Manusia
Indonesia
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior
Kompas
|
KOMPAS,
05 April 2014
ESOK, 6
April, merupakan hari yang cukup bersejarah. Pada tanggal itu di tahun 1977,
wartawan kawakan, Mochtar Lubis, melahirkan karya besar melalui ceramah di
Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Karya tersebut kelak dibukukan dengan judul Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungan
Jawab).
Buku
Mochtar mengulas enam ciri manusia Indonesia (dan juga beberapa ciri
tambahan). Jika mau membuka lembar demi lembar buku itu saat ini juga, Anda
pasti nyengir lebar sendiri karena begitulah kurang lebih wajah kita sampai
kini.
Pepatah
bahasa Inggris mengatakan, old habit
die hard. Kita ternyata belum berubah menjadi lebih baik sejak 1977.
Jangan-jangan kualitas mental bangsa ini malah semakin memburuk?
Walaupun
kita nyebelin, Mochtar tetap memuji
kita sebagai bangsa yang artistik alias nyeni.
Jika boleh ditafsirkan, mungkin maksud Mochtar kita doyan melakukan interpretasi happening
arts sesukanya terhadap semua aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi,
sosial, budaya, dan seterusnya.
Happening arts politik tampak jelas hari-hari
ini ketika para politisi berkampanye sebebas-bebasnya tanpa perlu mematuhi
etika, logika, budaya—apalagi aturan. Ada jurkam mengklaim diri sukses
padahal tak berprestasi, atau kampanye negatif/hitam terhadap pesaing.
Ada yang
membagi-bagikan duit dan bola sepak, ada yang memperagakan aksi tak senonoh
bersama biduanita dangdut. Di Palembang, 1 April, bahkan ada lima ”pocong”
ditangkap polisi ketika menyambut Ketua Umum Partai Demokrat.
Akan
tetapi, para politisi itu tidak sepenuhnya salah. Massa kampanye tetap
membeludak justru untuk menikmati happening
arts sembari mengejar iming-iming sangu, sembako, dangdut, atau T-shirt.
Andai saja Mochtar masih ada, dia akan mengenalkan satu ciri tambahan untuk
manusia Indonesia. Ternyata, manusia Indonesia menyukai ”NPWP” (nomor piro wani
piro).
Nah,
buku Mochtar mengundang kontroversi. Banyak orang menikmatinya sambil
mengangguk-anggukkan kepala. Saking menggemparkan karena banyaknya tanggapan
yang disampaikan, juga beberapa kali diskusi nasional diadakan, Mochtar
terpaksa menulis sebuah buku baru berjudul Tanggapan atas Tanggapan.
Namun,
tak sedikit yang marah dan juga yang bersikap ”buruk rupa cermin dibelah” karena merasa diri atau kelompoknya
dijadikan sasaran kelemahan. Mochtar sempat dapat ”sanksi politik” dengan
dinyatakan sebagai tokoh yang tak layak masuk daftar penerima Bintang
Mahaputera.
Mau tahu
ciri-ciri kita? Namun, sebelum membaca, Anda sebaiknya tahan napas. Kalau
perlu, tutup mata karena sangat tak enak ketika mengetahuinya.
Ciri kesatu: munafik. Oleh
Mochtar, kata munafik ditulis dengan huruf-huruf kapital—mungkin saking
sebalnya dia. Contoh kemunafikan yang masih relevan di masa kini terlalu
banyak untuk diungkapkan, salah satunya tabiat pemimpin yang ”lain kata lain perbuatan”.
Ciri kedua: enggan bertanggung jawab. Wah,
kalau ini, kebiasaan yang semakin hari semakin marak dikerjakan semua orang,
mulai dari pemimpin sampai pemotor di jalan.
Ciri ketiga: feodal. Menurut
buku Mochtar, telinga rata-rata pemimpin kita tipis jika dikritik. Mochtar sendiri
merasakan saat Indonesia Raya, koran yang dipimpinnya, dibredel karena
mengkritik megakorupsi di Pertamina.
Ciri keempat: masih percaya takhayul dan
jago bikin perlambang tanpa makna. Sudah jamak caleg mendatangi orang pintar
atau tempat keramat untuk minta restu agar terpilih. Perlambang kosong sudah
ada sejak dulu. Anda pasti pernah mendengar slogan ”Panca Azimat Revolusi”
bikinan Bung Karno, teori ”Manusia Pancasila Seutuhnya” buatan Pak Harto,
atau janji ”Perubahan Sudah Dekat” tahun 2004.
Ciri kelima: artistik. ”Bagi
saya ciri artistik ini yang paling memesonakan, merupakan sumber dan tumpuan
harapan bagi hari depan,” tulis Mochtar.
Ciri keenam: punya watak yang lemah
sehingga mudah dipaksa berubah keyakinannya demi kelangsungan hidup.
Ciri negatif
manusia Indonesia lain versi Mochtar mencapai belasan. Sebagian kita mungkin
merasa malu, sebagian lagi mungkin senang menertawakan diri.
Kalau
boleh, ada beberapa ciri tambahan dari observasi sederhana. Ciri kesatu: senang nostalgia. Ternyata hidup
lebih enak pada masa Orde Baru ketimbang sekarang.
Ciri kedua: cepat marah.
Nasionalisme kita masih pada tahap mengibarkan bendera (flag-waving nationalism), tetapi lebih suka membeli produk-produk
impor mulai dari pangan sampai tas.
Ciri ketiga: suka SMS. Ini bukan merek sosis atau pesan tertulis, tetapi
singkatan ”Senang Melihat yang Susah,
Susah Melihat yang Senang”. Lihat saja cyber war di media sosial.
Ciri keempat: mudah diadu domba. Makanya Belanda betah numpang hidup di sini
selama tiga setengah abad. Jangan marah
ya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar