Menimbang
Sikap TNI terhadap Capres
Teddy Rusdy ; Mantan Asisten Perencanaan dan Anggaran Umum (Asrenum) Panglima
ABRI/TNI 1987-1992
|
SINAR
HARAPAN, 22 April 2014
Beberapa waktu lalu, kita sudah mengelar pemilihan legislatif.
Meski hasil resmi belum diumumkan, kisaran angka perolehan partai peserta
pemilu dari beberapa hasil survei dapat diperkirakan. Itu menjadi petunjuk
awal gambaran calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) yang akan
berebut kursi RI-1 dan RI-2.
Lagi dan lagi, menjelang pilpres ini ruang publik sudah sesak
diisi tarik-menarik gagasan untuk memasangkan capres dan cawapres dari
kalangan sipil-militer, militer-sipil, sipil-sipil, dan militer-militer.
Sebelumnya, lembaga Center
for International Relations Studies (CIReS) Universitas Indonesia (UI)
menilai, sejumlah purnawirawan TNI yang mendukung capres tertentu telah
memperburuk citra lembaga di mata publik. Dukungan terbuka tersebut dinilai
dapat menggiring persepsi masyarakat, bahwa korps angkatan bersenjata
mengalami perpecahan sekaligus tidak menjaga netralitas.
CIReS menyebut, dukungan purnawirawan TNI untuk capres
tertentu dinilai bertentangan dengan komitmen kesatuan untuk menjaga
netralitas dalam Pemilu 2014, meski tidak melakukan pelanggaran karena sudah
tidak berdinas lagi.
Hal yang menjadi perhatian CIReS tersebut adalah dampak sikap purnawirawan
TNI terhadap persepsi masyarakat luas. Seolah diberlakukan sikap TNI aktif
tidak boleh berkecenderungan politik kepartaian, tapi para purnawirawan
dibolehkan.
Sampai di sini, publik masih dapat menangkap kebenarannya.
Namun, justru yang belakangan berkembang adalah isu di tubuh TNI aktif pun
mulai merebak pengaruh friksi dukungan, yang diduga pararel dengan sikap para
purnawirawan dalam pencapresan.
Menyikapi hal ini, bagaimanakah sikap TNI dalam menghadapi
pemilu presiden yang di dalamnya “bertabur bintang” tersebut? Panglima TNI
Jenderal TNI Moeldoko menegaskan di Markas Besar TNI, Cilangkap, Senin
(14/4), bahwa ia mengikuti perkembangan isu TNI aktif friktif tersebut
melalui pemberitaan dan menegaskan TNI berada di bawah kendalinya sebagai
Panglima TNI. Tidak ada pengelompokan, tidak ada TNI A berkiblat ke TNI B,
TNI C berkiblat ke TNI D, tidak ada. Seluruh prajurit kiblatnya satu, dari
pangkat prada sampai jenderal di tangan Panglima TNI.
Ketegasan sikap Panglima TNI tersebut mengingatkan saya pada
amanah pertama Panglima Besar Jenderal Soedirman di hadapan konferensi
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 12 November 1945. Pak Dirman (demikian ia
akrab dipanggil) menyatakan, “Tentara
tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapa pun juga.”
Pesan tegas Pak Dirman tersebut terkait dinamika politik
pascakemerdekaan, ketika Wakil Presiden Muhammad Hatta mengeluarkan Maklumat
Nomor X tertanggal 3 November 1945, yang mendorong pembentukan partai-partai
politik untuk persiapan rencana penyelenggaraan Pemilu 1946.
Maklumat ini juga melegitimasi partai-partai politik yang
telah terbentuk sebelumnya sejak zaman Belanda dan Jepang, serta mendorong
terus lahirnya partai-partai politik baru. Dengan maklumat ini, pemerintah
berharap partai-partai politik telah terbentuk sebelum penyelenggaraan pemilu
anggota badan-badan perwakilan rakyat pada Januari 1946.
Namun, kemudian proses pemantapan demokrasi Indonesia yang
baru lahir melalui rencana penyelenggaraan Pemilu 1946 itu tidak bisa
diwujudkan. Itu karena konsentrasi bangsa Indonesia terfokus pada perjuangan
mempertahankan kemerdekaan akibat kedatangan pasukan militer Sekutu. Pemilu
bukan lagi prioritas hingga akhirnya baru dapat digelar pada 1955.
Hal yang patut dicermati adalah, sejarah mencatat sejak awal
kelahiran bangsa Indonesia, TNI sudah menyadari posisinya dengan tidak
menempatkan diri di domain partai atau golongan tertentu yang terlibat dalam
kontestasi politik, tetapi berada pada posisi politik kenegaraan.
Politik kenegaraan yang dimaksud sebagaimana tertuang dalam UU
TNI Nomor 34/2004 adalah, TNI bertugas menjaga eksistensi bangsa atau negara,
yakni kedaulatan negara yang harus tetap tegak, keutuhan wilayah NKRI yang
harus tetap terjaga, serta keselamatan bangsa dan segenap tumpah darah
Indonesia yang harus tetap terjamin.
Sebagai alat negara yang dipersenjatai, wilayah gerak TNI
tidak boleh terminimalisasi sebatas keperluan golongan atau partai, baik yang
sedang memerintah atau partai lain yang berusaha “memengaruhi” TNI.
Memang, muncul
kekhawatiran TNI secara langsung atau tidak langsung menjadi simpatisan partai
(memberi dukungan terselubung), mengingat tidak sedikit purnawirawan yang
aktif di partai politik atau yang maju sebagai calon presiden.
Kekhawatiran itu harus cepat-cepat ditepis dengan pelaksanaan
sikap satuan/perorangan/fasilitas TNI tidak dilibatkan pada rangkaian
kegiatan pemilu, baik legislatif maupun presiden atau pilkada, dalam bentuk
apa pun di luar tugas dan fungsi TNI.
Ketidakterlibatan itu juga mengingat panggilan Sapta Marga
sebagai “patriot” penjaga ideologi negara yang bertanggung jawab, juga
sebagai “prajurit” bhayangkari negara dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
meski tidak berpolitik praktis, TNI justru memiliki tugas politik jauh lebih
mulia, yaitu menjaga koridor NKRI yang berideologi Pancasila dan pelaksanaan
UUD 1945.
Tugas TNI adalah dalam rangka menjaga negara agar tidak miring
ke haluan ideologi kiri atau kanan, tetapi tetap tegak di atas landasaan
ideologi Pancasila dan UUD 1945. Di sinilah kita menemukan ketinggian makna
amanat Panglima Besar Jenderal Soedirman 68 tahun silam itu. Siapa pun capres
dan cawapresnya, “Tentara tidak boleh
menjadi alat suatu golongan atau orang siapa pun juga.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar