Panggung
Lain untuk “Kartini”
Machya A Dewi ; Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional UPN ’’Veteran’’
Yogyakarta, Peneliti masalah Gender dan Politik
|
SUARA
MERDEKA, 22 April 2014
“Menjadi wakil rakyat
yang memperjuangkan kepentingan perempuan tak selalu harus di gedung DPRD/DPR”
ADA dua momentum besar bagi perempuan Indonesia pada April
ini, yaitu pemilu legislatif yang baru mereka lewati dan peringatan Hari
Kartini. Keduanya berlindan, terlebih perempuan juga menjadi aktor penting
dalam pesta demokrasi tersebut. Semua itu tidak terlepas dari perjuangan
Raden Adjeng (RA) Kartini. Pastilah ia bangga menyaksikan perempuan Indonesia
kini tak hanya berpendidikan tapi juga mengisi panggung politik yang selama
ini didominasi laki-laki.
Namun Kartini juga sedih melihat sebagian kaumnya kini kecewa
karena gagal menjadi wakil rakyat. Penghitungan suara menunjukkan
keberhasilan caleg laki-laki jauh lebih besar ketimbang perempuan. Padahal
menjelang Pemilu 2014 muncul optimisme. Hal itu mendasarkan peningkatan
persentase jumlah caleg perempuan dibandingkan dengan pemilu sebelumnya,
yaitu dari 30% pada Pemilu 2009 menjadi 37% pada Pemilu 2014.
Antusiasme perempuan pun terlihat dari kesemarakan pemasangan
poster dan baliho menampilkan wajah caleg perempuan di tepi jalan dan
tempat-tempat strategis. Desakan pemerintah lewat UU tentang Pemilu yang
mengamanatkan parpol peserta pemilu menyertakan 30% caleg perempuan dalam
daftar caleg supaya lolos verifikasi, ternyata berjalan efektif.
Sayang, peningkatan jumlah caleg perempuan belum diiringi
dengan makin besarnya peluang elektabilitas mereka. Dalam pemilu legislatif,
kebanyakan pemilih, bahkan pemilih perempuan, lebih menaruh kepercayaan
kepada caleg laki-laki. Caleg perempuan yang sudah populer di masyarakat
tentu mudah mendapat suara. Namun bagaimana dengan caleg perempuan pendatang
baru yang belum dikenal masyarakat, bahkan gambar mereka pun tak banyak
terpasang.
Ibarat pepatah tak kenal maka tak sayang, tentu mereka sulit
memperoleh suara yang signifikan. Rendahnya elektabilitas caleg perempuan
secara umum juga disebabkan kurangnya kepercayaan masyarakat, terhadap
kemampuan caleg perempuan. Pandangan ini terutama ditujukan kepada caleg
perempuan yang prestasi dan kinerjanya kurang terlihat di masyarakat.
Tidak jarang terdengar komentar minor dari masyarakat
semisal,’’ Artis jadi caleg, nantinya bisa apa?’’ dan sebagainya. Komentar
semacam itu tidak saja muncul dari laki-laki, namun juga dari kaum perempuan,
yang belum percaya dengan kemampuan kaumnya sendiri.
Tidak seharusnya caleg perempuan yang gagal menjadi wakil
rakyat terus bersedih. Masih ada cara
lain untuk menjadi pejuang aspirasi. Salah satunya terlibat dalam forum
musyawarah pembangunan (musrenbang) dari level desa hingga kabupaten. Selama
ini, keterlibatan perempuan dalam forum musrenbang masih kecil. Hampir
seluruh anggota forum itu adalah laki-laki. Padahal forum ini sangat
strategis mengingat membahas persoalan pembangunan dan hajat hidup masyarakat
sehari-hari.
Organisasi Perempuan
Kaum perempuan yang oleh masyarakat dikonstruksikan dekat
dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (pelayanan kesehatan,
ketersediaan air bersih, akses jalan yang baik, pendidikan) jarang dilibatkan
dalam forum musrenbang. Akibatnya, prioritas pembangunan diputuskan oleh
mayoritas laki-laki yang mungkin tidak sepenuhnya paham terhadap kebutuhan
perempuan. Padahal keterlibatan perempuan dalam forum itu tidak kalah mulia
dibanding berebut kursi wakil rakyat.
Partisipasi mereka dalam organisasi-organisasi perempuan
menjadi solusi lain. Organisasi perempuan dengan berbagai ragam kegiatannya
(ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, dan sebagainya) bisa berperan sebagai
kelompok kepentingan atau kelompok penekan. Dalam konteks ini, aktivis
perempuan bisa memberdayakan organisasi yang ia pimpin atau ia ikuti untuk
memperjuangkan kepentingan perempuan. Selain itu, membiasakan diri berhadapan
dengan pemerintah dan publik.
Cerita kegalauan aktivis perempuan di beberapa negara Amerika
Latin patut menjadi pelajaran. Mereka, aktivis gerakan perempuan, belakangan
ini memilih jalan memperjuangkan kepentingan perempuan lewat cara menjadi
anggota parlemen. Namun bukannya kesuksesan yang diperoleh, melainkan
kekecewaan akibat patriakalisme yang masih kuat di parlemen. Akibatnya,
mereka sulit berjuang dan berakhir dengan frustrasi. Mereka akhirnya
memutuskan kembali bergerak di jalur nonparlemen.
Politik pencitraan juga perlu terus dikembangkan. Adalah mustahil
bermimpi menjadi wakil rakyat ketika publik tidak mengenal siapa dan apa yang
telah dikerjakan oleh caleg. Di sinilah saatnya perempuan perlu terus
meningkatkan prestasi sekaligus kontinu mempromosikan melalui berbagai
aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi. Bidang-bidang tersebut sangat dekat
dengan kehidupan perempuan sehingga bisa menjadi modal dasar kuat untuk
mengembangkan potensi perempuan.
Menjadi wakil rakyat yang memperjuangkan kepentingan perempuan
tidak selalu harus dilakukan dari atau di gedung DPRD/DPR. Masih banyak yang
bisa dikerjakan perempuan untuk memperjuangkan kaumnya sebelum mereka
kembali mengikuti kontestasi 5 tahun mendatang tapi dengan bekal yang lebih
memadai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar