Rabu, 21 Mei 2014

Apakah Indonesia Akan Diam?

Apakah Indonesia Akan Diam?

Rene L Pattiradjawane ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  21 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
KUNJUNGAN Presiden Rusia Vladimir Putin ke Tiongkok memproyeksikan nuansa perubahan geopolitik di kawasan Asia, sekaligus pergeseran geostrategi akibat aneksasi Crimea yang belum menghasilkan kepastian diplomatik, khususnya antara Moskwa dan negara-negara Barat.

Kunjungan Putin membawa babakan baru hubungan RRT- Rusia, terutama terkait persoalan keamanan energi melalui perluasan kemitraan strategis kedua negara. Putin juga menghadiri KTT Ke-4 Konferensi tentang Interaksi dan Pembentukan Saling Percaya di Asia (CICA), di Shanghai.

Ada dua hal yang kita catat dalam interkoneksi hubungan Tiongkok-Rusia dalam konteks geopolitik di kawasan Asia yang bergejolak karena klaim tumpang tindih kedaulatan antara Beijing dan negara-negara Asia. Pertama, forum Shanghai ini akan menegaskan posisi RRT dalam merumuskan apa yang disebut sebagai Yazhou Xin Anquan Guan (Konsep Keamanan Baru Asia) yang akan disampaikan Ketua Komisi Keamanan Nasional RRT, Presiden Xi Jinping.

Kedua, kunjungan Presiden Putin juga diikuti latihan bersama Angkatan Laut RRT-Rusia dalam operasi yang disebut Haishang Lianhe-2014 (Gabungan Maritim-2014), melibatkan kapal perang Armada Pasifik Rusia. Ini adalah latihan ketiga kedua negara, melibatkan belasan kapal perang, dua kapal selam, serta belasan pesawat dan helikopter.

Kedua masalah ini saling terkait satu sama lain dan menjadi pendorong terjadinya perubahan strategis. Ada beberapa faktor yang mengkhawatirkan secara strategis dan akan berdampak luas terhadap persoalan politik dan keamanan di kawasan Asia Timur. Pertama, kekhawatiran dalam analisis para pengamat politik dan keamanan akan terjadinya aneksasi versi Crimea bisa menjadi kenyataan dan menjadi preseden bagi Tiongkok mengukuhkan kebangkitannya sebagai kekuatan hegemoni.

Faktor kedua menyangkut konsep baru keamanan yang ingin dibangun Beijing, menegaskan pemahaman kita terbentuknya proyeksi pengaruh ”politik dan keamanan berkarakteristik Tiongkok” yang tak hanya menegasikan kepentingan negara-negara kawasan, khususnya Asia Tenggara, tetapi rumusan komprehensif ambisi maritim yang ingin dicapai Tiongkok.

Konsep Keamanan Baru Asia dukungan Rusia ini diproyeksikan mencakup empat persoalan, menurut cara pikir Beijing tentang advokasi keamanan melalui gongtong anquan (keamanan bersama), zonghe anquan (keamanan komprehensif), hezuo anquan (kerja sama keamanan), dan ke zhixu anquan (keamanan berkelanjutan).

Secara keseluruhan, konsep keamanan ini adalah refleksi diri RRT sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, negara berpenduduk terbesar dunia dan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Ada kesan, arsitektur baru keamanan dan kerja sama buatan RRT di Shanghai ini sekaligus merupakan refleksi modernisasi Pan-Tiongkok Raya melalui apa yang disebut sebagai quanli dongyi (pergeseran kekuatan ke timur).

Kita khawatir, cara pandang keamanan disertai persoalan nasionalisme Tiongkok dan keamanan energi ini menjadi ancaman serius bagi bangunan Komunitas ASEAN 2015, mengecilkan eksistensi pilar komunitas politik dan keamanan ASEAN.

Situasi ini membawa persoalan baru, antara lain perilaku agresif di lautan atas nama kedaulatan dan warisan sejarah nasional, membenarkan cara pandang Tiongkok terhadap ASEAN sebagai, ”…kalian harus mengerti kami adalah negara besar dan kalian adalah negara-negara kecil” (Kompas, 18/7/2012).

Kita khawatir ini akan menegasikan modalitas komunitas politik dan keamanan ASEAN, RRT akan terus melakukan balkanisasi secara masif mencapai tujuan-tujuan kepentingan nasionalnya. Pertanyaannya, apakah Indonesia akan diam saja melihat perkembangan ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar