Memo
Pendidikan Buat DPR
Sudaryanto ; Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP
Universitas
Ahmad Dahlan, Yogyakarta
|
HALUAN,
22 April 2014
Esai ini ditulis setelah
penulis mencermati pelaksanaan pemilihan umum tingkat legislatif, Rabu
(9/4) lalu, yang relatif sukses dan berjalan lancar. Kondisi serupa
mudah-mudahan terjadi pula pada kinerja para calon legislatif (caleg) periode
2014-2019. Dalam tulisan ini, saya guratkan memo buat para caleg, baik wajah
baru maupun lama, yang akan duduk di Komisi X DPR yang menangani bidang
pendidikan. Poin apa sajakah yang perlu dicatat?
Poin pertama ialah sertifikasi
guru. Sertifikasi guru dinilai belum berdampak signifikan terhadap peningkatan
kualitas pendidikan dan hasil belajar siswa. Berdasarkan kajian yang
dilakukan oleh Bank Dunia, Pemerintah Kerajaan Belanda, dan Kemdikbud (2013)
terhadap hasil sertifikasi pada akhir 2009, 2011, dan 2012 ditemukan fakta
bahwa hasil belajar antara guru bersertifikat dan guru tak bersertifikat
tidak menunjukkan perbedaan.
Artinya, guru yang telah
mengikuti program sertifikasi dan guru yang belum mengikuti program sertifikasi
tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini sungguh ironis, mengingat
pemerintah telah memberikan tunjangan sertifikasi bagi guru yang telah
bersertifikat. Alih-alih pemberian tunjangan sertifikasi berbanding lurus
dengan peningkatan kualitas pengembangan diri dan pembelajaran di kelas, yang
terjadi justru sebaliknya. Ironis bukan?
Manajemen Guru Semrawut
Poin kedua, manajemen guru
yang masih semrawut, baik di pusat maupun di daerah. Dalam penerapan otonomi
daerah, posisi guru bukannya bertambah baik malah dipolitisasi. Penulis
pernah menjumpai fakta bahwa sebuah sekolah di Yogyakarta menyelenggarakan
sebuah acara yang didukung oleh tim kampanye pasangan tertentu dalam pilkada.
Para guru dan siswa di sekolah tersebut “diarahkan” untuk memilih pasangan
pilkada tersebut.
Jika seorang guru telah
terlibat dalam kampanye pilkada, sesungguhnya dia telah menggadaikan jabatan
profesinya. Idealnya, guru, apalagi guru PNS, diperlakukan sebagai jabatan
profesi, bukan sebagai perangkat birokrasi atau bahkan tim kampanye parpol
tertentu. Apabila hal itu terjadi, maka independensi guru telah terancam.
Di sinilah korps guru yang bernaung di dalam PGRI dapat mengambil peran
untuk menata ulang posisi guru sebagai jabatan profesi.
Poin ketiga, distribusi
guru yang tidak merata di sejumlah wilayah/daerah. Di Indonesia, khususnya di
luar Pulau Jawa, kebutuhan guru, terutama guru SD, tetap tinggi. Sementara
itu, banyaknya lulusan sarjana kependidikan dari LPTK hanya mencari-cari
peluang pekerjaan di Pulau Jawa. Atas kondisi itu, Kemdikbud pun menggagas
program SM-D3T (Sarjana Mengajar
Daerah Tertinggal, Terdepan, Terbelakang) yang bisa dibilang cukup
berhasil.
Namun sayangnya, program
tersebut berlaku hanya setahun pengabdian di daerah luar Pulau Jawa. Padahal,
kebutuhan guru, terlebih lulusan dari LPTK di Pulau Jawa, sangat dibutuhkan.
Idealnya, Kemdikbud menyediakan sarana dan prasarana yang lengkap
bagi para peserta SM-D3T, seperti rumah, pasar, warnet, TK hingga SMA,
dan rumah sakit. Bahkan, para peserta itu didorong untuk menjadi warga
tetap daerah tempat bertugas dan kelak diangkat sebagai PNS.
Poin keempat, pelatihan
guru yang belum rutin dan masih sekadar formalitas. Pelaksanaan Program Latihan
dan Pendidikan Guru (PLPG) selama ini, saya anggap sebagai formalitas
belaka. Mengapa? Sebab, pelaksanaan program itu hanya dilaksanakan dalam 10
hari dan setelahnya tidak ada tindak lanjut. Dalam PLPG guru dituntut untuk
membuat proposal PTK, tapi ironisnya proposal itu tidak dilaksanakan di
kelasnya seusai PLPG.
Dalam PLPG juga guru
diberikan materi inovasi pembelajaran, tapi anehnya materi itu hanya masuk
telinga kanan dan keluar telinga kiri. Usai PLPG, materi inovasi
pembelajaran, PTK, dan sebagainya menguap entah ke mana. Yang lebih
dinanti-nantikan oleh guru hanya selembar kertas pengumuman kelulusan PLPG
dan kapan turunnya tunjangan sertifikasi guru, tidak lebih. Inilah yang
perlu dikoreksi dalam pelaksanaan PLPG selama ini.
Kurikulum 2013
Poin kelima, pelaksanaan
Kurikulum 2013 yang terkesan terburu-buru. Banyak pihak, terutama dari kalangan
guru, mengakui bahwa pelaksanaan Kurikulum 2013 terkesan dipaksakan. Meskipun
Kemdikbud telah melaksanakan sosialisasi dan uji publik, namun penguasaan
para guru terhadap konsep dan isi kurikulum baru itu masih sepotong-sepotong.
Walhasil, tak sedikit guru masih mengalami kebingungan dalam melaksanakan
kurikulum itu di kelas.
Kebingungan guru terhadap
konsep, isi, dan pelaksanaan kurikulum baru bersumber pada satu hal, yaitu
minimnya keikutsertaan guru dalam pelatihan. Sekadar perbandingan,
guru-guru di Singapura mendapatkan pelatihan selama 100 jam setiap tahun,
sementara guru-guru di Shanghai mendapatkan pelatihan selama 240 jam dalam
kurun lima tahun (Driana, 2012: 6). Sementara guru-guru kita mendapatkan
pelatihan kurikulum baru hanya 52 jam. Ironis bukan?
Poin keenam, pembelajaran
tematik-integratif yang belum dipahami oleh para guru. Saya melihat ada
relevansi antara rendahnya jumlah jam pelatihan kurikulum baru bagi
guru-guru dan ketidakpahaman mereka terhadap konsep pembelajaran
tematik-integratif. Di samping itu, yang tak kalah penting ialah bahwa
minat guru-guru kita amat rendah dalam membaca dan menulis, padahal dua
kegiatan tersebut amat penting dalam inovasi pembelajaran di kelas.
Pembelajaran
tematik-integratif sesungguhnya mendorong siswa lebih aktif, mandiri,
dan mampu berpikir kritis dengan segala macam teks yang disajikan oleh
guru. Masalahnya, jika minat membaca guru rendah, lantas teks macam apa
yang dapat disajikan kepada siswanya di kelas? Seringkali dan banyak
terjadi, para guru hanya mengandalkan LKS sebagai satu-satunya sumber
belajar. Padahal, sumber belajar yang ada saat ini amatlah beragam jenisnya.
Akhirnya, benar apa yang
disampaikan oleh Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina, bahwa hampir
separuh lebih persoalan pendidikan berpusat pada guru. Jika pemerintah dapat
segera menyelesaikan persoalan guru, kelak kualitas pendidikan nasional
akan membaik, begitu pun sebaliknya. Hal ini tentu amat bergantung pada
seberapa besar komitmen dan kinerja pemerintah dan masyarakat terhadap
bidang pendidikan. Mari kita peduli akan hal tersebut! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar