Tragedi
Masa Purnabakti
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi
(PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
KORAN
SINDO, 24 April 2014
Hampir semua
media massa berpandangan serupa: penetapan (mantan) Ketua Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) Hadi Poernomo sebagai tersangka merupakan kejutan di tengah
hiruk-pikuk proses-proses akhir rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilu
anggota legislatif.
Bahkan,
status tersangka diterima Hadi nyaris tidak berjarak dengan akhir jabatannya
sebagai orang nomor satu BPK. Selain itu, status sebagai tersangka bertetapan
pula dengan hari ulang tahunnya yang ke-67. Tragis! Sebagaimana diwartakan,
Hadi disangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus keberatan pajak
yang terindikasi merugikan negara Rp375 miliar dengan meloloskan keberatan
pajak Bank Central Asia. Selain itu, Surat Perintah Penyidikan (sprindik) KPK
mengindikasikan bahwa pelakunya tidak tunggal.
Keterlibatan
pihak lain tersebut dapat dimaknai dari penyebutan secara eksplisit ”Hadi Poernomo dan kawan-kawan” di
dalam sprindik KPK (KORAN SINDO, 22/4).
Sebagai sebuah skandal yang telah berlangsung lama, penetapan Hadi sebagai
tersangka dapat dikatakan sangat menarik. Paling tidak, KPK mampu membuktikan
bahwa perjalanan waktu tidak begitu saja dapat menutup kasus korupsi. Apalagi
bila sebuah kasus sempat menjadi perhatian publik dan berada dalam kategori
skandal. Bahkan, yang tidak kalah pentingnya, betapapun penting dan tingginya
posisi sebuah jabatan, tidak semuanya mampu mengalahkan proses penegakan
hukum terutamanya penegakan hukum kasus korupsi.
Bukan Institusi BPK
Dalam
posisi figur yang baru saja mengakhiri masa baktinya di lembaga audit, banyak
kalangan mengaitkan status tersangka Hadi dengan institusi BPK. Secara
sederhana, muncul pandangan bahwa praktik korupsi semakin masif menerpa
lembaga-lembaga negara. Bahkan, kejadian tersebut menimbulkan pesimisme bahwa
Indonesia benar-benar berada dalam kubangan praktik koruptif. Apalagi,
praktik korupsi tidak hanya di tingkat pusat, tetapi juga menjangkiti
lembaga-lembaga di daerah. Berkaca dari bentangan empirik yang ada, secara
objektif, memang sulit untuk membantah betapa meruyaknya praktik korupsi yang
menerpa lembaga negara.
Masih
segar dalam ingatan kita, pada awal Oktober 2013, KPK melakukan operasi
tangkap terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Sebagai salah
satu lembaga yang lahir dari rahim reformasi, kejadian yang menimpa Akil
benar-benar menjadi tamparan yang teramat hebat. Banyak kalangan
berpandangan, jika MK saja bisa bobol oleh korupsi, bagaimana pula lembaga
lain yang telah lama menjadi buah bibir. Pesimisme tersebut wajar muncul
dikarenakan banyak lembaga di luar MK telah terlebih dulu keropos oleh
praktik koruptif.
Dalam
beberapa waktu terakhir, terkuak betapa dahsyatnya gurita korupsi di jajaran
eksekutif. Sejumlah kementerian atau lembaga seperti sulit keluar dari
perangkap korupsi. Bahkan, hanya berjarak satu hari setelah Hadi, KPK resmi
menyidik dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik di Kementerian Dalam Negeri
dengan tersangkanya seorang pejabat pada level direktur. Cerita lebih
mengenaskan dapat dilacak dari lembaga perwakilan rakyat. Dari data yang ada,
banyak politisi tersangkut dan sekaligus menjadi pelaku utama skandal
korupsi.
Kejadian
yang paling mudah untuk menjelaskan sepak terjang politisi dalam skandal
korupsi, misalnya, dapat dilacak dari peran yang dilakukan M Nazaruddin dan
Angelina Sondakh. Contoh lain, manuver sejumlah anggota DPR dalam
”optimalisasi” fungsi anggaran lebih dari cukup untuk menggambarkan betapa
masifnya jual-beli kewenangan demi keuntungan pribadi dan kelompok. Namun
demikian, bentangan fakta tersebut tidak kuat untuk mengaitkan status Hadi
dengan integritas BPK.
Tanpa
perlu bertikam lidah, pandangan yang mengaitkan status Hadi dengan BPK adalah
sebuah kekeliruan serius. Alasannya sederhana, status tersangka bekas Ketua
BPK ini sama sekali tak ada kaitannya dengan peran dan posisi Hadi di BPK.
Sebagaimana dimuat dalam sprindik, Hadi disangka dalam kasus dugaan korupsi
permohonan keberatan pajak BCA ketika yang bersangkutan menjabat sebagai
direktur jenderal Pajak pada 2002–2004. Sangat mungkin, hitungan waktu
penetapan Hadi sebagai tersangka telah mempertimbangkan dampaknya terhadap
institusi BPK.
Namun
demikian, pemisahan secara tegas posisi Hadi sebagai ketua BPK dan dirjen Pajak
tidak berarti pula bahwa praktik penyalahgunaan kekuasaan sama sekali tidak
mungkin terjadi sama sekali di BPK. Pemisahan locus dan tempus tindak
pidana ini perlu dibuat secara tegas karena sangkaan KPK bahwa Hadi
terindikasi melakukan korupsi bersama-sama. Artinya, kita sedang menunggu KPK
mengendus pelaku lain yang ikut bermain di wilayah keberatan pajak. Penantian
ini menjadi amat menarik karena jual-beli kewenangan keberatan pajak pernah
menimpa Gayus HP Tambunan. Harapan kita, proses hukum ini mampu membongkar
secara tuntas jejaring mafia pengurangan pajak kejahatan di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak.
Tragedi
Selain
soal di atas, tragedi yang menimpa Hadi seharusnya dapat dijadikan pelajaran
penting bagi mereka yang diberi amanah untuk mengurus kepentingan orang
banyak. Pertama, melakukan penyalahgunaan kekuasaan ketika berkuasa sangat
mungkin menghadirkan prahara, baik pada masa jabatan maupun setelah
berakhirnya masa jabatan. Bagaimanapun, melihat pola situasi saat ini, sulit
bagi mereka yang terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan menghindari proses
hukum. Sejumlah pengalaman menunjukkan, kemampuan berkelit hanya menunda
waktu menjadi pesakitan.
Bahkan,
jikapun memiliki kemampuan untuk melompat dari satu jabatan ke jabatan lain
demi membentengi diri dari kejaran penegakan hukum, upaya begini pasti ada
batasnya. Boleh jadi, selama berkuasa, institusi dengan segala otoritasnya
dapat dimanfaatkan untuk membentengi diri. Begitu sampai di akhir masa
jabatan, proses penegakan hukum akan menggelinding mudah menjangkau mereka
yang acap memperjualbelikan kewenangan.
Sekiranya
hal begitu terjadi, masa purnabakti akan menjadi titik permulaan sebuah
tragedi. Agar masa purnabakti tidak berubah menjadi tragedi, mereka yang
diberikan amanah untuk mengurus kepentingan orang banyak harus mampu menjaga
diri untuk tidak terdorong dalam lingkaran praktik korupsi. Lalu, perlukah
menumpuk harta dengan cara menggadaikan otoritas institusi jika pada akhirnya
menghadirkan tragedi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar