemilih secara lebih jernih dapat memberikan suaranya kepada pasangan yang menawarkan program yang sesuai keinginan pemilih.

Tentunya, program yang ditawarkan diharapkan dapat membawa kesejahteraaan (prosperity) bagi bangsa dan negara. Selain itu, program yang dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat (security).

Semoga siapa pun pasangan capres-cawapres yang akan terpilih nanti dapat memberikan kejayaan bagi Indonesia secara domestik dan global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar