Arus
Balik Penjaga Konstitusi
Reza
Syawawi ; Peneliti Transparency
International Indonesia
|
TEMPO.CO,
26 Mei 2014
Mahkamah
Konstitusi (MK) kembali membuat putusan kontroversial. Kali ini MK memutuskan
bahwa penyelesaian sengketa pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala
daerah (pemilukada) tidak lagi menjadi kewenangannya. Putusan ini praktis
mengembalikan kewenangan penyelesaian sengketa pemilukada kepada Mahkamah
Agung.
Putusan
MK Nomor 97/PUU-XI/2013 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah
mengaburkan arah dan haluan politik hukum penyelesaian sengketa pemilukada.
Sebab, mengembalikan kewenangan tersebut kepada Mahkamah Agung (MA) berarti
mengembalikan penyelesaian sengketa pemilukada kepada sistem yang telah lama
ditinggalkan.
Putusan
ini sebetulnya tidak bisa dikategorikan sebagai terobosan hukum atas
penyelesaian sengketa pemilukada. Sebaliknya, hal ini justru menimbulkan
ketidakpastian tentang lembaga peradilan manakah yang paling konstitusional
untuk menangani sengketa pemilukada.
Desain
konstitusi sudah sangat jelas menghadirkan dua puncak kekuasaan kehakiman di
Indonesia, yaitu MA beserta peradilan di bawahnya (peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara) dan MK (Pasal 24 ayat
2 UUD 1945). Kewenangan MK yang diatur oleh konstitusi juga sangat jelas,
salah satunya adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
(pemilu).
Logika
dan argumen yang memisahkan penyelesaian sengketa pemilukada dengan rezim
penyelesaian sengketa pemilu (nasional) bisa dianggap keliru. Sebab,
bagaimana sebuah sistem penyelesaian sengketa hasil pemilu bisa berbeda di
dalam sistem pemilu, penyelenggara, dan peserta yang sama?
Logika
ini bisa dipersamakan dan sama kelirunya ketika ada upaya untuk mengembalikan
pemilukada kepada sistem yang lama, yaitu mengembalikannya kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pasca-amendemen UUD 1945 yang mendorong
sistem pemilu untuk memperkuat posisi eksekutif (presiden), di tingkat lokal
hal tersebut justru mengalami pelemahan dengan usulan pemilukada tidak
langsung.
Selain
itu, dalam hal pengalihan penyelesaian sengketa pemilukada, MK untuk kesekian
kalinya mengadili obyek perkara yang berhubungan langsung dengan dirinya
sendiri. MK dalam konteks ini berpotensi menjadi aktor yang justru memperburuk
situasi pemilu yang begitu sarat dengan politik uang. Apalagi penegakan hukum
pemilu (peradilan) atas pelaku politik uang yang berada di bawah kekuasaan MA
mengalami kemandekan.
Ketika
penyelesaian atas kejahatan pemilu tidak maksimal diselesaikan oleh lembaga
peradilan di bawah MA, penyelesaian sengketa hasil pemilukada akan mengalami
nasib yang sama jika tetap berada di bawah kendali MA. Belum lagi soal
tumpukan tunggakan perkara yang tak kunjung selesai.
Putusan
ini bisa dianggap sebagai "arus balik" yang diciptakan MK, yang
menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyelesaian sengketa pemilukada. Pada
satu sisi MK membatalkan kewenangannya sendiri, namun pada sisi yang lain
masih menyatakan berwenang mengadili sengketa pemilukada.
Putusan
MK juga menimbulkan ketidakpastian hukum karena, dalam amar putusan MK, tidak
ada limitasi yang tegas mengenai waktu pemberlakuan putusan ini. Dalam
putusan tersebut hanya disebutkan, "MK
berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah selama belum
ada undang-undang yang mengatur mengenai hal tersebut."
Artinya,
pembuat undang-undang tidak diberi batas waktu yang limitatif untuk
merumuskan pengaturan mengenai penyelesaian sengketa pemilukada. Dan jika
dalam proses legislasi tidak ditemukan kesepakatan di antara para penyusun
undang-undang, penyelesaian sengketa pemilukada akan tetap berada dalam
wilayah kewenangan MK.
Putusan
ini cenderung memperlihatkan bentuk keraguan MK atas putusannya sendiri. Ini
juga tergambar dari komposisi hakim konstitusi yang menyidangkan perkara ini,
dari delapan hakim konstitusi, tiga hakim konstitusi menyatakan pendapat
berbeda (dissenting opinion).
Putusan
ini bukanlah sebuah instrumen yang memecahkan problem korupsi dalam
penyelesaian sengketa pemilukada, bahkan juga bukan terobosan hukum,
melainkan justru sesuatu yang menciptakan ketidakjelasan politik hukum
penyelesaian sengketa pemilukada.
Menghilangkan
kewenangan untuk menghindari korupsi adalah tindakan yang jauh dari sikap dan
sifat seorang negarawan. Jika pemahaman ini yang dikembangkan, akan banyak
institusi negara yang tidak mau menjalankan tugasnya dan cenderung
menghindar.
Padahal
potensi korupsi dalam menjalankan kekuasaan adalah hal yang alamiah, power tends to corrupt. Maka, yang
dibutuhkan adalah bagaimana merancang sistem pencegahan korupsi dalam
menjalankan kekuasaan, bukan justru menghilangkan kewenangan yang terkesan
sebagai bentuk "cuci tangan"
atau bahkan lari dari tanggung jawab konstitusionalnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar