Memidana
(Pelaku) Politik Uang
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan
Kebijakan
Transparency International Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 05 April 2014
KAMPANYE pemilihan umum untuk memilih
anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014 telah dipenuhi praktik politik uang. Jika
ditelusuri, praktik semacam itu akan jauh lebih banyak ketimbang yang selama
ini terekspos di media massa.
Secara hukum, larangan politik
uang (money politics) diatur dalam
Pasal 86 ayat 1 huruf j Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu
dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain kepada peserta
kampanye pemilu.
Subjek dan objek politik uang
Undang-undang menempatkan subjek
pelaku politik uang secara luas yang mencakup pelaksana, peserta, dan petugas
kampanye pemilu. Definisi setiap subjek tersebut kemudian dijelaskan dalam
Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Pelaksana kampanye ialah
pengurus partai politik, caleg, juru kampanye, orang seorang (individu), dan
organisasi yang ditunjuk oleh peserta pemilu. Petugas kampanye sebetulnya
masih menjadi bagian dari partai politik karena ditetapkan oleh partai
politik, sedangkan peserta kampanye pemilu ialah masyarakat yang berdomisili
di daerah pemilihan tempat kampanye dilaksanakan.
Menurut ketentuan, pelaksana
kampanye dan petugas kampanye didaftarkan kepada KPU sesuai dengan
tingkatannya. Keduanya dimandatkan untuk bertanggung jawab atas keamanan,
ketertiban, dan kelancaran kegiatan kampanye.
Rumusan politik uang yang diatur
dalam undang-undang dan peraturan KPU sebetulnya menjangkau semua orang yang
terlibat dalam kegiatan kampanye. Masyarakat umum dapat saja menjadi pihak
yang secara aktif melakukan politik uang terhadap masyarakat lain, terlepas
apakah tindakannya atas sepengetahuan atau tidak dari pelaksana kampanye
ataupun petugas kampanye.
Dalam konteks penegakan hukum,
ada atau tidaknya keterlibatan pelaksana atau petugas kampanye dalam politik
uang yang dilakukan oleh masyarakat umum dalam kampanye partai tertentu
memang harus melalui proses pembuktian. Apakah memang ada perintah langsung,
memberikan kesempatan (pembiaran), atau memang di luar kendali pelaksana dan
petugas kampanye.
Menurut Pasal 89 UU Nomor 8 Tahun
2012, politik uang yang dilakukan oleh pelaksana kampanye dilakukan baik
secara langsung maupun tidak langsung. Ini bisa diterjemahkan apakah janji
atau pemberian tersebut dilakukan secara langsung oleh pelaksana kampanye
atau melalui orang lain. Yang pasti, siapa pun yang melakukan politik uang
artinya telah melanggar larangan kampanye yang diatur dalam undang-undang.
Politik uang sebagai tindakan
menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya. Menurut penjelasan
undang-undang, materi lainnya tidak termasuk barang-barang yang merupakan
atribut kampanye pemilu, seperti kaus, bendera, dan topi. Jika dihubungkan
dengan kasus yang konkret, kampanye Partai Demokrat di Bandung (30/3) yang
memberi kan bola sepak kepada peserta pemilu menurut definisi undang undang
merupa kan bentuk politik uang.
Hal itu juga berlaku sama bagi
partai politik dan peserta pemilu lainnya, ketika ada pemberian barang yang
bukan bagian dari atribut kampanye, misalnya pembagian sembako, pengobatan
gratis, atau bentuk lainnya, sudah dapat dikategorikan sebagai politik uang.
Pidana politik uang
Ancaman sanksi pidana atas
politik uang dalam masa kampa nye hanya dimungkinkan kepada pelaksana
kampanye (Pasal 301 ayat 1 UU Nomor 8 Tahun 2012). Delik ini dikategorikan
sebagai kejahatan dalam pemilu (bukan pelanggaran) dengan ancaman pidana
penjara dan denda.
Penjatuhan pidana dikenakan
terhadap pengurus partai politik, caleg, juru kampanye, orang seorang
(individu), dan organisasi yang ditunjuk oleh peserta pemilu (definisi
pelaksana).
Bagi calon anggota legislatif,
sanksi ini akan berlanjut pada sanksi administratif oleh KPU berupa
pembatalan sebagai daftar calon tetap atau pembatalan penetapan sebagai calon
terpilih. Ini akan dilakukan ketika kasus pidana politik uang telah memiliki
kekuatan hukum yang tetap (Pasal 90 UU Nomor 8/2012).
Penjatuhan pidana pemilu akan
menjangkau setiap orang ketika politik uang dilakukan dalam masa tenang dan
pada hari pemungutan suara, baik itu dilakukan oleh pelaksana, peserta,
pelaksana kampanye, atau setiap orang (Pasal 301 ayat 2 dan 3 UU 8/2012).
Pemenuhan unsur pidana politik
uang yang diatur dalam undang-undang sebetulnya tidaklah rumit. Penegak hukum
cukup membuktikan apakah dalam pelaksanaan kampanye, masa tenang, atau pada
hari pemungutan suara ada tindakan menjanjikan atau memberikan uang/materi
lain.
Pembuktian apakah janji atau
pemberian tersebut berdampak pada pemilih dalam hal penggunaan hak pilihnya
tidaklah harus dipenuhi. Menurut pemulis, sangat tidak mungkin memidana
pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput), kecuali ada pengakuan
dari yang bersangkutan bahwa ia menerima janji atau uang/materi.
Apalagi membuktikan apakah
pemilih menggunakan suaranya untuk partai politik atau caleg tertentu. Sebab,
dalam surat suara sama sekali tidak mencantumkan identitas pemilih. Kalaupun
ada pengakuan dari pemilih bahwa ia memilih partai politik atau caleg
tertentu, bagaimana melakukan verifikasi atas pengakuan tersebut?
Maka, berdasarkan aturan yang
ada, memidana politik uang bukanlah sesuatu hal yang sulit bagi penegak
hukum. Sudah saatnya politik uang dengan segala bentuknya dipidana untuk
menciptakan iklim pemilu yang bebas dari praktik kotor tersebut. Sebab,
politik uang menjadi faktor utama yang semakin menyuburkan praktik korupsi di
masa yang akan datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar