Nasib
Media Partisan Setelah Pemilu
Ignatius Haryanto ; Peneliti Media di LSPP, Jakarta
|
KOMPAS,
23 April 2014
MELIHAT
kelakuan sejumlah media pada saat sebelum dan sesudah pemilu ibarat melihat
jalannya roller coaster, mudah naik
dan mudah turun. Ia berguling-guling mengikuti jalur yang telah disediakan.
Berguling-guling dan mudah jatuh bangun, itulah juga kelakuan sejumlah media
partisan pada masa setelah Pemilu Legislatif April 2014 ini.
Penuturan
sejumlah pihak yang terlibat dalam media partisan memberikan informasi kepada
penulis bahwa ada perintah jelas dan tegas dari pucuk pimpinan media untuk
membela kepentingan pemilik media yang sekaligus tokoh pimpinan partai
politik tertentu.
Perintah
tersebut ditambahi semacam permohonan: ”Tolonglah
kami ini paling tidak sampai bulan April saja.” Cerita dari dalam
tersebut penulis terima dua bulan sebelum pemilu legislatif tiba, dan bisa
dibayangkan bahwa perintah seperti ini sudah lama berjalan, dan itu terbukti
dari isi layar kaca stasiun televisinya.
Selain
itu, dalam stasiun TV yang sama ada perintah bahwa sosok Joko Widodo (Jokowi)
yang banyak unggul dalam berbagai survei diharamkan untuk tampil di layar
stasiun TV yang bersangkutan. Alasannya? Sebab, sosok Jokowi sudah unggul di
mana-mana dan tak perlu lagi diangkat. Sebaliknya sang bos yang merasa kalah
populer dengan Jokowi ingin stasiun televisi miliknya semakin mengangkat
dirinya.
Kita pun
tahu kandidat pemilihan umum lainnya telah menggunakan segala daya upaya
untuk mengangkat popularitas calon presiden dan calon wakil presiden lain.
Stasiun
televisi terbesar di Indonesia telah menggunakan macam-macam cara untuk
mengangkat elektabilitasnya lewat aneka program yang ada, apakah itu
pemberitaan, reality show, iklan, kuis, dan lain-lain. Belakangan satu-dua
acara pun ketahuan menunjukkan sisi rekayasanya.
Sesudah pemilu
Pemilihan
umum legislatif sudah usai dan sejumlah hasil hitung cepat menunjukkan bahwa
PDI-P mendapatkan suara terbanyak dalam pemilu legislatif. Sebaliknya,
sejumlah partai politik yang selama ini telah menyalahgunakan frekuensi
publik untuk kepentingan politik pemiliknya tak sanggup membendung popularitas
partai yang mengusung Joko Widodo sebagai calon presidennya (dengan perolehan
suara 19,6 persen). Sementara itu, Golkar meraih suara 14,9 persen, Nasdem
meraih 6,8 persen, dan Hanura meraih 5,1 persen dari total suara yang ada
(semua merujuk pada hasil Hitung Cepat Litbang Kompas yang dipublikasikan 10
April 2014).
Dengan
komposisi demikian dan juga arah menuju koalisi mulai mengerucut, wajah media
massa partisan pun perlahan-lahan berubah. Media yang tadinya mengharamkan
wajah Jokowi tampil di medianya kini tak malu-malu mengusung wajah populer
tersebut karena angin politik kini sudah berubah arah. Disangkanya publik
mudah lupa dengan pergeseran ”ideologi” dari media semacam ini dari yang
”oposisi” terhadap Jokowi menjadi ”pro” kepada Jokowi.
Sementara
ini nasib lain kini dihadapi oleh Hary Tanoesoedibjo, raja media MNC Group
yang juga cawapres Partai Hanura. Karena perolehan suaranya kurang
meyakinkan, kini posisi Hary Tanoe di internal partai mulai dipertanyakan.
Kita pun tahu bahwa semua media yang ada dalam grup ini dimobilisasi untuk
mendukung kepentingan pemilik media dan politisi tersebut. Pengerahan
karyawan untuk memadati acara temu akbar partai sehari sebelum masa kampanye
berakhir juga banyak dicerca dalam media sosial.
Kembali ke prinsip dasar:
independensi
Sulit
membayangkan perasaan dan pikiran dari mereka-mereka yang kemarin menjadi
media partisan, dan hari-hari ini melihat kenyataan bahwa efek yang
dihasilkan dari bombardir informasi kemarin itu tidaklah sesuai dengan
perolehan suara dalam pemilu. Bagaimanapun juga intensitas pemberitaan
ataupun tampilan di media tak berpengaruh langsung atas hasil perolehan
suara. Bagaimanapun juga realitas media (partisan) berbeda dengan realitas
yang ada dalam kepala para pemirsa, penonton, ataupun publik secara umum.
Saluran
informasi yang beragam pada saat sekarang membuat masyarakat akan bisa
mendapatkan informasi tak hanya pada satu macam saluran informasi, tetapi ia
juga bisa mendapatkan dari berbagai sumber. Memverifikasi ataupun memilah
informasi mana yang lebih akurat adalah pekerjaan rumah berikutnya. Namun
begitu, harus diakui bahwa publik atau warga negara yang terlibat dalam
pemilu kemarin tak semata pemirsa tayangan televisi. Ia adalah warga negara
yang cerdas yang mampu mengolah dan menyaring informasi yang ia mau konsumsi.
Bagaimanapun
apa yang ditampilkan dalam media (apalagi media yang partisan) pastilah
selalu positif terhadap sosok kandidat tersebut (apalagi jika ia adalah
pemiliknya sekaligus politisi yang ikut bertarung dalam pemilu). Masyarakat
mengimbangi informasi bias tersebut dengan informasi lain yang lebih netral
dan untuk itu maka apa yang telah dikerjakan oleh para kandidat jauh lebih
penting daripada pencitraan yang telah dihasilkan oleh media-media yang bias.
Mungkin
ini juga suatu hukuman sosial kepada media yang partisan kepada kepentingan
pemiliknya, dan syukurlah rasionalitas masyarakat luas telah menunjukkan
kedigdayaan atas intervensi terlalu besar dari para pemilik media untuk
menghasilkan berita yang semata-mata positif bagi kepentingan pemilik
medianya.
Oleh
karena itu, penting kepada media-media mana pun untuk selalu menjaga
independensi karena reputasi media akan ditentukan dari independensinya, dan
bukan dari faktor dekat atau tidaknya ruang redaksi dengan perintah sang
majikan utama. Hidup suatu media yang independen akan lebih panjang dari
riwayat rezim mana pun. Dan, jika mau hidup dan dihormati terus ke depan,
media harus kembali pada nilai dasarnya: independen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar