Sabtu, 05 April 2014

Manipulasi Stasiun Televisi

Manipulasi Stasiun Televisi

Gunawan Witjaksana  ;   Dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi
(Stikom) Semarang
SUARA MERDEKA, 04 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
SEJAK Joko Widodo (Jokowi) resmi dicalonkan sebagai presiden dalam Pilpres 2014 oleh PDIP, bak menjadi musuh bersama televisi nasional (non-TVRI), hampir tidak ada lagi pemberitaan terkait dengannya, baik dalam kapasitas sebagai Gubernur DKI Jakarta maupun sebagai capres dari partai banteng moncong putih.

Padahal, sebelum resmi dicapreskan, Jokowi dengan kinerjanya selalu meramaikan jagat pertelevisian nasional. Pasalnya, berdasar kinerja, Jokowi adalah salah satu sumber berita sekaligus sosok yang memiliki nilai berita (news value) tinggi.

Hal ini selaras dengan salah satu fungsi televisi sebagai lembaga bisnis, dan sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dari sisi sosiologi media, salah satu faktor yang memengaruhi produksi media (termasuk televisi) adalah organisasi media, yang di dalamnya ada unsur kuat, yaitu pemilik (pemodal).

Ironisnya, para pemilik televisi nasional rata-rata saat ini terafiliasi pada partai politik, bahkan di antaranya sudah mendeklarasikan diri sebagai caprescawapres sebuah parpol. Mereka seperti lupa bahwa frekuensi siaran yang dipinjam adalah milik rakyat, yang semestinya mereka gunakan demi kepentingan rakyat, termasuk terkait dengan pemilu.

Klaim mereka bahwa kelak membela kepentingan rakyat, sesuai dengan iklan politik atau pun program yang mereka tayangkan, dari Ilmu Komunikasi tidak lebih sekadar ìkonstruksi realitasî yang sangat manipulatif.

Masalahnya, belum tentu semua itu bisa mereka laksanakan, baik karena gagal dicapreskan sesuai ketentuan UU, tidak terpilih, atau bahkan andai terpilih pun. Padahal, membaik-baikkan diri tapi menjelekkan pesaing dengan memakai frekuensi milik rakyat, tanpa menunjukkan kelemahan, bahkan cenderung menghilangkan beban masa lalu yang rata-rata mereka miliki, adalah sangat tidak jujur alias manipulatif.

Efektifkah manuver yang mereka lakukan melalui stasiun televisi miliknya saat ini? Efektifkah ’’penghilangan’’ Jokowi untuk mengurangi, atau bahkan membuat rakyat lupa pada sosoknya? Atau, justru sebaliknya yang bakal terjadi ?

’’Agenda Setting’’

Pengusaha dan pengelola televisi nasional (kecuali TVRI sebagai lembaga penyiaran publik) rupanya masih menggunakan model agenda setting klasik, yang menganggap agenda utama televisi dapat memengaruhi agenda masyarakat. Melalui asumsi tersebut mereka berharap masyarakat hanya mengingat mereka, dan melupakan Jokowi.

Padahal bila kita melihat model agenda setting yang sesungguhnya, agenda media pun harus memperhitungkan agenda masyarakat, agenda kaum cerdik cendekiawan, pemuka masyarakat, dan pembuat kebijakan. Bahkan kondisi psikilogis dan sosiologis yang melingkupi keterkaitan dengan proses interaksi antarkomponen itu.

Agenda masyarakat yang selama ini menghendaki kelahiran pemimpin masa depan yang jujur, mau bekerja keras dan tanpa pamrih, dan dekat dengan rakyat seperti mereka tujukan pada sosok Jokowi, mestinya perlu diperhitungkan. Bila mereka tidak menyadari dan nekat melawannya, termasuk pada teguran KPI, Bawaslu, dan PPPI, niscaya rakyat/pemirsa akan meninggalkannya.

Terlebih saat ini banyak media massa lain yang menjadi pilihan sehingga tetap saja publik ingin melihat sosok Jokowi melalui berbagai media tersebut. Di sisi lain, masyarakat (dalam bahasa iklan: consumers insight) yang mendambakan calon pemimpin masa depan yang tampaknya lekat pada sosok Jokowi merasa bahwa jagonya dianiaya dan dizalimi.

Akibatnya, publik menggunakan media lain, termasuk kembali mengaktifkan Jasmev, sebuah komunitas media sosial yang mendukung Jokowi, melalui penyampaian pesan-pesan yang berisi prestasi Jokowi. Semua itu ditujukan untuk melawan kampanye hitam dari lawan-lawan politik Jokowi.

Dukungan terhadap Jokowi pun makin meluas, semisal dari organisasi buruh di berbagai daerah, komunitas Kebangkitan Indonesia Baru (KIB) di berbagai wilayah, yang tentu akan makin meluas bila para pengelola media, terutama televisi swasta nasional, tidak mengubah sikap.

Survei AGB Nelson pun kerap menunjukkan turunnya rating tayangan televisi pada saat sang pemilik terlalu banyak tampil. Intinya, masyarakat saat ini makin cerdas, sehingga sulit dininabobokkan oleh tayangantayangan berbau pembodohan.

Seharusnya para elite politik sadar bahwa pemilu, termasuk pilpres, bukanlah tujuan akhir. Tujuan akhirnya adalah keterpilihan wakil rakyat, disusul keterpilihan presiden dan wakil presiden, yang mampu menyejahterakan rakyat. Untuk itu, semua pihak perlu menempuh cara elegan, tanpa manipulasi, tidak paranoid secara berlebihan, dan tidak sehat seperti terjadi saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar